JAKARTA, RIAUREVIEW.COM -Pemerintah Prancis memprotes pernyataan CEO Sanofi, Paul Hudson yang menyebut bahwa Amerika Serikat berhak menjadi pemesan pertama vaksin virus corona dalam jumlah besar.
Hudson mengatakan, vaksin apapun yang diteliti perusahaannya pasti akan dialokasikan pertama kali ke sana, karena AS turut mendanai penelitian tersebut.
"Pemerintah AS berhak melakukan pemesanan terbanyak, karena AS (juga) berinvestasi terhadap risiko (yang ditimbulkan oleh vaksin)," kata Hudson kepada Bloomberg.
Perdana Menteri Prancis, Edouard Philippe menegaskan semua orang berhak memiliki akses mendapatkan vaksin.
Dilansir dari The Guardian, Komisi Eropa dan pakar kesehatan yang geram atas komentar Hudson, menyebut perusahaan itu juga menerima puluhan juta euro dari pemerintah Prancis untuk membantu penelitiannya. Bantuan diberikan dalam bentuk kredit pajak.
Atas pernyataan itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron sudah memanggil Paul Hudson untuk bertemu pekan depan.
Pihak Elysee Palace mengatakan, Macron dan CEO Paul Hudson akan bertemu pada hari Selasa.
Dalam sebuah pernyataan, Macron mengatakan vaksin Covid-19, apapun bentuknya, harus diperlakukan sebagai barang publik dan tidak tunduk pada hukum pasar.
Dilansir dari CNNIndonesia, Sanofi telah mengklarifikasi komentarnya. Pihaknya mengatakan akan bekerja dengan pemerintah Eropa untuk memulai produksi vaksin sesegera mungkin.
"Kami selalu berkomitmen untuk membuat vaksin yang bisa diakses oleh semua orang," kata Sanofi dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu pada pekan lalu, Inggris, China, Kanada, Turki, Arab Saudi, Jepang, dan banyak negara Afrika ikut ambil bagian dalam KTT Covid-19 global. Pertemuan virtual itu mengumpulkan dana lebih dari US$ 8 untuk penelitian vaksin.
Administrasi Trump menolak mengirim perwakilan dan bertekad untuk mengejar jalur vaksin unilateral sendiri.
Sebanyak 100 vaksin sedang diuji dan WHO mengatakan tujuh atau lebih di antaranya dinilai berpotensi menjadi vaksin virus corona.