Kisruh di Jalur Gaza, Turki dan Israel Saling Usir Diplomat

Kisruh di Jalur Gaza, Turki dan Israel Saling Usir Diplomat

JAKARTA, RIAUREVIEW.COM -Turki dan Israel mengusir diplomat senior masing-masing pada Selasa (15/5). Ini terjadi akibat perselisihan yang menyebabkan tewasnya 60 warga Palestina sehari sebelumnya selama protes di perbatasan Gaza.

Dikutip dari Reuters, Turki mengatakan kepada duta besar Israel untuk meninggalkan negara itu pada Selasa setelah pasukan Israel membunuh warga Palestina yang menolak pembukaan Kedutaan Besar AS di Yerusalem.

Turki menjadi salah satu pengkritik paling vokal atas tanggapan Israel terhadap protes Gaza dan langkah Kedutaan AS. Negara tersebut juga menyerukan akan pertemuan darurat negara-negara Islam pada Jumat (18/5).

Presiden Tayyip Erdogan menggambarkan pertumpahan darah yang terjadi pada Senin (14/5) merupakan hari 'paling berdarah' bagi warga Palestina sejak konflik Gaza 2014. Ia menyebutnya sebagai genosida, dan Israel sebagai negara teroris. Pemerintah Turki pun menyatakan tiga hari berkabung.

Beberapa jam kemudian, Kementerian Luar Negeri Israel pun membalas dengan mengatakan Konsul Jenderal Turki di Yerusalem telah dipanggil dan diperintahkan untuk kembali ke Turki, dengan alasan "keperluan konsultasi selama jangka waktu tertentu."

Perselisihan tersebut menandai krisis diplomatik terburuk antara dua negara sejak beberapa persoalan yang pernah terjadi. Di antaranya, kala marinir Israel menyerbu sebuah kapal bantuan untuk memberlakukan blokade laut Gaza tahun 2010 yang menewaskan 10 aktivis Turki dan mendorong penurunan hubungan diplomatik yang berlangsung hingga 2016.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan di Twitter Erdogan tidak dalam posisi untuk "memberitakan moralitas kepada kami" karena ia mendukung gerakan Islamis Palestina Hamas yang memerintah Gaza. "Tidak ada keraguan dia memahami terorisme dan pembantaian," ungkap Netanyahu lewat tweet-nya saat itu.

Erdogan pun membalas. Ia mencuit lewat twitternya kembali bahwa Netanyahu adalah pemimpin "sebuah negara apartheid yang telah menduduki tanah rakyat yang tidak berdaya selama 60+ tahun yang melanggar resolusi PBB".

Protes di Turki

Sementara itu, Perdana Menteri Turki, Binali Yildirim juga mengatakan bahwa negara-negara Muslim harus meninjau kembali hubungan mereka dengan Israel setelah kekerasan yang terjadi pada Senin (14/5).

Ada demonstrasi melawan Israel di Istanbul dan di ibukota Ankara. Erdogan, yang berkampanye untuk pemilihan presiden dan parlemen bulan depan, mengatakan unjuk rasa akan diadakan pada Jumat (18/5) untuk memprotes 'pembunuhan' yang terjadi tersebut.

Jurubicara pemerintah Turki, Bekir Bozdag mengatakan kepada parlemen bahwa rapat umum "akan sekali lagi menunjukkan bahwa rakyat Turki tidak akan tinggal diam dalam menghadapi ketidakadilan dan kekejaman, bahwa mereka membela para korban di hadapan yang kejam".

Nasib orang Palestina bergema dengan banyak orang Turki, termasuk dengan pemilih nasionalis dan agama yang membentuk basis dukungan Erdogan.

Bozdag mengatakan bahwa Turki menganggap Amerika Serikat juga bertanggung jawab atas kekerasan di jalur Gaza yang menewaskan puluhan warga Palestina.

"Darah orang-orang Palestina yang tidak bersalah ada di tangan Amerika Serikat," katanya. "Amerika Serikat adalah bagian dari masalah, bukan solusi".

Hubungan antara Ankara dan Washington, dua sekutu NATO, telah sangat tegang atas langkah kedutaan, ketidaksepakatan mengenai penempatan militer di Suriah utara, dan kasus pengadilan terhadap warga negara Turki dan AS di masing-masing negara.

Berita Lainnya

Index