SIAK,RIAUREVIEW.COM --Oknum PT DSI diduga telah membuat laporan palsu ke penegak hukum untuk menjerat mantan Penghulu Sri Gembilang Syafri.
Dalam laporan PT DSI ke Polda Riau adalah laporan tentang tindak penyerobotan lahan, tapi di persidangan mantan Penghulu Sri Gembilang justru dituntut membuat surat tanah palsu.
Lain yang dilaporkan, lain pula diproses hukumnya, seperti ada kriminalisasi untuk menjerumuskan mantan Penghulu Sri Gembilang itu.
Penasihat Hukum Terdakwa Syafri bin Demer menyampaikan pembelaan bahwa semua tuntutan JPU dari Kejaksaan Negeri Siak tidak satu pun bisa dibuktikan di persidangan.
Hal itu disampaikan Penasihat Hukum Terdakwa dalam acara Pembelaan/Pldedoi di Pengadilan Negeri Siak Senin (10/04/2023).
Sidang perkara pidana dengan Terdakwa Syafri bin Demer langsung dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri Siak, sedangkan dari JPU Kejaksaan Negeri Siak adalah Senopati SH.
JPU Kejaksaan Negeri Siak menuntut Terdakwa Syafri dengan pidana 2 (dua) tahun enam 6 (bulan) penjara.
Dalam pembelaan, Penasihat Hukum Syafri bin Demer Asep Ruhiat, S,Ag, SH, MH menyampaikan bahwa tuntutan JPU sangat keliru karena hukuman yang dituntut terlalu berat dan tidak mencerminkan rasa keadilan dengan perbuatan Terdakwa. Tuntutan JPU tanpa melihat fakta persidangan, hanya berbekal pada berita acara pemeriksaan saksi saksi, sementara para saksi yang lain tidak mengetahui tindakan yang dilaporkan oleh saksi pelapor.
Oleh sebab itu, apa yang menjadi tuntutan JPU terhadap terdakwa, kami Penasihat Hukum tidak sependapat dengan JPU.
Jika dilihat dari keterangan saksi-saksi d persidangan tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, bahwa saksi dari PT DSI adalah bekerja di PT DSI sebagai direktur utama.
Tidak hanya itu, apa yang dituntut JPU terhadap Terdakwa Syafri bin Demer tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilaporkan.
Bahwa laporan terhadap Terdakwa bukan penyerobotan lahan, tapi saat di sidang dituntut melakukan pemalsuan surat, ini adalah hoax.
JPU dalam tuntutannya diduga telah membelokkan fakta, karena justru yang menyerobot lahan milik Terdakwa adalah PT DSI.
Menurut saksi Alitanoto bahwa Terdakwa menjual lahan kepada PT DSI seluas 100 hektar, tapi realisasi di lapangan PT DSi hanya membayar 5 juta rupiah perhektar.
Menurut saksi, seharusnya PT DSI membayar uang 500 juta rupiah, namun yang dibayar hanya 259 juta rupiah. Dana 30 juta diterima oleh Suhendrizal mengatasnamakan Terdakwa Syafri.
Selain itu, PT DSI dinilai telah menyerobot lahan, mereka melakukan pengukuran sendiri tanpa menghadirkan Terdakwa. Pada saat pengukuran, PT DSI tidak membawa surat-surat milik PT DSI, bahkan hanya membawa peta yang dibuat sendiri.
Berantas Mafia Tanah
Sementara itu, Penasihat Hukum Syafri dalam pembelaannya menyampaikan pihaknya sepakat dengan Pemerintah yang ingin memberantas mafia mafia tanah.
Maka sebab itu, dari awal kami telah mengajukan permohonan untuk dilakukan pemeriksaan setempat atas lahan tersebut demi kepastian hukum agar tidak ada masyarakat yang menjadi korban dari mafia mafia tanah, seperti perbuatan PT DSI membeli lahan 100 hektar, tapi yang dikuasai seluas 216 hektar.
Apa yang dilakukan oleh PT DSI adalah membolak balikan fakta. Berdasarkan bujur sangkar peta yang dibuat PT DSi ditemukan 216 hektar, sementara PT DSI membeli lahan dari Terdakwa hanya 100 hektar, itu pun belum dibayar lunas hingga sekarang.
Maka sebab itu, apa dituntut JPU terhadap Terdakwa tidak bisa kami terima begitu saja, apalagi menuding Terdakwa telah menikmati keuntungan dari hasil perbuatan pemalsuan.*