Pengamat: Impor Migas Tekan Rupiah Lebih Besar

Pengamat: Impor Migas Tekan Rupiah Lebih Besar
Ilustrasi

JAKARTA, RIAUREVIEW.COM -Impor minyak dan gas (migas) dinilai dapat mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah. Setiap kenaikan impor migas sebesar US$1 miliar diperkirakan dapat menekan nilai tukar rupiah sebesar Rp455 per dolar AS. 

Dilansir CNNIndonesia bahwa Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pengaruh impor migas terhadap depresiasi rupiah lebih besar ketimbang sektor nonmigas. Berdasarkan simulasi ReforMiner Institute, setiap kenaikan impor sebesar US$1 miliar dapat membuat rupiah melemah Rp455 per dolar AS untuk produk migas dan Rp90 per dolar AS untuk produk nonmigas.

"Padahal porsi impor migas dibandingkan impor nonmigas lebih kecil. Impor migas porsinya hanya 20 persen (dari total impor), sedangkan impor nonmigas sbeesar 80 persen (dari total impor), tetapi pengaruhnya (impor migas) lebih besar (terhadap pelemahan rupiah)," kata Komaidi di Media Gathering PT Medco E&P Indonesia dan Medco E&P Natuna Ltd, Minggu (2/12).

Kondisi itu, lanjutnya, disebabkan perbedaan volume ekspor. Meskipun sektor nonmigas memiliki kontribusi impor sebesar 80, namun mereka menyumbang ekspor sekitar 90 persen. Dengan demikian, sektor nonmigas tidak menyerap banyak devisa dari pasar uang.

"Kalau sektor migas, karena kita sudah net importir jadi ekspornya sudah tidak bisa cover lagi, sehingga sebagian besar devisa minta ke pasar. Jadi ketika impor mogas naik US$1 miliar melemahkan rupiah sebesar Rp455 per dolar AS," jelasnya. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan nilai impor Oktober 2018 meroket hingga 20,6 persen dari US$14,25 miliar menjadi US$17,62 miliar pada periode yang sama. Peningkatan impor berasal dari impor migas mencapai US$2,91 miliar atau meningkat 26,97 persen. Sementara impor non migas naik 19,42 persen menjadi US$14,71 miliar.

Untuk nilai ekspor hanya meningkat 5,87 persen dari US$15,25 miliar pada September 2018 menjadi US$15,8 miliar pada Oktober 2018. Secara keseluruhan sumbangan ekspor terbesar masih berasal dari non migas dengan kontribusi mencapai 90,62 persen.

Harga Minyak Tahun Depan

Komaidi menilai penurunan harga minyak dunia saat ini hanya bersifat sementara. Ia pun memperkirakan harga minyak akan kembali menembus US$70 per barel pada tahun depan. 

Ia menyebut harga minyak menurun dalam beberapa pekan terakhir akibat pernyataan Presiden AS Donald Trump yang tetap mendukung Arab Saudi meskipun dunia internasional tengah menyoroti kasus pembuhunan kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran pelaku perdagangan minyak mentah di bursa berjangka. "Kondisi ini yang mendasari banyak yang melepas kontrak pembelian di bursa berjangka," jelasnya. 

Akibatnya, harga minyak mentah sepanjang November 2018 anjlok lebih dari 20 persen. Melansir Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent akhir bulan lalu ditutup di level US$58,71 per barel. Sedangkan harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) ditutup di level US$50,93 per barel.

Komaidi melanjutkan dalam jangka panjang pergerakan harga minyak lebih dipengaruhi kondisi fundamental ekonomi dunia. Dalam simulasinya, perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan konsumsi energi adalah 1:1,5 atau 1:2. 

Itu berarti, setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan konsumsi energi 1,5 sampai 2 persen. Sementara itu, minyak dan gas (migas) diproyeksi masih akan mendominasi bauran energy primer global sekitar 50 persen hingga 2040 mendatang.

"Tahun 2019 proyeksi ekonomi dunia secara rata-rata akan tumbuh di 3,6 persen makanya konsumsi energi tumbuhnya sekitar 7 persen dibanding 2018. Saya meyakini 2019 masih ada di kisaran paling tidak US$70 ke atas," jelasnya.

Komaidi menuturkan pada tahun 2040 akan terjadi persaingan untuk mendapatkan pasokan minyak terutama di negara-negara Asia Pasifik yang didominasi negara berkembang. Ia menjelaskan permintaan pasokan minyak dari negara berkembang diprediksi mencapai 62,6 persen dari total permintaan dunia di 2040.

Alasannya, lanjut Komaidi, negara berkembang memiliki kebutuhan tinggi akan pasokan minyak, sedangkan cadangan maupun produksi dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan itu.

Mengutip BP Statistical Review, cadangan minyak Asia Pasifik sekitar 2,8 persen cadangan dunia sementara produksinya sekitar 8,5 persen. Tetapi konsumsinya mencapai sekitar 35 persen dari konsumsi dunia.

"Sehingga mau tidak mau harus berebut mengambil (pasokan migas) dari negara lain," ujarnya.

Ia mengatakan negara-negara di Asia Pasifik termasuk Indonesia bisa mendapatkan pasokan minyak dari negara-negara di kawasan Timur Tengah. Namun demikian, negara-negara adikuasi seperti AS dan China sudah mulai berekspansi di wilayah tersebut. Dengan kondisi itu, maka persaingan untuk mendapatkan pasokan minyak semakin ketat ke depannya, lantaran Indonesia juga harus berhadapan dengan negara lainnya.

"Jadi kalau ada kekhawatiran jangan-jangan punya uang tapi tidak bisa beli minyak karena tidak dapat barang itu sangat bisa terjadi," pungkasnya.

Berita Lainnya

Index