Tak bisa dipungkiri, handphone telah mengubah cara hidup manusia. Ia menyatukan ruang, memangkas waktu, dan mempercepat komunikasi. Kita bisa berbicara dengan orang di luar negeri dalam hitungan detik, berbagi kabar dan informasi dalam sekejap. Namun, di balik kemudahan itu, ada hubungan yang mulai retak: silaturrahim antarmanusia yang semakin renggang dan terasa hambar.
Salah satu contoh sederhana, tapi nyata, adalah fenomena pertemuan tanpa kehadiran. Seseorang mengajak sahabat atau keluarganya bertemu di warung kopi, rumah makan, atau ruang tamu. Tapi setelah bertemu, yang terjadi bukan obrolan hangat atau tawa riang, melainkan sunyi yang aneh. Masing-masing sibuk dengan layar handphonenya. Tak ada lagi tatapan mata yang tulus, tak ada lagi percakapan yang penuh perhatian. Yang dekat jadi terasa jauh. Yang hadir, justru seolah menghilang di dunia maya.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di kalangan remaja, tapi juga merambah ke orang tua, pasangan suami istri, bahkan anak-anak. Waktu berkumpul menjadi formalitas. Kehangatan keluarga perlahan tergantikan oleh layar dan notifikasi. Kita merasa sudah cukup menyapa lewat emoji, merasa sudah dekat karena sering melihat status, padahal tak pernah benar-benar bertanya kabar secara tulus.
Padahal dalam Islam, silaturrahim adalah ibadah besar yang tidak bisa digantikan oleh sekadar pesan singkat. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Silaturrahim bukan hanya mengucap salam atau membalas pesan, tapi hadirnya hati dan tubuh dalam satu waktu. Ia tentang kunjungan, sapaan, pelukan, dan doa yang tulus. Allah SWT dalam Surah Muhammad ayat 22–23 bahkan memberikan peringatan tegas ;
"Maka apakah kiranya jika kamu diberi kekuasaan, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah..."
Teguran ini relevan sekali hari ini. Kita diberi "kekuasaan" teknologi di tangan, tapi justru banyak yang memakainya untuk menjauh, bukan mendekat. Kita lebih cepat merespons pesan dari rekan kerja daripada menjawab panggilan orang tua. Kita tersenyum pada layar, tapi sering lupa tersenyum pada pasangan yang ada di samping.
Islam bukan anti teknologi. Tapi Islam menuntun kita untuk bijak. Gunakan handphone untuk menguatkan, bukan melemahkan. Manfaatkan untuk menghubungi kerabat yang jauh, berbagi nasihat, mengingatkan kebaikan. Tapi ketika bersama orang terdekat, simpanlah sejenak alat itu. Tatap wajah mereka, dengarkan keluh kesahnya, dan hadirkan hati.
Mari kita rawat kembali silaturrahim sebagai jalan meraih keberkahan. Jangan sampai alat yang diciptakan untuk mendekatkan malah memutuskan. Jangan sampai karena layar kecil itu, hubungan besar menjadi rusak.
Hidup ini bukan tentang siapa yang paling banyak followers, tapi siapa yang paling tulus menjaga hubungan. Karena kelak yang paling kita rindukan bukan notifikasi, tapi pelukan. Bukan balasan chat, tapi tatapan penuh cinta dari orang-orang yang menyayangi kita.
Wallahu A'lam.