RIAUREVIEW.COM --Air mata Yuliana pecah bukan hanya karena letih menempuh perjalanan jauh dari Bengkalis ke Rangsang, tetapi karena marwahnya terasa direnggut di hadapan oknum penegak hukum yang semestinya melindungi.
Perjalanan Yuliana, seorang warga Kepulauan Meranti, yang seharusnya menjadi momen mengunjungi orang tua di Tanjung Samak, Kecamatan Rangsang berubah menjadi pengalaman yang meninggalkan luka emosional. Bukan hanya uangnya yang melayang, tetapi ia merasa nama baiknya ikut tercoreng setelah pengakuannya viral di media sosial.
Segalanya bermula saat ia dan suaminya melintas di persimpangan Jalan Merdeka–Diponegoro, Selatpanjang pada Minggu (30/11/2025). Suaminya yang mengendarai sepeda motor dihentikan oleh petugas Satlantas Polres Kepulauan Meranti. Ia dinilai tidak memenuhi kelengkapan berkendara seperti surat kendaraan tertinggal di Bengkalis, sepeda motor tidak berpelat nomor di bagian depan, dan kaca spion tidak terpasang. Meski ia sudah mengenakan helm ganda, pelanggaran administrasi itu membuatnya tetap terjaring razia.
Dalam kondisi terburu-buru karena perjalanan dari Bengkalis demi menjenguk orang tua yang sedang sakit, Yuliana mengaku tidak dapat menunjukkan dokumen seperti STNK dan BPKB. Ia kemudian diarahkan ke Kantor Satlantas di Jalan Merdeka untuk diproses lebih lanjut.
Namun situasi justru semakin memperburuk perasaannya. Dalam unggahan Facebook yang kini viral, Yuliana menyebut dirinya dimintai uang oleh petugas dengan nominal Rp1.700.000, tanpa adanya surat tilang resmi sebagaimana prosedur yang seharusnya berlaku.
Menurut pengakuannya, tidak ada penjelasan prosedural yang diberikan, hanya permintaan pembayaran langsung.
Lebih mencengangkan lagi, ia mengungkapkan adanya tawar-menawar antara dirinya dan petugas. Karena tidak memiliki uang sebesar yang diminta, ia mengaku akhirnya “disetujui” untuk membayar Rp1 juta.
“Saya dari Bengkalis ke Rangsang untuk melihat orang tua. Saya terjaring razia karena dianggap tidak lengkap saat berkendara. Di kantor, saya diminta uang Rp1.700.000 tanpa adanya surat tilang. Karena uang saya terbatas, saya diminta membayar Rp1 juta saja. Akhirnya saya menangis,” tutur Yuliana.
Sontak pengakuan tersebut memicu ragam komentar dari pengguna Facebook. Banyak yang memberikan dukungan kepada Yuliana agar melapor secara resmi, sementara sebagian lainnya mempertanyakan kebenaran cerita itu dan mendorong agar pihak kepolisian memberikan klarifikasi.
Unggahan Yuliana kini telah dibagikan puluhan kali dan menjadi bahan perbincangan di berbagai grup lokal. Kasus ini pun memantik perhatian publik terhadap transparansi tindakan penegakan hukum di jalan raya, khususnya pada proses penilangan yang semestinya dilakukan secara prosedural dan bisa dipertanggungjawabkan.
Postingan tersebut langsung menjadi viral, mendapat ratusan komentar dan dibagikan luas. Namun dampak terbesarnya bukan hanya soal uang. Yuliana mengaku merasa hancur karena namanya kini terseret dalam perbincangan publik, bahkan ia mengaku mendapat pesan bernada menyudutkan pasca-curhatnya tersebar.
Baginya, pengalaman pahit itu telah menggoreskan kekecewaan mendalam—bukan hanya karena kehilangan uang dalam perjalanan penuh niat baik, tetapi juga karena dirinya merasa tak berdaya menghadapi proses yang menurutnya tidak transparan.
Setelah jagat maya di Kabupaten Kepulauan Meranti diguncang oleh unggahan akun Facebook Yuliana Yuli Ana tentang dugaan pungutan liar dalam razia Satlantas, badai tidak hanya menghantam institusi penegak hukum, tetapi juga batin si pemilik akun. Belum hilang rasa kecewanya, Yuliana mendapati kenyataan baru bahwa oknum yang diduga terlibat justru mulai gusar dan buru-buru ingin “berdamai”.
Komunikasi itu datang dari Kepala Urusan Pembinaan Operasi Lantas (KBO Satlantas), Ipda Richi Afredo. Dalam percakapan yang berlangsung setelah unggahan viral tersebut, tercapai sebuah kesepakatan. Dimana uang Rp1.700.000 yang sudah terlanjur diminta akan dikembalikan, dan sebagai gantinya, Yuliana diminta menghapus postingan yang telah membuat publik geram.
Namun cerita tidak berhenti di situ. Demi mengembalikan citra baik institusi, pihak Satlantas—kata Yuliana juga memintanya melakukan sesuatu yang lebih jauh yakni membuat postingan baru yang menyatakan bahwa akun Facebook miliknya diretas oleh pihak tak bertanggung jawab. Sebuah permintaan yang menurutnya mengandung jebakan, dan mengorbankan nama baik serta kejujuran dirinya sendiri.
"Yang saya posting itu benar dan tidak mengada-ada. Duit saya saat tilang kemarin sudah dikembalikan oleh Satlantas dan mereka minta damai, postingan saya juga disuruh hapus. Tidak sampai di situ, bapak itu menyuruh saya membuat status bahwa seakan-akan Facebook saya dihacker. Tapi saya tidak mau karena takut masyarakat menganggap saya berbohong nantinya. Namun tidak lama kemudian sudah ada berita bahwa akun saya dibajak. Kenapa bisa macam gini ceritanya," ujar Yuliana, masih dengan suara bergetar.
Setelah unggahan Yuliana Yuli Ana menyebar bak gelombang besar di jagad maya Kepulauan Meranti, riak kecil dari pengalaman warga lain mulai memunculkan suara yang selama ini terpendam. Postingan itu seakan menjadi pintu pembuka; keluhan yang sebelumnya hanya berbisik kini berubah menjadi arus deras pengakuan.
Banyak masyarakat yang akhirnya berani bersuara, mengaku mengalami hal serupa ditilang oleh oknum Satlantas karena kelengkapan berkendara yang kurang, lalu diminta membayar sejumlah uang tanpa satupun selembar surat tilang yang dikeluarkan.
Di antara suara-suara itu, muncul kisah Benni—seorang pengendara yang pernah terjaring razia dan mengaku diperlakukan tidak semestinya. Ia bercerita bahwa saat motornya ditahan, petugas meminta uang Rp2 juta sebagai “denda” atas kesalahan yang disebut banyak dan berlapis-lapis. Namun, seperti pengalaman Yuliana, tidak ada surat tilang diterbitkan.
"Karena dianggap ada banyak kesalahan, saya diminta uang Rp2 juta. Tidak ada surat tilang. Saya tidak terima perlakuan seperti ini. Saya akan berontak dan siap menjadi saksi bila diperlukan untuk oknum nakal seperti ini," tegas Benni, suaranya penuh kemarahan dan ketegasan.
Padahal, secara prosedur, tilang manual adalah tindakan resmi penegakan hukum yang jelas mekanismenya. Petugas semestinya melakukan pemeriksaan, lalu menerbitkan surat tilang lengkap dengan jenis pelanggaran dan sanksinya. Itulah bukti resmi yang menjadi dasar apakah pengendara ingin membayar denda di tempat atau mengikuti sidang. Namun yang terjadi di lapangan, menurut para warga, mekanisme ini seperti dihapus diam-diam.
Ironisnya, Polri justru telah menghapus tilang manual secara nasional pada akhir Januari 2025, digantikan dengan sistem Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE), yang dirancang untuk mengurangi interaksi langsung antara petugas dan pengendara—dan secara khusus untuk menutup ruang terjadinya pungli.
Namun gelombang pengakuan warga yang mengalir setelah unggahan Yuliana justru mengisyaratkan bahwa di Kepulauan Meranti, bayang-bayang pungutan gelap itu belum sepenuhnya hilang. Dan bagi mereka yang pernah mengalaminya, keberanian Yuliana seolah menjadi titik mula untuk menuntut perubahan.
Sebelumnya diberitakan, Kepala Urusan Pembinaan Operasi Lantas (KBO Satlantas), Ipda Richi Afredo, yang bertanggung jawab kepada Kasat Lantas AKP Sardianto, tampil memberikan penjelasan resmi mengenai persoalan tersebut.
Klarifikasi ini diberikan untuk menjawab keresahan publik dan meredam gelombang komentar yang telah terlanjur menyebar luas.
Ia menjelaskan bahwa informasi yang beredar yang menuding petugas Satlantas meminta uang Rp1,7 juta tanpa prosedur tilang tidak sesuai fakta. Bahkan, menurutnya, unggahan tersebut justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk menyerang institusi kepolisian.
“Perlu diluruskan bahwa postingan yang memicu ujaran kebencian terhadap petugas Satlantas itu tidak benar. Setelah kami telusuri, pemilik akun mengaku akunnya telah dihack dan digunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab. Ia juga sudah meminta maaf,” kata Ipda Richi.
Penelusuran internal kepolisian menemukan bahwa narasi yang viral itu tidak dibuat oleh pemilik akun asli. Unggahan yang sempat dibagikan ratusan kali tersebut kini diketahui telah hilang dari beranda Facebook, menambah dugaan bahwa postingan itu dibuat dengan tujuan provokasi.
Richi menegaskan bahwa pihaknya sangat terbuka terhadap laporan masyarakat dan siap menerima klarifikasi jika terjadi kesalahpahaman. Ia berharap masyarakat tidak mudah terpancing oleh isu-isu liar yang belum terverifikasi.
“Kami mengimbau agar masyarakat tidak gampang terprovokasi oleh isu yang belum jelas kebenarannya. Gunakan media sosial dengan bijak. Jika ada aspirasi atau keluhan terkait pelayanan kami, silakan sampaikan langsung. Kami terbuka untuk itu," ujar Richi.
Dengan klarifikasi ini, polisi berharap situasi dapat kembali kondusif dan masyarakat lebih cermat menyaring informasi, terutama di ruang digital yang rentan disusupi konten palsu.
Di tengah ramainya pembahasan publik soal tindakan kepolisian terhadap pelanggaran lalu lintas, Satlantas Polres Kepulauan Meranti memberikan penjelasan terkait mekanisme penegakan aturan yang selama ini diterapkan. Penegasan langsung disampaikan oleh KBO Satlantas, Ipda Richi Afredo, sebagai upaya menegakkan transparansi dan memberikan pemahaman yang utuh kepada masyarakat.
Menurut Richi, hingga saat ini pihaknya lebih mengedepankan pendekatan persuasif dalam menangani pelanggaran ringan. Pengendara yang kedapatan tidak membawa kelengkapan administrasi maupun perlengkapan berkendara, umumnya hanya diberikan teguran lisan dan teguran tertulis, terutama bagi mereka yang baru pertama kali melanggar.
“Seperti biasanya, saat operasi jika secara kasat mata kita melihat pengendara kurang lengkap, kita hentikan, kita tanyakan suratnya. Jika tidak lengkap, kita buatkan teguran tertulis di blangko teguran. Itu untuk mengingatkan dan menjadi data di Satlantas. Jika nanti melanggar lagi, barulah bisa dilakukan tilang manual,” jelasnya.
Richi menegaskan bahwa dalam pelaksanaan Operasi Zebra sekalipun, Satlantas Meranti tidak serta-merta melakukan penilangan apalagi meminta pembayaran denda di tempat. Penindakan tetap dilakukan secara prosedural, bertahap, dan selektif.
“Terhadap pengendara yang tidak melengkapi syarat berkendara, kami hanya memberikan teguran. Sejauh ini belum ada penilangan sambil terus melakukan sosialisasi. Warga di Meranti juga mulai tertib,” tambahnya.
Namun, Richi mengakui bahwa ada pelanggaran tertentu yang dianggap berat dan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan lain. Untuk kategori ini, petugas bisa langsung mengambil tindakan yang lebih tegas.
“Jika pun harus dilakukan teguran bahkan penindakan, itu biasanya untuk pelanggaran berat seperti bermain handphone saat berkendara atau menggunakan knalpot brong yang mengganggu ketertiban,” tegasnya.*
Sumber: SM News.com