RIAUREVIEW.COM --Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan kecewa dengan penanganan laporan dugaan korupsi di tubuh PT Pertamina dan juga cucu perusahaannya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) di Riau. Politisi Partai Demokrat tersebut bahkan sampai meminta agar Jaksa Agung ST Burhanuddin memeriksa Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau.
Kekecewaan Hinca Panjaitan itu diungkapkannya dalam rapat kerja Komisi III DPR RI bersama Jaksa Agung dan jajarannya pada Rabu (13/11/2024). Hadir dalam rapat tersebut seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) se-Indonesia.
Hinca yang pernah melaporkan PT PHR ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau terkait proyek geomembran senilai ratusan miliar rupiah tersebut, awalnya mengungkit soal 8 misi Presiden Prabowo Subianto yang dikenal dengan Asta Cita. Yakni soal swasembada energi dan pemberantasan korupsi.
“Tugasnya kejaksaan atau aparat penegak hukum mencegah dan memberantas korupsi agar tidak bocor APBN. Sumber daya alam ini besar sekali. Kita fokuskan ke BUMN,” kata Hinca Panjaitan dalam rapat yang disiarkan TV Parlemen.
Dilansir SM News, Hinca kemudian menyoroti secara khusus tentang pengelolaan sumber daya alam di PT Pertamina. Menurutnya, Pertamina mirip seperti kapal pesiar mewah Titanic. Namun, kapal itu oleng karena harus menanggung beban yang berat.
“Pertamina ini punya anak cucu cicit sampai 200 perusahaan,” kata Hinca.
Hinca mengungkap kegiatan di sektor hulu migas yang diawali dengan eksplorasi, pengeboran minyak sampai pada urusan limbah minyak bumi.
Ia menyinggung soal kunjungan Presiden Jokowi ke Blok Rokan yang dikelola PT PHR pada awal 2024 lalu. Dimana saat itu Jokowi mematok target produksi minyak dari Blok Rokan sebesar 210 ribu barel per hari (bph). Namun, kata Hinca, produksi minyak PT PHR sampai saat ini hanya sekitar 160 ribu bph.
“Bagi saya, target yang tidak tercapai adalah dugaan terjadi penyalahgunaan wewenang,” tegas Hinca.
Ia meminta agar Kejaksaan Agung memeriksa setiap pengadaan dan proyek di PT PHR, mulai dari rig sampai plastik geomembran.
“Rig lama dan rig baru, periksa itu. Gak jalan. Macet dan batuk batuk, Pak,” tuding Hinca.
Soroti Proyek Geomembran dan Rig
Menurut Hinca, pada era Blok Rokan dikelola PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), pengadaan geomembran dilakukan dengan sistem penunjukkan langsung (PL). Tapi, di era PT PHR justru dilakukan dengan sistem kontrak agar anggarannya besar.
“Geomembran, plastik geomembran di zaman Chevron cukup PL. Sekarang, supaya dapat uang besar dibikin kontraknya jadi 3 tahun, Rp 209 miliar, cincai lagi di situ, terjadi persoalan di situ,” kata Hinca.
Tensi suara Hinca makin meninggi saat memaparkan kalau terkait proyek geomembran itu, Kajari Jakarta Pusat telah mengirim surat kepada Dirut Pertamina. Menurut Hinca, isi surat mengemukakan telah ditemukan 3 perbuatan melawan hukum.
Namun, ia menuding ada peran Direktur Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS) Kejagung sehingga perkara dihentikan.
“Silakan diaudit apa yang terjadi. Direktur PPS dihentikan perkara itu, tarik itu kasus. Saya sudah laporkan ke Bapak-bapak semua di sini,” kata Hinca.
Hinca kemudian melaporkan masalah itu ke Kejati Riau. Namun, di Kejati Riau ia merasa laporannya dianggap enteng.
“Saya bawa dokumennya ke Kajati Riau. Saya sampaikan di situ. Dianggap enteng tuh sama Kajati Riau. Tidak berani menerima laporan saya. Setelah itu saya serahkan seluruh dokumennya. Dalam seminggu tidak terbukti. Karena Direktur PPS cepat-cepat mengatakan kita bikin ini geomembran masuk PPS. Langsung pasang plang, jangan ganggu aku. Beginikah cara kerja kita?” kata Hinca.
PPS (Pengamanan Pembangunan Strategis) adalah bagian dari tugas Intelijen Penegakan Hukum Kejaksaan Agung untuk melakukan pendampingan terhadap proyek strategis. Tujuannya adalah untuk mencegah dan menanggulangi ancaman yang dapat mengganggu kepentingan dan keamanan pelaksanaan pembangunan strategis.
Hinca mengkritik tidak ada satu kasus pun di Pertamina yang ditangani oleh Kejaksaan. Ia menduga karena proyek di Pertamina masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) yang mendapat pendampingan proyek strategis (PPS) oleh Kejaksaan.
“Termasuk kritik saya, jangan buat jaksa aktif menjadi bagian legalnya Pertamina. Untuk apa itu, Pak? Tarik itu semua. Kan anggaran sudah ada, masih banyak yang profesional untuk itu,” tegas Hinca.
Hinca kemudian menuangkan laporannya tersebut dalam sebuah buku setebal 400 halaman. Buku itu ditunjukkan Hinca dalam forum rapat. Judul buku tersebut yakni “Save Blok Rokan untuk Swasembada Energi. Jangan Karena Geomembran Setitik Rusak Pertamina Sebelanga”.
“Buku 400 halaman. Di sini lengkap semuanya. Silahkan Pak Jaksa Agung memanggil Kajati Riau yang sekarang dan yang sebelumnya,” pinta Hinca.
Saat ini, Kejati Riau dijabat oleh Akmal Abbas yang menggantikan Supardi yang ditarik kembali ke Kejaksaan Agung. Sebelumnya, Supardi pernah menjadi Direktur Penyidikan Pidana Khusus pada Jampidsus.
Hinca menyebut, ada banyak proyek yang dilakukan di Blok Rokan yang nilainya mencapai ratusan triliun. Namun, proyek-proyek itu tidak pernah ditelisik.
“Kenapa teman-teman diam saja, jebol terus ini swasembada energi kita. Sementara Presiden Prabowo terus bilang bocor, bocor, bocor,” kata Hinca.
Ia kembali mengulang permintaannya agar Jaksa Agung memeriksa Kajati Riau dan jajarannya.
Saya yang melaporkan resmi, gak mau menerima tandatangannya Pak. Dipanggil itu KTU, terima aja di sini. Begitukah caranya? Saya minta panggil semua, bongkar semua kasus-kasus itu. Kalau tidak target swasembada energi yang dipatok Prabowo, tidak didukung Jaksa Agung,” tegas Hinca.
Ia menuding kondisi rig di Blok Rokan sudah renta dan geomembran berkualitas kelas bawah.
“Tapi semua tak mau ngecek. Kita kunjungan ke Blok Rokan. Cek langsung ke Rokan, buka satu per satu.
Jaksa Agung ST Burhanuddin hanya menjawab normatif kritikan keras yang disampaikan oleh Hinca Panjaitan tersebut. Ia berjanji akan menindaklanjutinya.
Sementara, Kajati Riau Akmal Abbas belum membalas konfirmasi yang dilayangkan media ini ikhwal tudingan yang disampaikan oleh Hinca Panjaitan. (**)
Sumber: potret24.com