Ahok, “Sang Trouble Maker?”

Ahok, “Sang Trouble Maker?”
Direktur Lapi Huttara. (Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara)

PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM -Basuki Tjahya Purnama (BTP) alias Ahok, ya....begitulah keseharian yang kita dengar belakangan ini, cukup kontroversial, membuat gaduh, ada yang mendukung dan tidak sedikit pula yang mengkritiknya. Apapun itu, suka tidak suka, mau tidak mau Ahok sudah menerima “mandat” dari Kementrian BUMN untuk menjabat sebagai Komisaris Utama (Komut) Pertamina (Persero).

Sejumlah “PR” yang tergolong berat harus dapat diselesaikan sesegera mungkin sebagai bentuk klarifikasi bahwa Ahok adalah orang yang mempunyai dedikasi dan berintegritas. Berbeda dari itu, ada anggapan Ahok sebagai mantan narapidana membuat nilai kepantasan dan kepatutan sebagai Komut Pertamina menjadi terdegradasi, ya..itu lah Ahok, selepas keluar dari Lapas Mako Brimob ternyata “proposal moralnya” masih diperdebatkan, belum lagi menyangkut isu-isu permasalahan hukum ketika ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.  

Kalaulah demikian, dari segi apa yang dapat lakukan agar penilaian terhadap ahok lebih terkesan objektif? lalu bagaimana semsetinya mekanisme yang harus dilalui Ahok untuk dapat ditetapkan duduk menjadi Komisaris BUMN? 

Setidaknya ada 2 (dua) standar yang dipakai jika berdasarkan  perundang-undangan, yakni standar materil dan formil, Pada standar materil, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU No.19/2003) menyaratkan komisaris BUMN harus mempunyai integritas, dedikasi, memahami manajemen perusahaan dan pengetahuan pada bidang Persero tersebut. Meninjau standar materil ini, agak sulit kiranya dinilai dengan objektif, tarik saja persoalan integritas, maka tidak akan dijumpai standar yang terukur, karena memang  kita tidak pernah mendefinisikan sebuah integritas itu, perundang-undangan yang berkaitan dengan BUMN pun tidak pernah meletakkan standar integritas itu seperti apa, maka wajar saja publik dapat melihat integritas Ahok  dari sudut yang mereka senangi.

Pada standar formil merujuk PerMen BUMN Nomor Per-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN, didalamnya ada ketentuan yang harus dipenuhi yakni cakap melakukan perbuatan hukum, tidak pernah dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pencalonan, tidak pernah menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pencalonan dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Standar materil ini akan lebih dapat diukur dari pada standar formil, misalnya pada syarat “tidak pernah dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pencalonan” atau “tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara”, maka syarat seperti ini akan sangat mudah memverifikasinya dengan melihat rekam jejak ahok apakah pernah dinyatakan pailit atau apakah pernah melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, dari sini tentu kita dapat menilai personal Ahok secara objektif.

Tidak cukup hanya menilai pada standar materil dan formil dengan tujuan agar calon komisaris BUMN bisa dilihat lebih objektif, publik juga harus dibawa untuk mengetahui bagaimana proses verifikasi atas standar-standar itu, artinya pemerintah juga harus membawa publik pada tatanan diskusi menyangkut proses pengangkatan seseorang menjadi komisaris  BUMN yang selama ini terkesan tiba-tiba atau berada diruang samar-samar. 

Penjaringan dan Penilaian 

Pertama, menyoal Penjaringan, apakah selama ini Ahok menempuh mekanisme penjaringan sebagai calon komisaris BUMN yang diamanahkan PerMen BUMN Nomor Per-02/MBU/02/2015? proses penjaringan juga akan membantu publik untuk ikut andil memberikan masukan dan kritik atas calon yang diusulkan. Jika kita menganggap nilai filosofis BUMN mempunyai peranan penting dalam kesejahterahan masyarakat luas, sebaiknya publik diikutsertakan dalam proses penjaringan tersebut.

Kedua, menyoal Penilaian, disini kita dapat menverifikasi standar formil sebagai syarat-syarat yang diajukan Ahok untuk menjadi Komisaris BUMN, lalu apakah selama ini Ahok mendapatkan penilaian dengan menverfikasi standar formil tersebut? verifikasi standar formil sebenarnya cukup dengan mengisi lembaran pernyataan yang sudah ditentukan pada lampiran PerMen BUMN No. Per-02/MBU/02/2015.

Proses penjaringan dan penilaian itu bisa saja sudah dilakukan atau bisa saja tidak pernah dilakukan sama sekali, namun yang pasti selama ini publik tidak pernah disuguhkan informasi  yang berkaitan dengan penjaringan dan penilaian terhdap calon komisaris BUMN (siapapun mereka) dan yang ada hanyalah  komisaris BUMN “tiba-tiba”.

Mungkin juga ada alasan lain mengapa publik tidak pernah dibawa berdiskusi berkaitan dengan calon komisaris BUMN, pada ketentuan lampiran Bab IV dalam PerMen BUMN No. Per-02/MBU/02/2015 memang meletakkan item kerahasiaan, dimana proses dan hasil penilaian terhadap calon komisaris BUMN bersifat rahasia, bahkan menegaskan pejabat dan pegawai kementerian BUMN serta pihak manapun dilarang membocorkan hasil penilaian. Itu sebabnya mungkin publik tidak mendapatkan informasi yang utuh berkaitan dengan calon komisaris BUMN.

Hal seperti itu sangat bertentangan dengan semangat ketika PerMen BUMN dibentuk, karena pada awalnya PerMen Nomor Per-02/MBU/02/2015 merupakan amanat dari pasal 30 UU No.19/2003 dan dimaksudkan untuk menciptakan suatu sistem yang akuntabel dalam memperoleh Komisaris yang professional, berintegritas, berdedikasi dan memiliki kompetensi dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasehat pada BUMN. Pertanyaannya, bagaimana suatu sistem dapat dikatakan akuntabel sementara proses penilaian calon komisarisnya bersifat rahasia?

Jika kita giring ke UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) bahwa pasal 14  poin “f” menyatakan ada kewajiban BUMN untuk membuka informasi berkaitan dengan mekanisme penetapan dewan komisaris, jadi jelas bahwa proses penilaian calon komisaris BUMN bagian dari UU KIP yang wajib diketahui publik  dan proses penilaian calon komisaris itu bukanlah bersifat “rahasia negara”, sementara Menteri BUMN menghendaki adanya “keerahasiaan” dalam proses penilaian calon komisaris BUMN melalui instrumen PerMen BUMN Nomor Per-02/MBU/02/2015, jadi ada kesan pengingkaran Menteri BUMN atas suatu prosedur yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang.

Persoalan lain berkaitan komisaris Pertamina sebagai persero, menteri BUMN mendapatkan keistiewaan bertindak selaku RUPS jika seluruh saham persero dimiliki oleh negara, konsekuensinya pengangkatan komisaris cukup ditetapkan melalui Keputusan Menteri dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan yang diambil secara sah dalam RUPS. Melihat laman resmi Pertamina pada item “pemegang saham” dijelaskan Pertamina adalah perusahaan energi nasional yang 100% kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia, jika benar adanya, bisa saja melalui Menteri BUMN bertindak selaku RUPS menunjuk langsung Komisaris yang percayai. Namun, apakah penunjukan langsung itu harus melalui penjaringan dan penilaian? atau tidak sama sekali?

Sebaiknya pemerintah meninjau kembali sistem penjaringan dengan lebih transparan dan tidak terkesan tiba-tiba terhadap penunjukan seseorang menjadi Komisaris BUMN, mengingat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara dan tentu saja ada baiknya publik ikut berperan atas itu….Insya Allah…

Oleh : Direktur Lapi Huttara (Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara). 

Berita Lainnya

Index