BPOM Pekanbaru Minta Warga Riau Tidak Gunakan Ivermectin

BPOM Pekanbaru Minta Warga Riau Tidak Gunakan Ivermectin
Ilustrasi (net)

RIAUREVIEW.COM --Ivermectin saat ini menjadi pemberitaan dapat mengobati Covid-19. Namun, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Pekanbaru, mengingatkan masyarakat, agar berhati-hati menggunakan obat tersebut. 

Kepala BPOM Pekanbaru, Yosef Dwi Irwan mengatakan, himbauan ini dikarenakan penggunaan Ivermectine untuk indikasi COVID-19 hanya digunakan dalam kerangka uji klinik.

Yosef mengatakan, hal ini telah disampaikan Kepala Badan POM RI Penny K Lukito, saat menggelar konferensi pers pada Jumat (2/7/2021) kemarin.

Larangan ini, kata Yosef, sejalan dengan telah diterbitkannya Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) terhadap Ivermectine yang telah dikeluarkan oleh Badan POM pada tanggal 28 Juni 2021.

 

''Saat ini Pemerintah terus melakukan langkah-langkah strategis dalam upaya menggulangi pandemi COVID-19 yang dalam waktu 1 bulan terakhir mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Salah satu strategi yang diambil adalah untuk memastikan ketersediaan obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu untuk menghindarkan masyarakat dari penggunaan obat yang berisiko terhadap Kesehatan,'' jelas Yosef.

Himbauan ini, sambung Yosef, sebagaimana rekomendasi dalam WHO Guideline for COVID-19 Treatment yang dipublikasikan pada 31 Maret 2021, serta pendapat dari Badan Otoritas obat, yang memiliki sistem regulatori yang baik seperti The United States Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicines Agency (EMA), bahwa Ivermectin untuk COVID-19 hanya dapat dipergunakan dalam kerangka uji klinik. 

''Sedangkan uji klinik ini diperlukan untuk memperoleh data yang valid bahwa obat ini memang signifikan dalam mengobati COVID-19,'' terang Yosef.

Kemudian, dari uji klinik tengah dilakukan di 8 Rumah Sakit di Indonesia. Penggunaan Ivermectin di luar skema uji klinik, hanya dapat dilakukan apabila sesuai dengan hasil pemeriksaan dan diagnosa dari dokter. 

Selanjutnya, jika dokter bermaksud memberikan Ivermectin kepada pasien, maka penggunaannya harus sesuai dengan protokol uji klinik yang disetujui.

Untuk menjaga agar mutu obat terjamin sepanjang product life cycle, BPOM terlebih dahulu memastikan mutu, sebelum dan sesudah beredar, melalui pemenuhan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) oleh industri farmasi dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) oleh distributor, termasuk di sarana pelayanan kefarmasian. 

Sedangkan, pengawalan Badan POM terhadap jaminan mutu obat dilakukan melalui pengawasan ke fasilitas produksi dan distribusi, untuk memastikan kepatuhan terhadap CPOB dan CDOB. 

Selanjutnya, apabila ditemukan ketidaksesuaian terhadap ketentuan CPOB dan CDOB pada mutu produk dan dapat membahayakan masyarakat, maka dapat dikenakan sanksi-sanksi kepada pelaku usaha sesuai peraturan perundang-undangan.

''Dari hasil pengawasan Badan POM terhadap kegiatan pembuatan Ivermectine produksi PT. Harsen dengan nama dagang Ivermax 12, ditemukan obat tersebut diproduksi dan didistribusikan, dengan tidak memperhatikan aspek CPOB dan CDOB,'' jelas Yosef. 

Dari hasil temuan dari pengujian, beberapa aspek yang tidak memenuhi ketentuan, antara lain: penggunaan bahan baku Ivermectin, dengan pemasukan yang tidak melalui jalur resmi.

Selanjutnya, cara pendistribusian obat Ivermax 12 tidak dalam kemasan siap edar. Kemudian, pendistribusikan obat Ivermax 12 tidak melalui jalur distribusi resmi, mencantumkan masa kedaluarsa Ivermax 12, tidak sesuai dengan yang telah disetujui oleh Badan POM.

''Temuan BPOM obat ini dibuat kadaluarsa 12 bulan setelah tanggal produksi. Namun, pihak perusahaan mencantumkan 2 tahun setelah tanggal produksi,'' terang Yosef. 

Temuan lainnya, pihak perusahaan mengedarkan obat yang belum dilakukan pemastian mutu dari produk. Lalu, perusahaan melakukan kegiatan promosi yang tidak sesuai ketentuan yaitu tidak obyektif, tidak lengkap, dan menyesatkan.

Sebagai contoh, kata Yosef, iklan obat Ivermectin yang mencantumkan indikasi untuk pengobatan COVID-19. Dalam hal ini dapat menyesatkan masyarakat.

''Artinya BPOM tidak merekomendasikan penggunaan obat itu, karena belum ada uji klinis dan persetujuan dari Badan POM untuk indikasi tersebut,'' tegas Yosef.

Karena itu, mengingat pelanggaran yang dilakukan berpotensi untuk membahayakan masyarakat, dalam hal ini, PT Harsen maupun industri farmasi yang melanggar ketentuan dalam proses produksi, maupun distribusinya, dapat dikenakan sanksi berupa sanksi administratif sampai dengan sanksi pidana. 

''PT Harsen saat ini di sanksi berupa penghentian sementara kegiatan produksi dan penarikan produk Ivermax 12 dari peredaran,'' ungkap Yosef.

Sedangkan, di Riau, Badan POM Pekanbaru, sebut Yosef akan turut terus memantau pelaksanaan dan menindaklanjuti hasil uji klinik, serta melakukan update informasi, terkait penggunaan obat Ivermectine untuk pengobatan COVID-19, melalui komunikasi dengan WHO dan Badan Otoritas Obat negara lain. 

''Demi keselamatan masyarakat kami menghimbau masyarakat bijak, pintar, dan hati-hati dalam mengonsumsi obat-obatan yang akan digunakan dalam pengobatan COVID-19,'' tutur Yosef.

Himbauan ini kata Yosef, karena masyarakat juga harus memahami bahwa obat keras harus diperoleh dengan resep dokter, yang didapatkan melalui konsultasi kepada dokter baik secara langsung maupun melalui telemedicine. 

''Pembelian obat keras harus dilakukan disarana pelayanan kefarmasian yang memenuhi kaidah CDOB dan diserahkan oleh Apoteker sesuai dengan ketentuan. Kalau tidak sesuai anjuran dokter penggunaannya tentunya dapat beresiko pada kesehatan,'' sebut Yosef.

''Karena obat ini masuk dalam kategori obat keras yang harus berdasarkan resep dokter untuk memperolehnya, termasuk jika melihat ada penjualan obat Ivermectine secara online / daring di wilayah Riau untuk dapat disampaikan kepada kami agar kami tindak lanjuti,'' tutup Kepala BPOM Pekanbaru.

Sumber: riauaktual.com

Berita Lainnya

Index