KPK Sebut Gratifikasi Seks Bisa Dijerat, tapi Pembuktiannya Berat

KPK Sebut Gratifikasi Seks Bisa Dijerat, tapi Pembuktiannya Berat
Ilustrasi

JAKARTA, RIAUREVIEW.COM -Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut gratifikasi seks seharusnya bisa dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alex menyebut sejumlah negara sudah menerapkan pidana pada gratifikasi seks.

"Tentu itu gratifikasinya sebesar berapa biaya yang dikeluarkan. Artinya kan dalam bentuk seks, tapi bukti dari pemberi itu kan uang juga yang mengalir ke penyedia jasa itu," kata Alexander yang dilansir detikcom, pada Rabu (30/1) kemarin.

"Mestinya itu bisa dijerat sebagai gratifikasi, apalagi kalau dalam pemberian itu ada sesuatu yang diberikan oleh penerima gratifikasi itu, misalnya dengan menyalahgunakan wewenang, pemberian izin, dan seterusnya," imbuhnya.

Pendapat Alexander itu didukung sejumlah pakar hukum. Namun menurut para pakar itu, pembuktiannya cukup berat. Seperti disampaikan Guru Besar Hukum Acara Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof Hibnu Nugroho yang sependapat dengan Alexander. Apa pendapat Prof Hibnu?

"Bisa sekali. Makanya gratifikasi itu luas sekali perkembangannya. Kalau dulu hanya berupa pemberian, fasilitas, diskon, sekarang berkembang. Orang sudah tidak perlu diskon, (diberikan) gratifikasi seks," kata Prof Hibnu, Kamis (31/1/2019).

Namun menurutnya pembuktian gratifikasi seks itu cukup menantang. Ini yang disebut Prof Hibnu menjadi pekerjaan rumah penegak hukum.

"Hukum kan bicara bukti, ini yang menjadi tantangan penegak hukum. Paling tidak bukti-bukti materiil harus ditemukan. Butuh kerja keras penegak hukum untuk membuktikannya," kata Prof Hibnu.

Faktor apa yang membuat pembuktian gratifikasi seks sulit disebut pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Ganjar Laksmana berkaitan dengan pembuktian hubungan seksnya. Namun Ganjar meyakini bila gratifikasi seks tetap dapat dijerat pidana.

"Kalau dibilang gratifikasi seks, harus terbukti mereka melakukan hubungan seks," ucap Ganjar.

Pendapat Ganjar didukung Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti. Dia menyebut pemberian gratifikasi seks sulit dibuktikan bila tidak ada pengakuan.

"Yang rumit pembuktiannya itu begini, kalau gratifikasinya uang, barang, itu kan bisa dilihat kasat mata. Kalau gratifikasi seks itu nggak bisa dilihat, kasat mata. Kecuali misalnya orang yang memberikan itu mengaku. Itu kan bukti satu saja tidak cukup, bukti komunikasi dan lainnya. Itu harus dibuktikan di pengadilan," ucap Bivitri.

"Kalau ngasihnya tiket kan mudah ditunjukkan tiketnya. Kalau gratifikasi seks harus dibuktikan betul sudah terjadi dan unsur lain juga terpenuhi, diterima oleh siapa dan tujuannya apa," sambungnya.

Berdasarkan penjelasan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan:

Yang dimaksud dengan 'gratifikasi' dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Berita Lainnya

Index