Gelondongan Kayu Hanyut Jadi Simbol Luka Sumatera

Senin, 01 Desember 2025 | 19:37:39 WIB
Kayu gelondongan besar terbawa arus banjir di Sumatera. (antara)

RIAUREVIEW.COM --Di tengah banjir yang menghantam Sumatera, muncul pemandangan yang membuat dada banyak orang sesak: batang-batang kayu besar terseret arus, seolah ikut menjadi saksi bisu dari kerusakan yang selama ini terjadi diam-diam. Video viral yang menampilkan gelondongan kayu menghantam jembatan dan meluncur bersama lumpur bukan sekadar rekaman bencana—tetapi gambaran betapa rapuhnya hutan yang selama ini menjadi penyangga hidup ribuan keluarga.

Unggahan dari warga Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah memicu gelombang kemarahan. Banyak yang menyebut banjir ini bukan semata ulah alam, melainkan buah dari hutan yang ditebang tanpa belas kasihan. 

Di tengah hiruk-pikuk kritik, Kementerian Kehutanan akhirnya angkat suara. Dirjen Gakkum Kemenhut, Dwi Januanto Nugroho, mencoba menjelaskan bahwa kayu-kayu itu bisa berasal dari banyak sumber: pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, hingga area bekas penebangan legal.

Namun penjelasan awalnya—yang menyebut sebagian kayu berasal dari pohon lapuk—langsung memicu kontroversi. Warganet membandingkan pernyataan itu dengan visual yang menunjukkan kayu terpotong rapi, seakan baru saja diseret dari lokasi penebangan.

“Kami tidak pernah menafikan kemungkinan praktik ilegal. Semua sumber sedang ditelusuri,” tegas Dwi dalam klarifikasi lanjutan, Minggu (30/11/2025). 

Faktanya, sepanjang tahun 2025, aparat Gakkum memang berkali-kali membongkar dugaan pencucian kayu ilegal yang memanfaatkan dokumen PHAT. Mulai dari kasus kayu ilegal 86 meter kubik di Aceh Tengah, 152 batang kayu log yang diangkut dengan dokumen bermasalah di Solok, hingga ribuan meter kubik kayu dari Mentawai yang dikirim menggunakan dokumen PHAT yang dipalsukan. Bahkan di Sipirok, 4 unit truk kayu bulat diamankan karena menggunakan dokumen yang sudah dibekukan. 

“Kejahatan kehutanan tidak lagi bekerja secara sederhana. Dokumen bisa dipalsukan, digandakan, atau dipinjam namanya,” ujar Dwi. 

“Ini melegakan hati masyarakat dan meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah,” ujarnya. 

Sementara itu, Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, menyampaikan duka mendalam atas bencana yang memporak-porandakan Aceh, Sumut, dan Sumbar. Namun ia mengakui bahwa bencana ini membawa pesan yang tidak boleh diabaikan.

“Kita mendapatkan momentum yang baik karena semua mata melihat, semua telinga mendengar, semua merasakan apa yang terjadi,” ungkapnya.

Ia menyebut bencana ini sebagai alarm keras bahwa tata kelola hutan harus kembali dibenahi. Selama ini, kata dia, keseimbangan antara ekonomi dan ekologi terlalu condong pada eksploitasi. 

“Pendulumnya harus ditarik kembali ke tengah. Buktinya nyata untuk saudara-saudara kita,” tuturnya.

Di tengah lumpur, arus deras, dan batang-batang kayu yang menghantam rumah warga, terlihat jelas bahwa ini bukan sekadar bencana alam. Hutan yang rubuh membawa serta kehidupan yang ikut terseret. Dan masyarakat Sumatera kini menunggu satu hal: bukti bahwa negara benar-benar hadir untuk menjaga hutan yang tersisa dan menindak siapa pun yang merusaknya. **

 

 

 

 

Sumber: Liputan.com

Terkini