Wacana Betapa Paniknya Lawan-lawan Politik Jokowi

Senin, 26 Februari 2018 | 01:59:01 WIB

JAKARTA, RIAUREVIEW.COM -PILPRES memang masih setahun lagi, namun pendaftaran bakal calon Presiden tak lama lagi (Agustus 2018). Saat ini baru Jokowi yang sudah memiliki tiket, siapapun cawapresnya nanti. Itu artinya nama-nama capres lain yang muncul baru sebatas wacana saja. Mereka masih menunggu parpol duduk bersama mengusung mereka.

Bila kembali ke pilpres sebelumnya, hanya ada Prabowo yang dipastikan akan muncul. Namun, elektabilitas Prabowo yang tak kunjung meningkat telah membuat frustasi para pendukungnya. Muncul wacana agar Prabowo mendorong Gatot Nurmantyo dan Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB). Gelombang ini juga didukung para pendukung Prabowo yang tak ingin Jokowi kembali menang.

Kedua sosok tersebut dianggap cukup mampu menghadang laju Jokowi pada pilpres 2019. Sebelumnya juga muncul gelombang suara Asal Bukan Jokowi (ABJ). Belakangan muncul lagi wacana agar Anies menjadi capres 2019 menantang Jokowi. Sementara itu, SBY yang ingin kembali berkuasa terus memaksa anak sulungnya untuk berkampanye secara aktif.

Semua wacana di atas menunjukkan betapa paniknya lawan-lawan politik Jokowi. Hal itu merupakan suatu kewajaran mengingat elektabilitas Jokowi yang belum mampu didekati siapapun. Wacana-wacana tersebut diharapkan mampu menambah gairah pilpres 2019. Setidaknya dapat meningkatkan animo masyarakat dalam Pilpres 2019.

Menurut pandangan saya wacana-wacana di atas merupakan panik yang tidak produktif. Mereka sibuk dengan figur yang pantas menghadang Jokowi. Namun, tidak sibuk dengan memantaskan diri menjadi pemenang. Lawan-lawan politik Jokowi seperti sibuk dengan wacana siapa, namun lupa dengan kerja nyata bagaimana meningkatkan elektabilitas.

Acuan mereka hanya hasil survei dari lembaga survei tanpa langsung turun ke masyarakat. Sebagai pegiat lembaga survei saya tahu betul bahwa lembaga survei politik itu dibiaya oleh kandidat atau pendukung kandidat yang akan berkompetisi. Walaupun mereka mengatakan diri sebagai lembaga independen akan tetapi unsur subjektif tetap ada.

Rilis lembaga-lembaga survei ternyata menambah panik lawan politik Jokowi. Kini perbincangan malah bergeser siapa yang pantas menjadi cawapres Jokowi. Muncul wacana agar Prabowo menjadi pendamping Jokowi, yang teranyar muncul nama Wiranto. Kepanikan tersebut seolah berucap; 'Pilpres telah usai dan kini tinggal menanti wapres pilihan Jokowi'.

Cikeas maupun Prabowo tampaknya tak bisa berbuat banyak. SBY cukup puas bila anaknya dapat mendampingi Jokowi, sementara Prabowo belum menemukan wapres yang akan mendongkrak elektabilitasnya. Maka wajar bila bukan hanya mereka yang panik, para pendukung mereka pun merasakan hal yang sama. Harus diakui bahwa elektabilitas Jokowi menjauhi mereka berdua, walaupun mereka menjadi pasangan capres dan cawapres.

Hingga detik ini, baik Prabowo maupun SBY belum mau duduk bersama membahas koalisi Pilpres 2019. Itu artinya kedua arus politik tersebut lebih memilih kalah dibandingkan menang, lebih memilih panik dengan wacana-wacana ketimbang menyatukan langkah strategis dan taktis. Padahal bila mereka berkoalisi sekalipun belum tentu menang apalagi bila berjalan sendiri-sendiri.

Kekuatan Jokowi yang memiliki parpol-parpol terbanyak memang sulit diimbangi Prabowo dan SBY. Kenyataan itu yang harusnya disadari keduanya kecuali mereka telah menyatakan menyerah. Nama-nama capres yang muncul selama ini menjadi tak berguna tanpa dukungan Prabowo dan SBY. Belum adanya figur yang memiliki elektabilitas cukup tinggi menjadi salah satu sebabnya.

Kalaupun ada kandidat ideal, bagi Prabowo maupun SBY belum tentu ideal. Apalagi SBY yang cenderung lebih memilih kalah asalkan kandidatnya dari trah-nya ketimbang menang namun kandidatnya bukan trah-nya. Tampaknya dalam hal ini mereka berdua harus belajar dari Megawati. Sikap rela Megawati mendukung Jokowi yang bukan dari keluarga mereka patut diapresiasi.

Nah, bila lawan-lawan politik Jokowi ingin menyudahi kemenangan Jokowi, jalan koalisi dan sikap rela mengalah adalah salah satu solusinya. Mereka harus serahkan estafet kepemimpinan kepada figur baru, sebagaimana Megawati yang rela mundur dan mencalonkan Jokowi.  Sikap negarawan yang dapat mengalahkan Jokowi, bukan panik. Cara lainnya adalah bersabar Jokowi menyelesaikan dua periode pemerintahan. Itu artinya Pilpres 2019 biarkan Jokowi melenggang sendiri.

Bila memang pilihan terakhir yang dipilih, wacana tak produktif yang selama ini dilakukan sebaiknya disudahi. Lebih baik fokus pada Pileg 2019 dan menyusun kekuatan untuk Pilpres 2024. Kepanikan yang selama ini dirasa dapat diturunkan tensinya, benar bahwa kompetisi belum dimulai akan tetapi sadar diri itu penting.

Sadar diri bahwa tahun 2019 masih milik Jokowi, bukan milik Prabowo, SBY, Anies, Gatot maupun TGB. Salah satu cara agar 2024 memiliki kekuatan, nama-nama di atas sebaiknya melamar menjadi cawapresnya Jokowi. Sikap itu lebih ideal, lebih tahu diri dan sadar diri. Sikap itu lebih rasional dan wajar dilakukan ketika angka-angka politik belum berpihak.

Selama ini oposisi di Indonesia juga timbul tenggelam, apalagi aneh rasanya bila oposisi ikut melakukan korupsi. Mengapa malu berkoalisi dengan pemerintah bila senang melakukan korupsi dan bekerjasama untuk hal jahat dengan parpol pendukung pemerintah. Walaupun pelaku merupakan oknum, akan tetapi rakyat awam tentu lebih memilih generalisasi. Satu hal yang penting, bek panik (jangan panik). [***]

Don Zakiyamani
Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Islam (JIMI)

Sumber: rmol.co

Terkini