1,9 Juta Hektar Perkebunan di Riau Terindikasi Tumpang Tindih

1,9 Juta Hektar Perkebunan di Riau Terindikasi Tumpang Tindih
Foto: cakaplah.com

RIAUREVIEW.COM --Provinsi Riau merupakan satu dari 5 provinsi piloting Strategis Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dalam penyelesaian lahan tumpang tindih melalui pendekatan kebijakan satu peta.

Selain Riau, terdapat Provinsi Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Papua dan Kalimantan Timur yang juga merupakan pelaksana aksi penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan ruang melalui pendekatan kebijakan satu peta.

Tim Stranas PK yang dipimpin langsung oleh Koordinator Pelaksana Stranas, Pahala Nainggolan melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau, Kamis (6/6/2024) di Ruang Kenanga Kantor Gubernur Riau.

Pahala mengatakan, koordinasi tersebut mengkoordinasikan percepatan implementasi pencegahan korupsi, salah satunya penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan ruang melalui kebijakan satu peta.

"Riau ini kita pilih khusus karena sawitnya cukup luas dan tambahnya cukup besar. Sekarang kebijakan satu peta di Riau sudah hampir selesai. Baik itu pemetaan hutan, tambang dan sawitnya dimana. Kita bilang hampir, karena pemetaan hutannya yang belum," kata Pahala yang juga merupakan Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, di Ruang Melati Kantor Gubernur Riau.

Hal itu, kata Pahala, karena penetapan kawasan hutan belum ditetapkan 2,6 juta hektare (Ha), dan yang sudah ditetapkan seluas 2,7 juta Ha. Namun Undang-Undang Cipta Karya memberikan jalan keluar untuk luasan lahan diluar batas dan masuk di kawasan hutan.

"Di Riau rerdapat 1,9 juta Ha atau 21,4 persen dari luas wilayah perkebunan yang teridentifikasi tumpang tindih berdasarkan Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI). Beberapa perusahaan telah membayar sanksi administratif berdasarkan aturan pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja. Namun terdapat sekitar 94 perusahaan pelanggar pasal 110A, yang berpotensi menyumbangkan PNBP sebesar lebih Rp150 miliar. Sementara untuk pelanggar 110B, tercatat sebanyak 23 perusahaan dengan potensi PNBP hampir Rp800 miliar," terangnya.

Jika ditotal, maka potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas pelanggar pasal 110A dan 110B oleh perkebunan sawit di Riau mencapai Rp950 miliar (hampir Rp1 triliun). Sementara yang sedang berprogres ada 665 perusahaan.

"Yang menetapkan tagihan (sanksi) itu Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jadi bukan pemerintah daerah (Pemda), sedangkan Pemda hanya mendapat kejelasan bahwa lahan yang tumpang tindih itu milik siapa, apakah milik negara atau perusahaan," sebutnya.

Sementara untuk aktivitas pertambangan di dalam Kawasan hutan Riau berdasarkan IUP dan PPKH terdapat lebih dari 500 hektar aktivitas tambang yang diduga dilakukan 5 perusahaan yang melanggar pasal 110B.

"Saat ini di Provinsi Riau memiliki hampir 27 ribu hektar aktivitas tambang ilegal di areal penggunaan lahan yang lain yang belum diketahui nama perusahaannya, sehingga belum jelas pengenaan sanksinya. Kita berharap dengan kegiatan koordinasi ini potensi penerimaan PNBP atas sanksi terhadap perusahaan di Riau yang melanggar dapat semakin optimal," paparnya.**

 

 

 

 

Sumber: cakaplah.com

Berita Lainnya

Index