Negara Panen Cuan! Denda Kelapa Sawit Dalam Kawasan Hutan Rp 25 Juta Per Hektare

Senin, 06 Oktober 2025 | 19:04:25 WIB
Foto udara hamparan perkebunan kelapa sawit di dalam Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim Riau. Foto: Istimewa

RIAUREVIEW.COM -- Pemerintah akan mendapatkan cuan besar, usai Presiden Prabowo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Beleid terbaru ini disahkan pada 19 September 2025 silam. 

Dengan terbitnya PP Nomor 45 Tahun 2025, dasar perhitungan besaran denda administratif atas usaha terbangun tanpa izin dalam kawasan hutan pun mengalami perubahan. Aturan ini menetapkan besaran tarif denda dipatok sebesar Rp 25 juta per hektare untuk perkebunan sawit dalam kawasan hutan. 

Berdasarkan lampiran PP Nomor 45 Tahun 2025, besaran denda administratif untuk kebun sawit dalam kawasan hutan dihitung dengan rumus: D= L x J x TD.

Adapun D adalah denda administratif, L merupakan luas pelanggaran dalam kawasan hutan (satuan hektare) dan J sebagai jangka waktu pelanggaran, kemudian TD merupakan tarif denda yang ditentukan dengan single tarif.

Besaran tarif denda (TD) untuk perkebunan kelapa sawit telah ditetapkan sebesar Rp 25 juta. Jangka waktu pelanggaran dihitung sejak membuka lahan hutan dikurangi 5 tahun sebagai jangka usia tidak produktif untuk perkebunan  kelapa sawit. 

Berikut simulasi perhitungan besaran denda administratif perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan:

Sebagai contoh, seseorang atau badan usaha perusahaan menguasai 100 hektare perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan sejak tahun 2010. Maka besaran denda administratif yang harus dibayar pada tahun 2025 yakni sebesar:

L: 100 hektare

J: 2025-2010-5 tahun = 10 tahun

TD: Rp 25.000.000

D = 100 x 10 x 25.000.000

D = Rp 25.000.000.000 (Dua Puluh Lima Miliar). 

Dengan demikian, orang atau badan usaha yang menguasai perkebunan kelapa sawit dalam kawasan itu harus membayar denda administratif sebesar Rp 25 milir. 

Alasan Terbitkan PP Nomor 45 Tahun 2025 

Terbitnya PP Nomor 45 Tahun 2025 ini, seolah menunjukkan kian keras dan tegasnya sikap pemerintah terhadap para penguasa kebun sawit dalam kawasan hutan, termasuk perusahaan tambang ilegal dalam kawasan hutan. Harta para penguasa kebun sawit dan tambang dalam kawasan hutan terancam dilelang, jika tidak memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif. 

Selain itu, PP ini makin memperkuat kewenangan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. 

Adapun latar belakang terbitnya PP 45 Tahun 2025 ini, diklaim karena PP Nomor 24 Tahun 2021 tidak efektif lagi, dibuktikan dengan masih minimnya verifikasi dan penghitungan besaran denda administratif terhadap kegiatan terbangun dalam kawasan hutan. Selain itu, rumus dan cara perhitungan besaran denda administratif berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2021 dinilai tidak sederhana dan rumit. 

Alasan lainnya, yakni PP Nomor 24 Tahun 2021 belum mengatur soal penguasaan kembali kawasan hutan negara. Itu sebabnya, dalam PP Nomor 45 Tahun 2025, ketentuan terkait penguasaan kembali hutan negara dicantumkan. 

Kewenangan Satgas PKH Diperluas

Berdasarkan pasal 6 ayat 1 PP Nomor 45 Tahun 2025, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) mendapat kewenangan untuk melakukan inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang terbangun dalam kawasan hutan bersama Menteri Kehutanan. Sebelumnya, kewenangan ini hanya berada di kendali Menteri Kehutanan. 

Satgas PKH berdasarkan PP Nomor 45 Tahun 2025, kini memiliki kewenangan memberikan rekomendasi terkait penetapan sanksi administratif berupa pembayaran denda administratif yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Adapun sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha dalam kawasan hutan, denda administratif, pencabutan perizinan berusaha dan paksaan pemerintah. Selain itu, Satgas PKH juga akan mendapat laporan bukti pelunasan denda administratif dari subjek hukum yang memiliki usaha dalam kawasan hutan. 

Satgas PKH juga mendapat kewenangan memberikan rekomendasi pencabutan izin berusaha terhadap setiap orang yang tidak melunasi denda administratif. 

Dalam Pasal 35 PP Nomor 45 Tahun 2025, Satgas PKH diberikan kewenangan untuk melakukan penguasaan kembali kawasan hutan. Adapun penguasaan kembali dapat dilakukan dalam bentuk pelepasan kawasan hutan dan penetapan statusnya sebagai barang milik negara. 

Lebih lanjut, terhadap kawasan hutan yang telah dikuasai kembali, Satgas PKH melalui Menteri BUMN, menyerahkannya kepada BUMN yang ditunjuk. Sebelumnya, PT Agrinas Palma Nusantara telah ditunjuk sebagai BUMN perkebunan yang mengelola kebun sawit dalam kawasan hutan. 

Sementara dalam pasal 47 PP Nomor 45 Tahun 2025, Satgas PKH bersama Menteri Kehutanan juga diberikan kewenangan mengajukan permintaan pemblokiran terhadap rekening perusahaan dan akta perusahaan yang tidak membayar denda administratif. Satgas PKH juga dapat mengajukan permintaan pencegahan ke luar negeri terhadap Setiap Orang yang tidak membayar kewajiban denda administratif kepada Menteri Imigrasi. 

Satgas PKH dipimpin oleh Menteri Pertahanan sebagai Ketua Pengarah, dengan anggotanya yakni Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri serta pejabat lainnya. Sementara, Ketua Pelaksana Satgas PKH diemban oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung. 

Lelang Aset oleh Jaksa Agung

PP Nomor 45 Tahun 2025 juga memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan penyitaan aset dari Setiap Orang yang tidak membayar atau melunasi denda administratif. 

Berdasarkan Pasal 54 PP Nomor 45 Tahun 2025, Jaksa Agung juga dapat melakukan penjualan secara lelang terhadap aset yang disita melalui Kantor Lelang Negara.

Adapun jenis barang-barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang yakni, uang tunai deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, akta perusahaan, obligasi, saham, surat berharga lainnya, piutang atau penyertaan modal pada perusahaan. 

Barang yang disita, dipergunakan untuk membayar denda administratif. Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilakukan paling lama 30 hari sejak penyitaan aset dilakukan. 

"Dalam hal hasil penjualan secara lelang hasil penyitaan aset mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi denda administratif, pelaksanaan lelang dihentikan. Jaksa Agung segera mengembalikan sisa barang hasil penyitaan aset beserta kelebihan uang hasil penjualan secara lelang kepada Setiap Orang setelah pelaksanaan lelang," demikian bunyi PP Nomor 45 Tahun 2025.

 

 

 

Sumber: SM News.com

Terkini