Lapi Huttara : “Sebaran Provinsi tidak perlu lagi, Pilpres 2019 cukup satu ronde"

Lapi Huttara : “Sebaran Provinsi tidak perlu lagi, Pilpres 2019 cukup satu ronde
Direktur Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) Rachmad Oky, S.H., M.H.

PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM -Menjelang rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 22 Mei 2019 ke depan, masyarakat Indonesia akan disuguhkan perolehan suara sah nasional dalam Pilpres dan Pileg. Dalam kontestasi demokrasi saat ini sebagian besar masyarakat terfokus pada Pilpres, sangat wajar kiranya kedua pendukung pasangan calon menantikan apakah calon yang mereka dukung dapat terpilih sebagai pemimpin 5 tahun ke depan.

Namun, muncul perdebatan di tengah masyarakat berkaitan dengan penetapan pasangan capres terpilih, apakah nantinya yang memenangkan Pilpres harus memenuhi persebaran pemilih dan juga harus memenuhi paling sedikit 20 persen di lebih dari setengah provinsi atau cukup memperhatikan suara mayoritas, mengingat kandidat yang bertarung pada Pilpres 2019 hanya dua pasangan calon.

Melihat dinamika tersebut, Direktur Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) Rachmad Oky, berpendapat bahwa sudah tepat kiranya jika kandidat hanya dua paslon, maka sebaran provinsi tidak diperlukan lagi dan cukup mengandalkan suara mayoritas untuk menjadi pemenang Pilpres 2019, kepastian hukum itu sudah muncul sejak adanya putusan MK yang menguji norma Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008 terhadap Pasal 6A ayat (3),(4) UUD 1945, masalah muncul karena putusan MK itu tidak menjadi norma dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, jadi terkesan menghidupkan kembali sebaran provinsi apabila Pilpres 2019 diikuti hanya dua paslon.

Lebih lanjut Rachmad Oky mengatakan, sebenarnya Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 adalah norma yang diturunkan dari Pasal  6A ayat (3) UUD 1945 sehingga substansi normanya sama, jadi kalaupun putusan MK tidak dinormakan dalam UU No.7 Tahun 2017 maka pemaknaan Pasal 416 ayat (1) tersebut harus sama dengan tafsir Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang diputus oleh MK pada 2014 lalu,  walaupun dulunya  penafsiran itu dilandasi oleh Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008, jadi perlu diingat juga bahwa putusan MK itu erga omnes sehingga harus dijalankan oleh siapapun dan diikat oleh prinsip prospektifitas.

Sekarang agak lucu, justru putusan MK itu ditangkap oleh KPU dan dituangkan dalam Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 yang isinya “dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon dalam Pilpres, KPU menetapkan dari suara terbanyak”, sepatutnya norma seperti itu masuk dulu dalam UU No. 7 Tahun 2017 bukan tiba-tiba melompat ke Peraturan KPU. Pembentuk UU seharusnya kan sudah tahu bahwa materi muatan UU itu salah satunya tindak lanjut atas putusan MK, lagi pula isu pemilu itu kan makanan sehari-hari eksekutif dan anggota legislatif, agak aneh saja bagi saya jika ada absen koreksi ketika UU Pemilu itu dibentuk, ujar Rachmad Oky.

Perdebatan ini akan hilang dengan sendirinya apabila capres yang terpilih memenuhi lebih dari 50 persen dari jumlah suara dan memenuhi 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi, tutup Rachmad Oky.

Berita Lainnya

Index