RIAUREVIEW.COM --Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang diduga hasil korupsi 'jatah preman' proyek di Dinas PUPR untuk bepergian ke luar negeri. Uang tersebut dikumpulkan dari para kepala UPT Jalan dan Jembatan di lingkungan Dinas PUPR dengan total mencapai 4,05 miliar, dan sebagian besar mengalir kepada Abdul Wahid.
"Salah satu kegiatannya itu adalah pergi lawatan ke luar negeri. Salah satunya ke Inggris, kemudian ada juga ke Brasil, dan yang rencananya yang terakhir ini mau ke Malaysia," kata Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025) kemarin.
Asep menjelaskan lawatan ke Malaysia batal dilakukan karena Abdul Wahid terlebih dahulu ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK.
Kepergian Gubernur Abdul Wahid ke Inggris terjadi pada 25-27 Juni 2025 lalu. Pemprov Riau mengklaim mendapatkan undangan dari United Nations Environment Programme (UNEP) untuk menghadiri forum investasi dan kolaborasi REDD+ di London, Inggris di acara 'London Climate Week 2025'.
Dalam kunjungannya ke Inggris, Abdul Wahid didampingi oleh sejumlah pejabat Pemprov Riau. Di antaranya Plt Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Riau, Purnama Irawansyah dan Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau, Embiyarman.
Di London, Abdul Wahid bertemu dengan perusahaan perhitungan karbon kredit terkemuka yakni ART TREES. Architecture for REDD+ Transactions (ART) adalah sebuah organisasi yang menyediakan standar dan kerangka kerja untuk REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di tingkat yurisdiksi.
Pertemuan ini dipimpin perwakilan Indonesia dari Kementerian Kehutanan Prof. Haruni dan membahas bagaimana metodologi yang akan digunakan untuk menghitung kredit karbon yang ada wilayah jurisdiksi. Kemudian juga sekaligus mempelajari program, persyaratan dan peluang ada dari Pemerintah Indonesia dan jurisdiksi Riau yang bisa berkolaborasi dengan ART TREES ke depan.
“Dua jam pertemuan dengan Pemerintah Indonesia khususnya Pemprov Riau merupakan pertemuan berharga. Kami berharap Pemprov Riau bisa membuat keputusan terbaik bergerak maju untuk perubahan iklim, dan kami berharap dapat bekerja sama kedepannya,” kata Managing Director Architecture for REDD+ Transaction (ART TREES), Cristina Magerkurth kala itu.
Pemprov Riau mengklaim keberangkatan Gubernur Abdul Wahid bersama sejumlah pejabat sepenuhnya dibiayai oleh UNEP, tanpa menggunakan dana APBD Riau sepeser pun.
Plt Kadis LHK Provinsi Riau, Embiyarman menyebut kolaborasi internasional sangat penting untuk memastikan keberlanjutan ekosistem gambut dan pemberdayaan masyarakat yang hidup di sekitarnya.
"Keberangkatan Gubri ke London merupakan bentuk nyata dari semangat menjemput bola dalam membuka peluang pendanaan global. Salah satu yang ditargetkan adalah penguatan skema REDD+ di tingkat lokal melalui kerja sama internasional yang berpotensi mendatangkan pembiayaan sebesar USD 30 juta atau setara dengan Rp492 miliar. Dana tersebut diproyeksikan akan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat, restorasi ekosistem, serta penguatan tata kelola lingkungan berbasis kinerja," kata Embiyarman pada Rabu, 18 Juni 2025 lalu.
"Semua biaya ditanggung oleh pihak UNEP, tidak menggunakan anggaran Pemprov Riau," tegas Embiyarman.
Kini, kepergian Abdul Wahid ke London itu dikait-kaitkan KPK dengan dugaan korupsi pemerasan jatah preman yang mengalir ke Abdul Wahid. Padahal, jika seluruh biaya ditanggung oleh UNEP, lantas mengapa Abdul Wahid harus mencari uang tambahan sebagaimana dituding oleh KPK.
Konstruksi Perkara Korupsi Gubernur Riau
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak membeberkan konstruksi perkara korupsi yang menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka korupsi. Perkara ini ternyata berkaitan dengan adanya dugaan permintaan fee sebesar 5 persen dari nilai proyek di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Provinsi Riau.
Johanis Tanak menjelaskan, kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang ditindaklanjuti oleh KPK. Diketahui, pada Mei 2025 lalu, Sekretaris Dinas PUPR Riau, Ferry Yunanda (FRY) melakukan pertemuan dengan 6 Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan di lingkungan Dinas PUPR Riau. Pertemuan itu membahas tentang kesanggupan pemberian fee yang akan diberikan kepada Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) sebesar 2,5 persen dari anggaran pada UPT Jalan dan Jembatan.
"Fee tersebut atas penambahan anggaran tahun 2025 pada UPT Jalan dan Jembatan yang semula sebesar Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar," kata Johanis Tanak dalam konferensi pers pada Rabu (5/11/2025).
Tanak menerangkan, hasil pertemuan soal fee 2,5 persen itu kemudian disampaikan FRY kepada Kepala Dinas PUPR Riau, Muhammad Arief Setiawan (MAS). Namun, MAS yang menurut KPK merupakan representasi Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) meminta agar besaran fee dinaikkan menjadi 5 persen.
Tanak menyebut permintaan fee tersebut di kalangan Dinas PUPR dikenal sebagai jatah preman.
"Bagi yang tidak menuruti perintah diancam dengan pencopotan atau mutasi jabatan," terang Tanak.
Tahapan Pemberian Setoran
Permintaan jatah preman 5 persen tersebut, kemudian dibicarakan oleh FRY kepada para Kepala UPT Jalan dan Jembatan lewat pertemuan lanjutan. Akhirnya, disepakati besaran fee yang akan disampaikan sebesar 5 persen atau senilai Rp 7 miliar.
"Hasil pertemuan dilaporkan oleh FRY ke MAS dengan menggunakan bahasa kode 7 batang," beber Tanak.
Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, FRY lantas bergerak melakukan pengumpulan dana. Pada Juli 2025, FRY mengumpulkan uang dari para Kepala UPT Jalan dan Jembatan sebesar Rp 1,6 miliar. Uang tersebut atas perintah MAS diberikan kepada Abdul Wahid melalui Dani M Nursalam (DAN) sebesar Rp 1 miliar. DAN diketahui sebagai politisi PKB Riau yang merupakan Tenaga Ahli Gubernur Riau. Sisanya sebesar Rp 600 juta diberikan kepada kerabat MAS.
Setoran uang kedua terjadi pada Agustus atas perintah DAN. Uang yang dikumpulkan FRY sebesar Rp 1,2 miliar. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 300 juta diberikan kepada sopir (driver) MAS. Kemudian senilai Rp 375 juta digunakan untuk proposal kegiatan perangkat daerah. Sementara sisanya Rp 300 juta disimpan oleh FRY.
Adapun pengepulan uang tahap ketiga, dilakukan oleh Kepala UPT Jalan dan Jembatan III Dinas PUPR Riau, inisial EI pada November 2025. Uang yang berhasil dikumpulkan sebesar Rp 1,25 miliar. Uang tersebut diberikan kepada Gubernur AW melalui MAS sebesar Rp 450 juta. Sementara sisanya Rp 800 juta akan langsung diberikan kepada AW.
"Sehingga total uang yang telah dikumpulkan sekitar Rp 4,05 miliar dari sebesar Rp 7 miliar," ungkap Tanak.
Pada Senin (3/11/2025), tim KPK lantas mengamankan MAS dan FRY serta 5 Kepala UPT Jalan dan Jembatan di Kantor Dinas PUPR Riau. Adapun identitas kelima Kepala UPT tersebut, yakni Kepala UPT I inisial KA, Kepala UPT III inisial EI, Kepal UPT IV inisial LH, Kepala UPT V inisial BS dan Kepala UPT VI inisial RA.
"Saat KPK mengamankan pihak-pihak tersebut, ditemukan uang sebesar Rp 800 juta," jelas Tanak.
Usai mengamankan para pejabat Dinas PUPR, tim KPK lantas mencari keberadaan Gubernur AW dan Tata Maulana (TM) selaku orang kepercayaan Gubernur AW. KPK berhasil mengamankan AW dari sebuah kafe di Kota Pekanbaru. Sementara TM diamankan di sekitar kafe tempat AW diamankan.
Tim KPK, lanjut Tanak, kemudian bergerak ke sebuah rumah di Jakarta Selatan yang diduga milik Gubernur AW. Dari rumah itu, penyidik menemukan mata uang asing yakni 9.000 Poundsterling dan 3.000 Dollar AS atau sekitar Rp 800 juta.
"Sehingga keseluruhan uang yang diamankan berjumlah sebesar Rp 1,6 miliar," terang Tanak.
Sementara, DAN selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau yang dicari oleh penyidik, akhirnya menyerahkan diri ke kantor KPK di Jakarta pada Selasa sore kemarin.
Pasal Korupsi yang Dikenakan
KPK dalam perkara ini menetapkan 3 orang tersangka yakni Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR Riau Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M Nursalam.
Ketiganya dijerat dengan Pasal 12e dan atau 12 f dan atau pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
"Ketiga tersangka dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan, terhitung 4 November sampai 23 November 2025," pungkas Tanak.
SF Hariyanto Jadi Plt Gubernur Riau
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menunjuk Wakil Gubernur SF Hariyanto memimpin sementara pemerintahan Provinsi Riau. Keputusan tersebut menyusul penetapan Gubernur Riau Abdul Wahid tersangka kasus korupsi pemerasan dalam jabatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (5/11/2025) siang tadi. KPK juga melakukan penahanan terhadap Abdul Wahid untuk 20 hari ke depan.
Penunjukan SF Hariyanto untuk menjalankan tugas Gubernur Riau sementara dituangkan dalam surat telegram Mendagri nomor 100.2.1.3/8861/SJ yang terbit pada Rabu sore tadi.
"Berdasarkan pasal 65 ayat 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya," demikian isi surat telegram Mendagri yang diteken oleh Sekjen Kemendagri Tomsir Tohir.
Daerah, bahwa wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara.
"Dalam rangka menjamin kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di Provinsi Riau, diminta kepada saudara Wakil Gubernur Riau untuk melaksanakan tugas dan wewenang Gubernur Riau sampai dengan adanya kebijakan pemerintah lebih lanjut," demikian surat telegram Mendagri.
Respon Serius DPP PKB
DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merespon serius penetapan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (5/11/2025) sore tadi. Elit partai meminta agar perkara tersebut dibongkar seterang-terangnya.
Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurizal menyebut pihaknya menghormati langkah KPK yang menetapkan kadernya tersebut sebagai tersangka. Menurut dia, PKB menyatakan prihatin atas peristiwa hukum yang menjerat kadernya itu.
Cucun pun meminta KPK agar mengusut tuntas guna membongkar tokoh-tokoh di balik semua yang sudah diungkap.
"Jangan sampai karena kader kami misalkan sekarang tidak punya kekuatan apa-apa, sehingga bisa terjadi seperti ini. Itu siapa di balik itu," kata Cucun saat diwawancarai di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.
Untuk itu, dia pun mengingatkan kepada seluruh kader PKB, baik eksekutif maupun legislatif, agar menjadikan kasus Gubernur Riau sebagai pelajaran. Jangan sampai, kata dia, kader PKB ada lagi yang terjerat kasus serupa.
"Jangan sampai ada tindakan-tindakan, hal-hal yang bisa mengarah kepada seperti kejadian dialami sahabat kita juga ini," kata Wakil Ketua DPR RI itu.
Sejauh ini, menurut dia, PKB belum membicarakan atau memutuskan apapun terkait penetapan tersangka Abdul Wahid. Dia mengatakan pimpinan dan ketua umum partai pun akan berdiskusi lebih lanjut, termasuk kemungkinan mengirimkan bantuan hukum kepada Wahid.
"Saya belum tahu. Dia sudah menunjuk kuasa hukum atau belum. Makanya nanti kita akan sikapi setelah ini. Kan baru tadi juga rilis ya, ketika saya di rapat sini (DPR)," katanya.
Pengumpul Uang Jatah Preman Proyek Tak Tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 3 orang tersangka dari 10 orang yang diamankan dalam operasi tangkap tangan di Pekanbaru, Provinsi Riau pada Senin (3/11/2025). Sementara 7 orang lainnya masih berstatus sebagai saksi.
Ketiga orang yang dijadikan tersangka dan ditahan pada Rabu (5/11/2025) tadi, yakni Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M Nursalam. Ketiganya memiliki peran masing-masing, baik sebagai pihak yang memerintahkan dan menerima uang yang disebut sebagai 'jatah preman' proyek di lingkungan Dinas PUPR Riau.
Dalam perkara ini, KPK mengungkap adanya permintaan awal fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek di enam UPT Jalan dan Jembatan pada lingkungan Dinas PUPR Riau oleh Gubernur Riau Abdul Wahid. Permintaan fee yang konon oleh KPK dibarengi ancaman mutasi terhadap para Kepala UPT Jalan dan Jembatan itu, kemudian atas arahan Kadis PUPR Arief Setiawan, naik menjadi 5 persen.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyebut nilai fee 5 persen tersebut berasal dari penambahan anggaran di Dinas PUPR tahun 2025.
"Fee tersebut atas penambahan anggaran tahun 2025 pada UPT Jalan dan Jembatan yang semula sebesar Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar. Jadi ada sekitar Rp 7 miliar," kata Johanis Tanak dalam konferensi pers pada Rabu (5/11/2025).
Peran Ferry Yunanda
Dalam paparan yang disampaikan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, terungkap adanya peran Sekretaris Dinas PUPR Riau, Ferry Yunanda dalam proses awal pengumpulan uang fee proyek tersebut. Ferry menurut Johanis Tanak, pada bulan Mei 2025 melakukan pertemuan dengan 6 Kepala UPT Jalan dan Jembatan untuk membahas besaran fee proyek jatah preman.
KPK juga menyebut Ferry berperan sebagai pengepul uang fee jatah preman proyek dalam dua tahap dari para Kepala UPT Jalan dan Jembatan. Total uang yang dikumpulkan Ferry mencapai Rp 2,8 miliar. Johanis Tanak menyebut Ferry turut mendistribusikan uang jatah preman kepada para pihak terkait yang sudah menjadi tersangka.
Mengingat peran Ferry tersebut, lantas mengapa KPK tidak ikut menetapkannya sebagai tersangka? Pertanyaan ini sempat diajukan oleh awak media saat konferensi pers pada sore tadi.
Belum Cukup Alat Bukti
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menyatakan, pihaknya masih mendalami peran Ferry dalam perkara rasuah ini.
"Kami masih memperdalam, setelah naik sidik (3 tersangka), ke depan makin banyak info yang diperoleh," kata Asep Guntur.
Asep beralasan, KPK hanya punya waktu 1x24 jam untuk menentukan status hukum terhadap para pihak yang diamankan dalam operasi tangkap tangan, Senin kemarin.
"Kami hanya menentukan (status hukum) bagi yang benar-benar sudah firm kecukupan alat buktinya. Kalau misal sudah kelihatan, tapi belum belum cukup alat buktinya, kami tidak mau juga menetapkannya (sebagai tersangka)," terang Asep.
Asep menegaskan, untuk menentukan seseorang menjadi tersangka, harus terpenuhi kecukupan alat buktinya.
"Harus benar-benar terpenuhi dulu kecukupan alat buktinya baru kita tetapkan," jelasnya.
Menurutnya, kecukupan alat bukti masih bisa terpenuhi berbarengan dengan proses penyidikan terhadap 3 orang tersangka.
"Yang masih belum (tersangka), gak apa-apa. Nanti kan sambil 3 (tersangka) ini prosesnya berjalan, sambil juga kita cari (alat bukti). Nanti kalau ditemukan dan ini dinyatakan alat buktinya cukup, nanti kita tinggal naikkan saja (ke penyidikan)," kata Asep.
Sumber: SM News.com