Jejak Panjang Skandal Kasus Korupsi Kopi Liberika: Pejabat Kepulauan Meranti Kembali Terseret

Jumat, 15 Agustus 2025 | 17:20:53 WIB
Unit Tipikor Satreskrim Polres Meranti resmi menahan Z (45), Kepala Bidang Perkebunan di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP). Foto: SM News

RIAUREVIEW.COM --Di Kepulauan Meranti, kopi liberika bukan sekadar komoditas. Ia adalah identitas rasa, kebanggaan tanah gambut, dan cerita panjang yang pernah menjadikannya harum hingga ke mancanegara. Namun, di balik aroma khasnya, terselip catatan kelam yang terus berulang dan kembali mencuat— kasus hukum yang menyeret nama kopi ini ke meja penyidik, kisah yang kini menyeret seorang pejabat ke balik jeruji besi.

Kilas balik ke tahun 2024, publik dikejutkan oleh kabar bahwa proyek pengadaan bibit kopi liberika di kabupaten ini bermasalah. Kala itu, dua orang ditetapkan sebagai tersangka, meninggalkan luka dan rasa kecewa di tengah masyarakat yang berharap kopi liberika akan menjadi pintu gerbang kemajuan ekonomi daerah.

Sempat senyap beberapa tahun, bayang-bayang kasus itu kini kembali menyeruak. Proyek yang sejatinya diharapkan menjadi berkah, lagi-lagi berujung pada dugaan tindak pidana korupsi. Kali ini, seorang pejabat resmi ditetapkan sebagai tersangka. Nama dan jabatannya mungkin baru, tetapi pola masalahnya terdengar familiar bagi mereka yang mengikuti kasus ini sejak awal.

Bagi para petani, kabar ini bukan sekadar berita hukum. Ia adalah pengingat pahit bahwa mimpi menjadikan kopi liberika sebagai primadona ekspor kerap terganjal oleh ulah segelintir orang. Di kebun-kebun kecil milik warga, pohon kopi liberika yang dulu diharapkan tumbuh subur kini menjadi saksi bisu bagaimana sebuah proyek besar berubah menjadi perkara panjang di ranah hukum.

Selasa malam, 12 Agustus 2025, suasana di Mapolres Kepulauan Meranti terasa tegang. Unit Tipikor Satreskrim Polres Kepulauan Meranti resmi menahan Z (45), Kepala Bidang Perkebunan di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP). Ia digiring menuju ruang tahanan. Tangannya terborgol, langkahnya tertunduk, dan sorot matanya kosong. Z kini menyandang status tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan bibit kopi liberika tahun anggaran 2023.

Penahanan ini bukan sekadar kabar hukum biasa — ia adalah babak terbaru dari dugaan korupsi pengadaan bibit kopi liberika.

Kapolres Kepulauan Meranti, AKBP Aldi Alfa Faroqi, mengungkapkan bahwa perjalanan kasus ini dimulai dari sebuah laporan polisi pada 26 Februari 2025. Dari laporan itu, penyidik menelusuri jejak proyek pengadaan 225.000 bibit kopi liberika senilai Rp2,25 miliar. Proyek yang pendanaannya berasal dari Tugas Pembantuan (TP) Mandiri tahun 2023 yang berhasil diraih DKPP dari Kementerian Pertanian melalui Dirjen Perkebunan ini awalnya terdengar seperti angin segar bagi petani, karena bibit tersebut diharapkan menjadi awal kebangkitan kopi liberika Meranti.

Namun, harapan itu kandas. Proses pengadaan yang dilakukan melalui e-Katalog, dengan penyedia CV Selko, justru diduga menjadi celah penyalahgunaan wewenang. Z, yang kala itu juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), disebut mengelola kegiatan secara langsung sekaligus menjadi penyandang dana — sebuah posisi ganda yang menabrak prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Di kebun-kebun kecil milik warga, kabar penahanan ini menyisakan rasa getir. Bagi mereka, bibit kopi bukan sekadar proyek, tapi janji masa depan. Dan ketika janji itu ternoda, yang tersisa hanya rasa kecewa dan pertanyaan: berapa kali kopi liberika harus terjerat dalam perkara hukum sebelum benar-benar menjadi kebanggaan Meranti?

Kapolres Kepulauan Meranti, AKBP Aldi Alfa Faroqi, mengungkapkan program ini sejatinya adalah kebanggaan DKPP. Namun, janji manis itu berbalik pahit. Kelompok Tani Tunas Mandiri di Desa Semukut yang seharusnya menerima 90.000 bibit, hanya mendapat 60.000. Kelompok Tani Bina Maju di Desa Padang Kamal yang dijanjikan 135.000 bibit, hanya menerima 108.200. Total bibit yang benar-benar sampai ke tangan petani hanya 168.200, menyisakan kekurangan 56.800 bibit. Lebih parah lagi, bibit yang disalurkan tak memiliki sertifikasi sebagaimana mestinya.

“Dugaan kuat, tersangka Z yang saat itu menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mengelola kegiatan secara langsung sekaligus menjadi penyandang dana, sesuatu yang tidak semestinya dilakukan,” ujar Kapolres.

Dalam pengungkapan ini, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa uang tunai Rp50 juta, dokumen asli kontrak pengadaan, serta dokumen pencairan dana tahap I sebesar Rp1,108 miliar dan tahap II sebesar Rp1,085 miliar. Hasil audit Inspektorat Kementerian Pertanian RI menegaskan, kerugian negara mencapai Rp1,43 miliar.

Di tengah aroma skandal yang semakin pekat, kasus korupsi kopi Liberika di Kepulauan Meranti terus membuka babak-babak baru. Bukan hanya menyeret pejabat dinas dan penyedia bibit, kini riak kasus ini juga merambat ke pihak lainnya. 

Sejumlah pihak beberapa waktu itu pernah dipanggil penyidik kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Pemanggilan itu dilakukan setelah tersangka Z menyebutkan adanya aliran dana ke sejumlah pihak di luar pemerintahan. Mereka dimintai klarifikasi satu per satu, menjawab pertanyaan yang kerap dibalik-balik untuk memastikan kebenaran informasi.

Penyidik mesti menyusun ulang puzzle untuk mengungkap seluruh alur uang miliaran rupiah yang raib dalam proyek pengadaan bibit kopi Liberika.

Pasal yang menjerat Z bukan main-main: Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang ancaman hukumannya penjara minimal 1 tahun, maksimal 20 tahun dan denda minimal Rp50 juta, maksimal Rp1 miliar.

Kini, Z harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Sementara itu, masyarakat hanya bisa berharap agar kasus ini menjadi yang terakhir, dan kopi liberika kembali dikenal karena rasanya yang khas — bukan karena drama korupsinya

Kasus ini bukan sekadar catatan angka dan pasal. Di baliknya, ada janji kesejahteraan yang diharapkan petani, ada harapan yang seharusnya tumbuh bersama biji kopi liberika — kopi khas Meranti yang sudah lama menjadi kebanggaan daerah, namun kini terjerat dugaan manipulasi.

Setelah Z, pejabat di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP), ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kepulauan Meranti, ternyata kasus serupa juga pernah lebih dulu diusut oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepulauan Meranti.

Dalam kasus yang diungkap Kejari ini, dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah S, seorang perempuan yang menjabat sebagai Pengguna Anggaran (PA) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan K, penyedia sekaligus pelaksana pengadaan bibit kopi. Keduanya tersandung dalam proyek pengadaan bibit kopi liberika tahun anggaran 2022 yang digarap Dinas Permukiman Rakyat, Perumahan, Pertanahan, dan Lingkungan Hidup (Perkimtan-LH) Kabupaten Kepulauan Meranti.

Pagu anggaran proyek ini mencapai Rp2.102.761.900. Namun hasil perhitungan, kerugian negara yang ditimbulkan tidak main-main — mencapai Rp663.635.771. Menurut penyidik, masalah bermula dari laporan pertanggungjawaban (SPj) pelaksanaan yang diduga fiktif dan tidak sesuai aturan.

Luka lain bagi proyek ini muncul dari fakta bahwa waktu pengerjaan yang sangat singkat membuat kontraktor memilih jalan pintas yakni tidak melakukan pembibitan sendiri, melainkan membeli dari sejumlah petani penangkar. Proses yang mestinya terukur dan terjamin mutunya itu justru berbelok, meninggalkan aroma skandal di balik secangkir kopi liberika yang seharusnya harum mewangi.

Kini, masyarakat menunggu — bukan lagi menunggu panen kopi, tetapi menunggu kepastian hukum. Apakah kasus ini akan membuka jalan bagi penataan kembali sektor perkebunan yang lebih bersih, atau justru menjadi babak baru dari drama panjang yang tak kunjung selesai?

Yang jelas, aroma kopi liberika Meranti tetap memikat, tapi ceritanya kini bercampur antara kebanggaan dan ironi.

 

 

 

Sumber: SM News.com

 

Terkini