BENGKALIS,RIAUREVIEW.COM—Ketua DPRD Bengkalis H. Khairul Umam, Lc kembali angkat bicara terkait mosi tidak percaya 36 anggota DPRD Bengkalis, yang menerpa hari ini. Khairul Umam mengatakan, jika narasi dan opini yang dibangun dalam sejumlah pemberitaan tidak berbentuk fakta, yang terjadi.
Melalui press rilisnya, Kamis (21/9/2023). Khairul Umam mengatakan, semua opini dan tulisan pada media-media masa maupun elektronik dengan substansi pemberitaan tentang, Mosi Tidak Percaya Pimpinan dan Anggota DPRD terhadap dirinya, selaku Ketua DPRD Bengkalis Periode 2019-2024, perlu diluruskan.
Dikatakannya, rakyat Bengkalis yang teramat dicintai dan banggakan, negara Indonesia saat ini, termasuk di dalamnya masyarakat Bengkalis yang merupakan keturunan etnis Melayu, telah bersepakat dengan perwakilan dari seluruh Indonesia untuk menitipkan hak dan kewenangan menjalankan negara kepada pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.
Melalui proses yang demokratis dan partsipatif (sesuai apa maunya masyarakat). Tentunya, sepakat bahwa masih terdapat kekurangan yang terus diupayakan, untuk disempurnakan dalam penyelenggaraan pemerintahan selama ini, khususnya di daerah kita Bengkalis.
Ia menuturkan, apa yang dirinya sungguh telah mengkhianati cita-cita besar dari pemerintahan, yang demokratis (dari rakyat untuk rakyat). Bagi dirinya, jabatan sebagai Ketua DPRD Bengkalis, bukanlah sesuatu hal yang menjadi persoalan utama atau alasan utama sehingga dirinya perlu, untuk merespon dengan sikap "Melawan" seperti saat ini.
Akan tetapi, katanya lagi, upaya yang dilakukan tidak lain tidak bukan di latarbelakangi panggilan semangat (Ghiroh) untuk menjaga dan mengawal penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Bengkalis.
“Saya masih istiqomah dan tetap pada koridor hukum serta demokrasi. Lebih jauh lagi hal ini saya lakukan semata-mata untuk mempertahankan suara rakyat Bengkalis hasil Pemilu yang sah dan demokratis. Suara rakyat tersebut direpresentasikan pada PKS dan dititipkan pada saya selaku salah satu anggota fraksi PKS yang menjadi pemenang Pemilu pada tahun 2019,”ungkap Ketua DPRD Bengkalis H. Khairul Umam.
Sebagaimana diketahui bersama, urainya, mengacu pada peraturan perundangan, jabatan Ketua DPRD Bengkalis itu terdiri dari anggota partai politik pemenang pemilu. Begitu juga apabila nanti terjadi usulan pergantian, maka partai pemenang pemilu tetap mengisi jabatan tersebut.
“Saya mengajak kita semua merenungkan sejenak saja, tanggalkan urusan kepentingan, gunakan hati nurani dan akal sehat. Pertama, dalam merespon masalah ini, apakah pelanggaran yang saya lakukan selaku Ketua DPRD Bengkalis, selama menjalankan tugas, sehingga layak untuk diusulkan pemberhentian sebagai Ketua? Adakah alasan tersebut termuat dalam peraturan perundang-undangan. Bisakah pihak-pihak yang menentang kepemimpinan saya tersebut menguraikannya?,”katanya.
Kedua, apabila tidak dapat ditemukan alasan pemberhentian yang dimaksud, menurut peraturan perundang-undangan, apakah segala usaha, strategi, kompromi, kebijakan dan aksi yang dilakukan untuk mengganti kepemimpinan sebagai Ketua DPRD Bengkalis yang sah adalah sebuah tindakan yang dapat dibenarkan?
“Sejenak kita renungkan hal yang saya sebutkan tadi. Terakhir sekali saya ingin kembali pada suara rakyat Bengkalis yang diperjuangkan selama ini oleh DPRD. Saya anggap upaya ini adalah pembangkangan terhadap prinsip demokrasi dalam mengelola pemerintahan di daerah. Oleh sebab itu, masyarakat Bengkalis harus tahu siapa saja aktor pembangkangan demokrasi tersebut dan bagaimana sikap saya dalam rangka untuk mempertahankan pinsip demokrasi,”ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakannya, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, Pasal 35 yang menyatakan bahwa “Pimpinan DPRD merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kologial.
Maka dari itu, sambungnya, terhadap penerapan Pasal 35 ini, adakah Khairul Umam, selaku Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis bersikap otoriter dan mengabaikan asas demokrasi, yang bersifat kologial, yaitu tidak memberikan kewenangan kepada para Wakil Ketua? Jawaban nya adalah, Khairul Umam, selaku Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis selalu mengedapankan Kolektif Kologial dalam menjalankan Pimpinan DPRD
“Perlu saya sampaikan, apakah saya otoriter, menurut saya selama ini saya tidak pernah berlaku otoriter, hal ini dilakukan karena saya memahami maksud dari kolektif kologial, merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukan kepemimpinan, yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam semangat kebersamaan,”tuturnya.
Dijelaskannya, merujuk penjelasan Pasal 35 PP 12 Tahun 2018 menyatakan yang dimaksud dengan “Kolektif dan kolegial” adalah Tindakan dan/ atau keputusan rapat paripurna oleh 1 (satu) atau lebih unsur pimpinan DPRD dalam rangka, melaksanakan tugas dan wewenang pimpinan DPRD sebagai tindakan dan/ atau keputusan semua unsur pimpinan oleh Ketua atau Wakil Ketua DPRD mempunyai kekuatan hukum sama.
“Berdasarkan pengertian dan pada penjelasan Pasal 35 tersebut sangat jelas, bahwa kolektif kolegial hanya berlaku pada rapat paripurna dan itupun harus “kepemimpinan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam semangat kebersamaan,”katanya lagi.
Namun hal yang terjadi, sesuai fakta untuk membuat mosi tidak percaya, yang dipimpin salah satu Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis, secara langsung bisa memimpin Rapat Paripurna DPRD Bengkalis, sekalipun tidak diagendakan melalui rapat pimpinan DPRD sebagaimana rujukan tata tertib, serta tidak melibatkan dua orang pimpinan DPRD yaitu, “saya dan saudara Syahrial (Wakil Ketua I DPRD Bengkalis). Maka, kondisi ini justru tindakan memimpin rapat paripurna tersebut bisa dikategorikan sebagai tindakan otoriter karena bertindak “sewenang-wenang” dan “merasa berkuasa sendiri.
Kemudian, terhadap tuduhan mosi tidak percaya oleh 36 orang anggota DPRD Kabupaten Bengkalis, jika di latar belakangi adanya proses PAW 4 orang anggota Golkar, yang telah pindah ke Partai PDIP serta berdalih terhadap proses PAW ada gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis, maka mosi tersebut tidaklah tepat dan terkesan mengada-ada.
“Analisa dan penjelasan saya adalah dalil-dalil demikian apakah cukup dijadikan mosi tidak percaya? sungguh sangat sangat keterlaluan jika hal itu benar benar terjadi, padahal proses PAW yang dilakukan, sesuai ketentuan hukum dengan merujuk Pasal 128 Tata Tertib DPRD Kabupaten Bengkalis Junto Pasal 100, Pasal 104 peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dan merujuk Surat Keputusan resmi DPP Partai Golkar tertanggal 04 Agustus 2023 Nomor: B-1004/GOLKAR/VIII/2023 yang masuk dimeja Ketua DPRD Kab. Bengkalis, kemudian pada tanggal 10 Agustus 2023 Ketua DPRD Kab. Bengkalis menyurati KPU Kab. Bengkalis sebagai lembaga resmi Negara yang berhak menentukan siapa yang sah untuk menjadi anggota DPRD penggantinya, yakni dengan Nomor surat: 100.1.4.2/240/DPRD,”paparnya.
Sehingga, apa yang melatarbelakangi mosi tidak percaya dengan menempel isu proses PAW 4 orang anggota Golkar, yang telah pindah ke Partai PDIP merupakan dalil yang menciderai semangat Demokrasi dan menciderai kelembagaan DPRD Kabupaten Bengkalis.
Namun, sambung Khairul Umam, jika sejauh ini terdapat tindakan dirinya, selaku Ketua DPRD Bengkalis, yang telah melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik dalam proses PAW 4 orang anggota Golkar, yang telah pindah ke Partai PDIP, semestinya pengaduan yang dilakukan 36 Anggota DPRD Bengkalis memenuhi prosedur sebagaimana di maksud dalam Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85 Peraturan DPRD Bengkalis Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan DPRD Bengkalis Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPRD Kabupaten Bengkali masa Jabatan 2019 – 2024.
“Padahal saya sudah menyampaikan secara tertulis kepada Ketua Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Bengkalis akan memberikan klarifikasi jawaban atas pengaduan dengan ketentuan memperbaiki, pengaduan prosedur hukum sebagaimana diatur dalam Tatib kedewanan,”tegas Khairul Umam.
Ketua DPD PKS Kabupaten Bengkalis ini menyebutkan, yang terjadi hari ini adalah pengaduan 36 Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis berupa menandatangani mosi tidak percaya kepada H. Khairul Umam, sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis.
“Saya jelas menduka kuat atas peristiwa ini dilakukan dengan cara penggelapan prosedur hukum, mengangkangi Tatib DPRD Kabupaten Bengkalis, kemudian Badan Kehormatan secara gegabah dan terburu-buru membacakan surat keputusan dan rekomendasi terkait adanya mosi tidak percaya pada tanggal 19 September 2023, meskipun belum ada klarifikasi, verifikasi dari H. Khairul Umam, prosedur demikian sangat bertolak belakang dan justru melanggar kode etik terhadap peraturan DPRD Kabupaten Bengkalis Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan DPRD Kabupaten Bengkalis Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPRD Kabupaten Bengkalis masa jabatan 2019 – 2024,”timpalnya.
Jika demikian, urainya, dugaan adanya penggelapan prosedur hukum sebagaimana diatur dalam Tatib diperkuat, karena Badan Kehormatan, yang sejatinya menjaga martabat dan kehormatan DPRD, juga masuk kedalam 36 anggota DPRD Kabupaten Bengkalis, yang mengusulkan mosi tidak percaya, sehingga prosedur demikian dilakukan untuk mengakamodir kepentingan kelompok tertentu dan tidak lagi mengutamakan kepentingan masyarakat kabupaten Bengkalis, yang tercinta ini.
“Dugaan perlu saya sampaikan, karena conflict of interest harus di hindarkan dalam proses pengaduan. Saya menyadari, lembaga DPRD merupakan lembaga politik sehingga setiap tindakan Anggota DPRD termasuk membuat mosi tidak percaya, ini merupakan ekspresi politik,”katanya.
Meski demikian, timpalnya, substansi yang disampaikan mesti jelas, bukan “asal tuduh” tanpa menjelaskan bentuk tindakan, yang bertentangan dan harus sesuai prosedur hukum sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 12 Tahun 2018, tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dan Tatib DPRD Kabupaten Bengkalis, serta menjelaskan Pasal dan ayat berapa yang bertentangan dan yang di langar.
“Hal ini lah yang sangat penting disampaikan, agar lembaga DPRD bukan menjadi medan pertaarungan fitnah, tetapi medan pertarungan ide dan gagasan untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat Kabupaten Bengkalis,”tandasnya.
Tempuh Jalur Hukum
Sementara itu, sesuai analisis dan penjelasan tentang substansi serta lahirnya, mosi tidak percaya” yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis, yang memimpin rapat paripurna DPRD Kabupaten Bengkalis, merupakan tindakan yang melanggar ketentuan PP 12/2018 Pasal 35, Pasal 37 tentang sifat kolektif dan kologial dari pimpinan DPRD.
Sejatinya, prosedur yang harus dijalani berdasarkan ketentuan, maka tugas dan wewenang memimpin rapat DPRD sebagimana di maksud Pasal 33 huruf a adalah tugas yang melekat pada jabatan pimpinan DPRD secara kolektif-kologial, bukan pada unsur wakil ketua, sehingga, ketika rapat paripurna tidak melalui inisiatif, rapat pimpinan DPRD, maka rapat Paripurna berikut hasil-hasil tidak memiliki dasar pijakan yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
“Dengan kata lain, jika rapat Paripurna melalui proses yang cacat prosedur, maka hasil-hasilnya pun cacat secara hukum sehingga setiap oknum pimpinan DPRD, yang terlibat dalam melahirkan keputusan yang cacat hukum mesti dimintai pertangungjawaban secara hukum pula,”tegasnya.
Keikursertaan oknum anggota dan ketua Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Bengkalis, merupakan salah satu Alat Kelengkapan DPRD (AKD), secara fungsional diduduki oleh orang-orang yang memiliki integritas diri yang tinggi sehingga selain menghindari adanya perilaku tercela, juga dapat menjadi teladan bagi sesama anggota DPRD lainya.
Namun, yang terjadi sekarang dalam permasalahan ini, justru anggota dan Ketua Badan Kehormatan turut serta lahirnya surat, mosi tidak percaya dan secara otomatis menjadi pihak pelapor di BK.
“Bagaimana kemudian anggota dan ketua BK menjadi “pihak pelapor” dan “Hakim” secara bersamaan atas kasus yang dilaporkanya sendiri? Bagaimana para hakim BK bisa menghindari Conflict of interest, padahal mereka sendiri bertindak sebagai pihak pelapor/pengadu? Oleh sebab itu, tindakan para anggota dan Ketua BK tersebut menciderai marwah dari Badan Kehormatan DPRD, sehingga secara etik tidak pada tempatnya menjadi Anggota BK dan/ atau Hakim BK yang mengadili perkara ini,”ujarnya dengan nada datar.
Ia pun menduga motivasi utama dari mosi tidak percaya tersebut adalah motif politik, bukan motif kinerja, artinya tindakan tersebut dimaksudkan untuk menjatuhkan kredibilitas, harkat, martabat, kehormatan dan harga diri darinya.
Secara pribadi dan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis, katanya, terhadap pimpinan dan 36 anggota DPRD Bengkalis, yang menyatakan mosi tidak percaya, ternyata hadir bukan untuk perbaikan kinerja lembaga DPRD Kabupaten Bengkalis.
“Atas dasar itu, maka demi menjaga kredibiltas, harkat, martabat, kehormatan dan harga diri kami baik secara pribadi maupun kepemimpinan, dengan ini kami nyatakan sikap, tidak dapat menerima semua tuduhan-tuduhan sebagaimana tersebut diatas dan saya akan meneruskan permasalahan ini ke ranah hukum, khususnya atas semua tuduhan yang telah mengarah dan mengandung unsur pidana dan perdata yang dilakukan secara kajian hukum mendalam sebab, tuduhan-tuduhan serta perilaku oknum yang dapat mencoreng nama lembaga DPRD Kabupaten Bengkalis,”tegasnya sembari telah mempersiapkan upaya dan langkah selanjutnya tehadap tim kuasa hukumnya.(ra)