JAKARTA, RIAUREVIEW.COM -Kemenkum HAM telah selesai melakukan penelaahan terhadap usulan Peraturan KPU yang melarang eks koruptor nyaleg. Kemenkum menyatakan rencana itu bertentangan dengan UU dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Peraturan KPU Nomor 16 Tahun 2018 bertentangan dengan UU Pemilu, Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2--7, Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 120/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 79/PUU-X/2012, Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/ 2015 dan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016," kata Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Widodo Ekatjahjana yang dilansir detikcom, Jumat (8/6/2018).
Kemenkumham berharap KPU melakukan penyelarasan dan sinkronisasi kembali atas rencana di atas. Hal itu agar tidak menimbulkan masalah hukum dan menimbulkan polemik dalam implementasinya. Alhasil, Kemenkumham menolak menandatangani Peraturan KPU tersebut.
"Karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan Putusan MK," tegasnya.
Sebagaimana diketahui dalam putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, MK membolehkan eks terpidana nyaleg. Putusan itu diketok atas permohonan Jumanto dan Fathor Rasyid yang memberikan kuasa kepada Yusril Ihza Mahendra dkk.
Vonis ini diputus pada 9 Juli 2015. Duduk sebagai majelis yaitu Anwar Usman, Patrialis Akbar, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan M.P Sitompul.
"Seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan demikian, seseorang mantan narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan hukuman lagi seperti yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015," papar MK.