Latar Belakang Masalah
Pendapatan negara merupakan sumber utama bagi pemerintah untuk menjalankan pembangunan nasional dan membiayai berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta kesejahteraan sosial. Salah satu sumber pendapatan negara terbesar berasal dari sektor perpajakan. Pajak tidak hanya berfungsi sebagai alat penghimpun dana publik, tetapi juga sebagai instrumen kebijakan ekonomi yang memiliki pengaruh besar terhadap stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, kebijakan perpajakan menjadi faktor yang sangat strategis dalam menentukan tingkat penerimaan negara. Kebijakan perpajakan yang dirancang dengan baik mampu meningkatkan pendapatan negara tanpa menghambat aktivitas ekonomi masyarakat, sementara kebijakan yang kurang tepat justru dapat menimbulkan beban ekonomi, mengurangi investasi, dan menurunkan daya beli masyarakat.
Kebijakan perpajakan di Indonesia memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi anggaran (budgeter) dan fungsi pengatur (reguler). Fungsi anggaran berarti pajak digunakan sebagai sumber utama pendapatan negara untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Sedangkan fungsi pengatur digunakan sebagai alat untuk mengatur kegiatan ekonomi masyarakat, misalnya dengan memberikan insentif pajak bagi sektor-sektor tertentu agar tumbuh lebih cepat. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara berkala melakukan reformasi kebijakan perpajakan untuk meningkatkan efektivitas sistem, memperluas basis pajak, serta memperbaiki tingkat kepatuhan wajib pajak. Reformasi perpajakan menjadi kebutuhan mendesak mengingat tantangan utama yang dihadapi, seperti rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, tingginya tingkat penghindaran pajak (tax avoidance), serta masih dominannya sektor informal dalam struktur perekonomian Indonesia.
Pembahasan
Perubahan kebijakan perpajakan di Indonesia dapat dilihat dari berbagai langkah konkret yang dilakukan pemerintah. Salah satu kebijakan besar adalah reformasi pajak yang dimulai pada tahun 2016 yang berfokus pada pembaruan administrasi dan digitalisasi sistem perpajakan melalui Core Tax Administration System (CTAS). Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi data wajib pajak, mempercepat proses pelaporan, serta menekan praktik penyimpangan. Selain itu, kebijakan Tax Amnesty atau pengampunan pajak pada periode 2016–2017 menjadi tonggak penting dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Program tersebut berhasil menarik dana triliunan rupiah dari hasil deklarasi harta dalam negeri dan luar negeri. Dampak dari kebijakan ini tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperluas basis data perpajakan yang dapat dimanfaatkan untuk pengawasan di masa mendatang.
Selain reformasi administrasi, pemerintah juga memperluas jenis dan basis pajak untuk menyesuaikan dengan dinamika ekonomi global. Misalnya, dengan memperkenalkan pajak digital terhadap perusahaan-perusahaan teknologi internasional yang memperoleh pendapatan dari Indonesia, serta pajak karbon yang mulai diberlakukan secara bertahap sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan. Kebijakan ini mencerminkan adaptasi Indonesia terhadap perkembangan ekonomi digital dan isu perubahan iklim yang menjadi perhatian dunia. Dengan demikian, kebijakan perpajakan tidak hanya difokuskan pada peningkatan pendapatan negara, tetapi juga diarahkan untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Bagan di bawah ini menggambarkan struktur kebijakan perpajakan di Indonesia secara sederhana. Pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak membawahi tiga jenis pajak utama, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ketiga jenis pajak ini merupakan kontributor terbesar terhadap pendapatan negara. Melalui reformasi sistem perpajakan digital dan pemberian kebijakan insentif, pemerintah berupaya meningkatkan efektivitas pengumpulan pajak dari berbagai sektor ekonomi.
.png)
(Gambar Bagan: Struktur Kebijakan Perpajakan Indonesia)
Selain melalui restrukturisasi sistem dan digitalisasi, kebijakan perpajakan juga berdampak langsung pada peningkatan penerimaan negara. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak Indonesia meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir. Grafik di bawah ini menunjukkan tren peningkatan penerimaan pajak dari tahun 2019 hingga 2023. Pada tahun 2019, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.545 triliun, sempat menurun menjadi Rp1.285 triliun pada 2020 akibat pandemi COVID-19, kemudian meningkat menjadi Rp1.547 triliun pada 2021, Rp2.034 triliun pada 2022, dan mencapai Rp2.595 triliun pada 2023. Peningkatan ini menandakan bahwa kebijakan perpajakan yang diterapkan pemerintah mampu memulihkan pendapatan negara pasca krisis dan memperkuat fundamental fiskal Indonesia.
.png)
(Gambar Grafik: Peningkatan Penerimaan Pajak 2019–2023)
Kebijakan perpajakan memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan pendapatan negara apabila dikelola dengan prinsip keadilan dan efisiensi. Prinsip keadilan tercermin dari penerapan tarif pajak progresif, di mana kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dikenakan tarif pajak lebih besar dibanding kelompok berpenghasilan rendah. Hal ini menciptakan distribusi beban pajak yang proporsional dan mendukung pemerataan ekonomi. Sementara itu, prinsip efisiensi diwujudkan melalui sistem administrasi yang sederhana, transparan, dan berbasis digital agar wajib pajak dapat melaksanakan kewajibannya dengan mudah. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberikan insentif pajak untuk sektor-sektor yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti industri manufaktur, energi terbarukan, dan UMKM.
Meskipun demikian, masih terdapat berbagai tantangan dalam implementasi kebijakan perpajakan di Indonesia. Salah satunya adalah rendahnya tingkat kepatuhan pajak, terutama di kalangan pelaku usaha kecil dan menengah yang sering kali tidak memiliki pemahaman memadai mengenai aturan perpajakan. Selain itu, kompleksitas regulasi dan perubahan kebijakan yang terlalu sering dapat menimbulkan kebingungan bagi wajib pajak. Di sisi lain, potensi penghindaran pajak dari perusahaan multinasional melalui skema transfer pricing masih menjadi persoalan serius yang perlu diatasi melalui kerja sama internasional dan perbaikan sistem pelaporan keuangan lintas negara. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memberikan kepastian hukum dan kemudahan administrasi bagi masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, strategi kebijakan perpajakan ke depan harus difokuskan pada tiga hal utama. Pertama, memperkuat edukasi dan literasi pajak masyarakat agar kesadaran membayar pajak meningkat. Kedua, memperluas integrasi sistem digital antara DJP dengan lembaga keuangan, perbankan, dan sektor swasta untuk meningkatkan transparansi data perpajakan. Ketiga, memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggaran pajak agar menimbulkan efek jera dan menutup peluang praktik penghindaran pajak. Dengan penerapan strategi tersebut, diharapkan kebijakan perpajakan dapat terus berkontribusi signifikan terhadap peningkatan pendapatan negara serta mendukung visi Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, kebijakan perpajakan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap peningkatan pendapatan negara di Indonesia. Melalui reformasi administrasi, digitalisasi sistem, serta kebijakan yang adaptif terhadap perkembangan ekonomi global, pemerintah berhasil meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan dalam lima tahun terakhir. Namun, keberhasilan ini perlu terus dijaga dengan memperbaiki aspek kesadaran wajib pajak, penyederhanaan regulasi, dan pengawasan yang ketat. Dengan kebijakan perpajakan yang adil, efisien, dan berkelanjutan, Indonesia akan mampu mengoptimalkan pendapatan negara untuk mendukung pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

