RIAUREVIEW.COM --Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan digugat ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan hak uji materiil ini dilayangkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gelora Surya Keadilan.
Gugatan uji materiil ini dikhawatirkan bisa membuyarkan langkah-langkah agresif yang dilakukan pemerintah melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas) PKH yang mengklaim sudah melakukan penguasaan kembali lahan hutan seluas 2 juta hektare, sejak Maret hingga Juli 2025.
Berdasarkan dokumen permohonan hak uji materiil, LBH Gelora Surya Keadilan mengajukan permohonannya melalui Pengadilan Negeri Medan pada 21 April 2025 lalu. Permohonan uji materiil tersebut telah dinyatakan lengkap oleh MA. Adapun gugatan hak uji materiil teregistrasi dengan nomor: 36P/HUM/2025.
Pada 3 Juli 2025 lalu, Mahkamah Agung melalui Panitera Muda Tata Usaha Negara telah melayangkan surat kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto terkait uji materiil yang diajukan oleh LBH Gelora Surya Keadilan tersebut. Surat pemberitahuan MA ke Presiden ditandatangani oleh Panitera Muda Tata Usaha Negara, Hendro Puspito SH, M.Hum.
"Telah kami terima permohonannya (setelah berkas dinyatakan lengkap) di Panitera Muda Perkara Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI pada tanggal 1 Juli 2025 dan telah diregister dengan No. 36 P/HUM/2025 tanggal 3 Juli 2025," demikian kutipan isi surat MA ke Presiden.
Dalam surat pemberitahuan tersebut, Presiden diminta memberikan jawaban/ tanggapan dalam tenggang waktu 14 hari sejak surat pemberitahuan gugatan uji materiil tersebut diterima. Jawaban atau tanggapan Presiden dibuat rangkap empat serta bukti rangkap tiga.
"Jawaban disampaikan kepada Panitera Mahkamah Agung cq. Panitera Muda Perkara Tata Usaha Negara di Jalan Medan Merdeka Utara Nomor 9-13, Kode Pos 10110," demikian surat pemberitahuan MA ke Presiden RI.
Substansi Gugatan Uji Materiil
Dalam surat gugatan uji materiil, LBH Gelora Surya Keadilan menjadikan sejumlah pasal dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan sebagai objek permohonan. Yakni Pasal 4 ayat (1) huruf a, b, c dan ayat (2) huruf a, b, c Perpres Nomor 5 Tahun 2025.
Pasal-pasal tersebut dituding bertentangan dengan tiga aturan perundang-undangan, yakni UU Nomor 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, juga bertentangan dengan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Kemudian, juga bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1), (2), (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif Bidang Kehutanan.
Dalam permohonannya, LBH Gelora Surya Keadilan meminta Mahkamah Agung agar menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf a, b, c dan ayat (2) huruf a, b, c Perpres Nomor 5 Tahun 2025 sepanjang frasa "dilakukan penguasaan kembali" bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
"Menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf a, b, c dan ayat (2) huruf a, b, c sepanjang frasa "dilakukan penguasaan kembali" yang termaktub dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat/ tidak sah dan tidak berlaku umum karena bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi," demikian bunyi amar permohonan uji materiil LBH Gelora Surya Keadilan.
"Memerintahkan kepada Termohon (ic.Pemerintah) agar ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a, b, c dan ayat (2) huruf a, b, c sepanjang frasa " dilakukan penguasaan kembali" yang termaktub dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan tersebut dicabut," demikian isi permohonan uji materiil LBH Gelora Surya Keadilan.
Pihak LBH Gelora Surya Keadilan belum merespon konfirmasi soal gugatan hak uji materiil yang dilayangkan ke MA. Nomor telepon seluler yang tertera dalam surat gugatan, tidak bersedia memberikan nomor kontak penanggung jawab organisasi tersebut.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto pada 21 Januari 2025 lalu telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Salah satu isi dari Perpres tersebut yakni lahirnya Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang secara jor-joran melakukan operasi penguasaan kembali kawasan hutan yang digarap tanpa izin. Satgas PKH terdiri dari unsur lengkap lembaga-lembaga negara meliputi Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, Polri, TNI, BPKP, Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR/BPN dan sejumlah lembaga negara lainnya.
Akhir pekan lalu, Satgas PKH mengklaim telah melakukan penguasaan kembali lahan hutan seluas mencapai 2 juta hektare di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Provinsi Riau. Penguasaan kembali hutan negara dilakukan dalam bentuk pemasangan plang penanda di areal perkebunan kelapa sawit yang dikelola masyarakat maupun korporasi.
Lebih dari 833 ribu lahan hutan yang terdapat perkebunan kelapa sawit, diserahkan pengelolaannya kepada PT Agrinas Palma Nusantara, BUMN sektor perkebunan yang baru berusia hitungan bulan.
Di Riau, langkah penguasaan kembali hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) seluas 83 ribu hektare menjadi sorotan keras. Terjadi pembelahan atau polarisasi yang kuat di tengah masyarakat terhadap tindakan Satgas PKH yang melakukan penertiban perkebunan kelapa sawit di TNTN.
Satgas PKH telah mengumumkan dilakukannya relokasi mandiri penduduk yang mendiami TNTN hingga tenggang waktu 22 Agustus 2025 mendatang. Penerimaan siswa baru di sekolah yang berada dalam kawasan TNTN telah dihentikan.
Dari Gedung Senayan, sejumlah anggota DPR RI mengingatkan pemerintah agar penertiban TNTN tidak melabrak hak asasi manusia (HAM) dan mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat yang terdampak.
Sumber: SM News.com