JK soal Bagaimana Cara Kritik Tanpa Dipolisikan

JK soal Bagaimana Cara Kritik Tanpa Dipolisikan

RIAUREVIEW.COM --Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla melontarkan pertanyaan soal bagaimana caranya agar warga bisa mengkritik pemerintah tanpa harus dipanggil polisi. Pemerintah lantas menjawab pertanyaan itu dengan merujuk kepada Undang-undang yang berlaku.

 
Pertanyaan Jusuf Kalla tersebut merupakan tanggapan atas pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta masyarakat lebih aktif mengkritik pemerintah. Hal itu disampaikan dalam diskusi virtual di kanal PKSTVRI seperti dilihat detikcom, Sabtu (13/2/2021).
 
"Walaupun dikritik berbagai-bagai beberapa hari lalu, Bapak Presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah. Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi seperti yang dikeluhkan oleh Pak Kwik atau siapa saja. Tentu itu menjadi bagian daripada upaya kita semua," kata Jusuf Kalla.
 
JK, sapaan akrabnya, meminta PKS sebagai partai oposisi untuk melaksanakan kewajiban kritik itu. Hal itu harus dilakukan agar fungsi kontrol terhadap pemerintah terus berjalan.
 
"Dan PKS sebagai partai yang berdiri dalam oposisi dan itu mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu dalam kehidupan balancing agar terjadi kontrol oleh pemerintah. Tanpa kontrol terhadap pemerintah, maka demokrasi tidak berjalan," tuturnya.
Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) era Presiden Abdurrahman Wahid, sebelumnya mencuit lewat akun Twitter-nya, @kiangiekwik. Dia takut mengemukakan pendapat yang berbeda meski bermaksud baik, karena buzzer bisa menyerang pribadi si pengemuka pendapat.
 
JK mengajak semua stakeholder terkait lebih mengutamakan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Ketua PMI itu pun meminta agar hak-hak masyarakat tetap terjaga demi menjaga iklim demokrasi yang baik.
 
"Karena itu, kita harus menjaga kepentingan masyarakat, untuk ada tetap menjaga dari rakyat harus melihat pelaksanaan pemerintah yang baik secara demokratis, hak-hak terjaga tapi juga ingin manfaatnya boleh saja demokrasi berjalan tanpa manfaat untuk rakyat itu tidak terjadi, maka demokrasi tidak berjalan dengan baik," tandasnya.
 
Pernyataan Jokowi yang meminta warga lebih aktif menyampaikan kritik itu disampaikan dalam pidatonya di Laporan Tahunan Ombudsman secara virtual, Senin (8/2). Kritik itu dimaksudkan agar pelayanan publik lebih baik.
 
"Semua pihak harus menjadi bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," ujar Jokowi.
 
Pernyataan senada disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Pramono mengatakan kritik yang keras dan terbuka akan membuat pembangunan lebih terarah.
 
"Sebagai negara demokrasi, kebebasan pers merupakan tiang utama untuk menjaga demokrasi tetap berlangsung. Bagi pemerintah, kebebasan pers adalah sesuatu yang wajib dijaga dan bagi pemerintah kebebasan pers, kritik, saran, masukan itu seperti jamu, menguatkan pemerintah. Dan kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar," kata Pramono saat menyampaikan ucapan selamat Hari Pers Nasional 2021 seperti ditayangkan akun YouTube Sekretariat Kabinet, Selasa (9/2).
 
Istana Jawab Pertanyaan JK
 
Juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, menjawab pertanyaan JK dengan menyitir UUD 1945.
 
"Pasal 28J, 'dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," ujar Fadjroel kepada wartawan lewat aplikasi perpesanan, Sabtu (13/2/2021).
Kemudian Fadjroel mengutip UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Fajdroel menjabarkan ketentuan pidana dalam menyampaikan komentar di media digital.
 
"Perhatikan baik-baik ketentuan pidana Pasal 45 ayat (1) tentang muatan yang melanggar kesusilaan; ayat (2) tentang muatan perjudian; ayat (3) tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; ayat (4) tentang muatan pemerasan dan/atau pengancaman," ujar Fadjroel.
 
"Lalu pasal 45a ayat (1) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen; ayat (2) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas SARA. Lalu pasal 45b tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi," tambahnya.
 
Fadjroel pun menyampaikan tidak ada masalah masyarakat memberikan kritik kepada pemerintah asalkan sesuai UUD 1945 dan UU yang ada. Fadjroel menegaskan Jokowi tegak lurus terhadap konstitusi.
 
"Jadi, apabila mengkritik sesuai UUD 1945 dan peraturan perundangan, pasti tidak ada masalah karena kewajiban pemerintah/negara adalah melindungi, memenuhi, dan menghormati hak-hak konstitusional setiap WNI, yang merupakan hak asasi manusia tanpa kecuali. Presiden Jokowi tegak lurus dengan konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundangan yang berlaku," ujarnya.
 
Sumber: [detik.com]

 

Berita Lainnya

Index