Ketika Dahan Rapuh Mengira Dirinya Kokoh

Ketika Dahan Rapuh Mengira Dirinya Kokoh
Oleh: Arfan Yuza. A, Alumni FMIPA UNP dan Mahasiswa Magsiter FKIP UNRI

Ada masa dalam hidup ketika kita merasa telah tumbuh lebih tinggi dari yang lain, padahal akar kita mulai renggang dari tanah. Saat itulah angin datang—bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menguji: apakah kita sungguh kokoh, atau hanya dahan yang menolak menunduk.

Riuh Angin di Antara Dahan yang Berlagak Tegar

Aku pernah berdiri di bawah sebatang pohon tua. Dahan-dahannya menjulur ke langit, seolah hendak menantang takdir. Salah satunya tampak paling sombong karena lengkungnya tinggi, daunnya rimbun, dan setiap kali angin lewat, ia bergoyang dengan percaya diri, seperti sedang memperagakan kekuatannya sendiri.

Aku menatap lama.
Dalam diam, aku melihat sesuatu yang aneh: pada pangkal dahan itu ada retak halus, hampir tak terlihat. Ia tetap tersenyum pada langit, tapi kulit kayunya menyimpan luka kecil yang perlahan merambat ke dalam.

Aku mengenal rasa itu retak yang diam-diam tumbuh di dada sendiri.
Pernah juga aku menjadi seperti dahan itu: merasa cukup kuat untuk menolak nasihat, merasa cukup tinggi untuk tak lagi menoleh ke bawah. Aku lupa bahwa keangkuhan adalah awal dari keruntuhan yang paling sunyi.

Lalu angin datang.
Bukan badai yang menghantam, tapi angin lembut yang menyapa. Ia membawa bisikan yang terdengar seperti sindiran, “Apakah kau lupa siapa yang menopangmu?”

Sejak itu aku belajar: kekuatan sejati tak terletak pada kerasnya kayu, tapi pada kemampuannya lentur saat angin lewat.

Ketika Angin Menjadi Guru yang Tak Bernama

Waktu berjalan, dan pohon itu masih berdiri di tempatnya. Tapi dahan yang dulu sombong kini tampak menunduk karena retaknya membesar, sebagian daunnya gugur. Aku tak lagi melihat kesombongan di sana, hanya keheningan yang mengajarkan.

Aku tersadar, hidup ini tak jauh berbeda.
Kita sering menyangka diri ini kokoh: punya cahaya sendiri, punya bayang yang panjang di tanah, padahal kadang kita hanya dahan yang belum diuji oleh musim.

Angin kehidupan datang dalam rupa yang lembut: kadang sebagai hujan yang menegur, kadang sebagai panas yang memaksa kita berteduh. Ia datang bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk menyingkap bagian diri yang belum siap tumbuh.

Kini setiap kali angin bertiup pelan, aku tak lagi menegangkan diri. Aku biarkan ia lewat, menyisir luka-luka yang masih mengering. Karena aku tahu, selama aku masih mau lentur, aku masih bisa tumbuh.

Dan mungkin, di kejauhan sana, angin itu tersenyum pelan bukan karena ia menang, tapi karena akhirnya aku mengerti bahasa yang dulu hanya bisa ia bisikkan.

Refleksi

Setiap hutan punya dahan yang merasa paling dekat dengan matahari.
Mereka tumbuh dengan pongah, berayun seolah angin tunduk padanya. Tapi waktu selalu punya cara menguji. Kadang, bukan badai besar yang merobohkan, melainkan hujan kecil yang datang diam-diam.

Aku mulai paham, di antara rimbun pohon kehidupan, ada yang menegakkan kepala dengan kesombongan, ada yang menunduk karena kebijaksanaan.
Yang pertama cepat kering, yang kedua perlahan berbuah.

Dan jika suatu hari aku kembali menjadi dahan yang congkak, semoga angin sudi datang lagi bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan:
bahwa kokoh bukan berarti tinggi,
melainkan kuat menahan diri saat ingin meninggi.

 

Berita Lainnya

Index