Apa bedanya mengelola Perguruan Tinggi (PT) dengan sebuah perusahaan, organisasi masyarakat ataupun di pemerintahan? Bagi kita yang berkiprah di PT, pertanyaan semacam ini menjadi catatan refleksi kita bahwasanya mengelola PT ada garis pembeda, mempunyai kekhasan sendiri bila dibandingan dengan organ lain. Apalagi kalau kita bicara soal kepemimpinan.
Jika di perusahaan dan organisasi pemerintah menganut asas tata kelola manajerial, sementara di organisasi masyarakat murni menganut prinsip kolegial, maka dalam struktur tata kelola perguruan tinggi menganut jenis hybrid dimana tata kelola manajerial dan kolegial berjalan beriringan dan interdependen. Di konsep manajerial, basis kekuasaan adalah power, ekonomi, otoritas, dan masa kepemimpinan. Model pengawasan dan pengambilan keputusan cenderung top down. Anggota organisasi dipisahkan oleh jarak kekuasaan dengan pimpinan, sehingga para anggotanya dilabel dengan sebutan “bawahan” yang menerima perintah dan berunjuk kerja berdasarkan instruksi dan SOP yang sudah ditetapkan serta umumnya berkinerja minimum dan terbatas sesuai jabatan dan pengalokasian kompensasi yang diterimanya.
Beda halnya konsep kolegial, orientasinya adalah team work, dukungan, kemandirian anggota, di mana pengambilan keputusan, termasuk dalam hal pemilihan pimpinan, dilakukan secara konsensus di antara para anggota, baik secara langsung maupun dengan sistem perwakilan. Masa jabatan pimpinan dibatasi durasi dan periodisasi. Keputusan-keputusan dan pembagian otoritas di tingkat pimpinan cenderung dilakukan secara kolektif kolegial. Pengawasan kinerja pimpinan juga bersifat bottom up dari para anggota yang biasanya direpresentasikan dalam badan-badan pengawasan independen, misalnya Senat Akademik di perguruan tinggi atau Badan Kehormatan di organisasi Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota di organisasi kolegial tidak disebut sebagai bawahan; sebaliknya, para anggota organisasi kolegial menjadi obyek yang harus “dilayani” oleh pimpinan. Intinya, di dalam organisasi kolegial, pimpinan tidak berkuasa secara absolut, karena adanya pembagian kekuasaan secara kolegial dan memiliki keterbatasan waktu di mana ketika masa jabatan berakhir maka pimpinan akan kembali menjadi anggota biasa. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi penerapan otoritarianisme di lingkup organisasi kolegial.
Di DPR/DPRD, jalur organisasi manajerial disebut sebagai Sekretariat Dewan, yang terdiri dari para Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan jabatan tertinggi Sekretaris Dewan (Sekwan). Sementara jalur kolegialnya disebut anggota dewan yang terdiri dari para politisi yang terpilih melalui proses Pemilu yang demokratis dengan masa jabatan terbatas. Kedua jalur tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing yang tidak saling tercampur, namun saling mendukung. Seorang Ketua DPR/DPRD terpilih, dalam masa yang terbatas, menjadi pimpinan tertinggi bagi kedua jalur organisasi ini. Sementara di perguruan tinggi, berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kedua jalur tata kelola ini dibagi menjadi tenaga pendidik (dosen) yang merepresentasikan pengorganisasian kolegial dan tenaga kependidikan (pegawai) yang merepresentasikan pengorganisasian manajerial. Seorang rektor/direktur/dekan terpilih, dalam masa yang terbatas, menjadi pimpinan tertinggi bagi kedua jalur organisasi ini.
Konsekuensinya, tenaga pendidik (dosen) dan tenaga kependidikan (pegawai) memiliki jalur karir yang berbeda. Puncak jenjang karir sesungguhnya bagi para dosen adalah menjadi Guru Besar (Professor). Sebagian dosen diamanahkan dengan tugas-tugas tambahan di jabatan-jabatan struktural, dengan jalur karir sebagai pimpinan jurusan/program studi, dekan, wakil dekan, rektor/direktur, wakil rektor/wakil direktur, atau ketua-ketua badan dan lembaga di lingkup perguruan tinggi yang umumnya berorientasi akademik. Secara hukum, karir dosen diatur dalam perundang-undangan terkait dosen dan peraturan turunannya. Sementara jalur karir pegawai perguruan tinggi berorientasi administrasi dengan puncak karir sebagai pimpinan-pimpinan bagian, biro atau nomenklatur lain yang setara. Dengan demikian, karir pegawai perguruan tinggi masuk ke dalam domain peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan.
Rangkap Jabatan
Bisakah dosen merangkap sebagai pegawai dan sebaliknya? Ada dua kemungkinan utama mengapa di sebuah perguruan tinggi swasta terjadi fenomena dosen merangkap sebagai pegawai dan/atau pegawai merangkap sebagai dosen. Pertama, karena ketidakmampuan finansial kampus yang bersangkutan untuk memberikan kompensasi terpisah terhadap fungsi-fungsi tridharma dosen dengan fungsi-fungsi administrasi seorang pegawai. Kedua, karena ketidakpahaman pimpinan perguruan tinggi terhadap hukum administrasi dan sistem organisasi perguruan tinggi.
Secara hukum administrasi, kedua fungsi tersebut tidak dapat dirangkap. Pertama, meskipun klausul terkait tenaga kependidikan (pegawai) juga diatur di dalam peraturan perundang-undangan pendidikan tinggi, namun karakteristik pekerjaan dan sifat pengorganisasiannya sangat berbeda dengan tenaga pendidik (dosen). Tupoksi utama pegawai adalah “bawahan” yang melayani pimpinan perguruan tinggi dalam menjalankan kewajibannya melayani mahasiswa dan dosen; sementara dosen bukan merupakan “bawahan” pimpinan perguruan tinggi, sebaliknya justru menjadi pihak yang harus dilayani oleh dosen yang sedang diamanahkan menjabat sebagai pimpinan struktural perguruan tinggi.
Jika kita telisik, bukankah dosen bisa diperbantukan di jabatan-jabatan struktural yang berorientasi administratif? Betul. Bahkan sepengetahuan saya, di buku Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PAK), dosen dengan tugas tambahan diberikan poin tambahan (tertinggi 6 poin untuk jabatan rektor dan 3 poin untuk setara sekretaris jurusan/program studi) dalam rangka membantu dosen-dosen dengan tugas tambahan, yang karena kesibukan di jabatan strukturalnya, kesulitan untuk memenuhi poin minimal kinerja tridharma setiap semesternya. Dalam lingkup perguruan tinggi, dosen juga diperkenankan dan diganjar dengan poin tambahan di komponen penunjang jika difungsikan dalam struktur kepanitiaan agenda-agenda kampus. Namun, semua tugas-tugas tambahan tersebut tidak bercampur dengan fungsi-fungsi kepegawaian/tenaga kependidikan. Secara hukum administrasi, dosen tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan pegawai perguruan tinggi. Sebaliknya, pegawai juga tidak melaksanakan fungsi-fungsi tridharma perguruan tinggi yang menjadi kewajiban para dosen.
Lantas, bagaimana jika tercampur? Dari sisi keadilan karir, pencampuran ini bisa membingungkan peta jalan karir dosen dan pegawai. Contoh, seorang pegawai berkeinginan untuk mencapai puncak karir tenaga kependidikan sebagai pimpinan bagian atau biro, tentu akan merasa kecewa jika ternyata jabatan-jabatan kepegawaian tersebut justru diberikan kepada dosen. Padahal di UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 40 disebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan adalah dua pihak yang berbeda yang berhak memperoleh pembinaan karir sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas. Maknanya, kedua profesi ini memiliki jalur pembinaan kualitas karir yang berbeda, sehingga pembinaan dan pengaturan jenjang karirnya juga harus dibedakan. “Kolonisasi” hak jenjang karir para pegawai oleh dosen, yang dianggap memiliki status lebih tinggi, juga merupakan bentuk diskriminasi dalam pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta asas keadilan dan pemerataan dalam Pasal 32.
Bagaimana dengan pertimbangan kompetensi pegawai yang kurang layak untuk sebuah jabatan kepegawaian? Problem ini tentu lebih tepatnya menjadi permasalahan program kerja pimpinan yang kurang memperhatikan kaderisasi dan peningkatan pengetahuan serta kompetensi di kalangan pegawai. Menjadi tidak elok ketika problem ketidakmampuan pegawai dikompensasi dengan memindahkan hak pencapaian jenjang karir pegawai dengan cara menempatkan dosen di jabatan-jabatan kepegawaian.
Demikian pula bagi dosen yang merangkap pegawai berpotensi mengalami ketidakadilan atau hambatan untuk menapaki jenjang karir fungsionalnya yang ditentukan dari seberapa besar poin-poin yang dikumpulkannya dari kegiatan tridharma plus penunjang. Menjadi pegawai tidak memberikan tambahan poin untuk peningkatan karir fungsionalnya, meskipun mungkin memberikan tambahan koin (pendapatan). Bukan rahasia lagi bahwa fungsi tridharma+ saat ini telah menyita waktu, pikiran dan tenaga dosen. Jika ditambah dengan rangkap jabatan sebagai pegawai, yang notabene memiliki tantangan pekerjaan administratif yang sangat menyita pikiran, tenaga dan waktu, maka sulit bagi dosen yang bersangkutan untuk menata peta jalan karir akademik/fungsionalnya. Kondisi ini menjadi sebentuk ketidakadilan pembinaan karir akademik/fungsional dosen yang dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi.
Wassalam,
Pekanbaru, 20 Juni 2023