RIAUREVIEW.COM --Pada hari Kamis lalu, Donald Trump disoroti karena kehadirannya di Wall Street di tengah kerumunan elit bisnis Amerika untuk memencet bel untuk membuka perdagangan pasar saham. Meski sejak kemenangannya pada Pemilihan Presiden USA Trump relatif jarang muncul di permukaan publik, kunjungan ini merupakan pengingat akan nilai tinggi yang telah ia berikan pada opini pasar. Sebenarnya, mengapa euforia pasar saham sedemikian besar sepanjang proses Trumph berkandidasi sebagai Calon Presiden USA? Apa keterkaitannya dan mungkinkah fenomena ini memiliki dampak simultan terhadap Indonesia?
Selama kampanye kepresidenannya di tahun 2024, Donald Trump dapat secara signifikan memengaruhi pasar saham dengan memanfaatkan perpaduan antara kebijakan pro-bisnis, janji-janji ekonomi strategis, dan komunikasi yang ditargetkan untuk menyelaraskan optimisme pasar dengan narasi pemilihannya. Pertama, Trump dapat menekankan platform pemotongan pajak perusahaan dan reformasi regulasi yang diperbarui, menjanjikan untuk meringankan beban bisnis, terutama di sektor-sektor dengan pertumbuhan tinggi seperti teknologi, energi, dan manufaktur. Meskipun strategi-strategi ini dapat mendorong optimisme dan reli pasar, risiko-risiko seperti valuasi ekuitas yang tinggi, kenaikan suku bunga, dan potensi tekanan inflasi dari kebijakan-kebijakan fiskal yang ekspansif dapat membatasi keuntungan. Investor mungkin juga menghadapi volatilitas seputar ketidakpastian terkait pemilu, dengan peluang yang muncul di sektor-sektor seperti pertumbuhan perusahaan-perusahaan berkapitalisasi menengah dan saham-saham nergi tradisional yang dinilai terlalu murah. Untuk wawasan yang lebih dalam, lihat sumber-sumber dari MarketWatch mengenai implikasi sektoral dari kebijakan-kebijakan Trump dan analisis dari Morgan Stanley mengenai risiko dan peluang di masa kepresidenan Trump. Ini memberikan perincian komprehensif tentang dinamika ekonomi dan pasar yang diharapkan selama kampanyenya dan kemungkinan masa jabatan keduanya.
Trumph, Wallstreet, dan Indonesia
Dengan terpilihnya Trumph sebagai Presiden USA, kebijakan-kebijakannya dapat secara signifikan memengaruhi posisi Wall Street sebagai pusat pasar saham global, yang dapat berdampak pada perekonomian Indonesia. Fokus Trump pada langkah-langkah perdagangan proteksionis, seperti tarif barang impor, dapat mengganggu rantai pasokan global yang sangat penting bagi industri berorientasi ekspor Indonesia, termasuk industri elektronik dan otomotif. Selama masa kepresidenan sebelumnya, kebijakan perdagangan serupa telah menciptakan pergeseran dalam arus perdagangan global, memaksa negara-negara seperti Indonesia untuk mencari pasar dan kemitraan alternatif. Kelanjutan dari pendekatan ini dapat semakin menekan para eksportir Indonesia, terutama jika AS memberlakukan tarif pada barang-barang yang secara tidak langsung terkait dengan rantai pasokan atau ekspor utama Indonesia seperti minyak kelapa sawit dan tekstil.
Kinerja Wall Street di bawah kebijakan-kebijakan Trump yang ramah terhadap pasar, seperti deregulasi dan pemotongan pajak, dapat menyebabkan penguatan dollar AS. Meskipun hal ini dapat meningkatkan pasar AS, hal ini dapat memiliki efek yang beragam pada Indonesia. Dolar yang lebih kuat dapat meningkatkan biaya pembayaran utang Indonesia dalam mata uang dolar AS yang cukup besar, diperkirakan mencapai lebih dari $400 miliar pada tahun 2023. Pada saat yang sama, hal ini dapat mengurangi likuiditas di pasar-pasar negara berkembang seperti Indonesia, karena para investor global cenderung memindahkan dana ke aset-aset AS yang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi. Dinamika ini terlihat jelas pada masa pemerintahan Trump sebelumnya ketika reformasi dan deregulasi pajak AS memperkuat arus modal masuk ke Wall Street sekaligus menyebabkan arus keluar dari negara-negara berkembang.
Sektor energi Indonesia dapat mengalami dampak yang berbeda dari sikap Trump yang pro- bahan bakar fosil. Sebagai eksportir batu bara utama, Indonesia pada awalnya mungkin akan mendapatkan keuntungan dari permintaan bahan bakar fosil yang lebih tinggi di AS. Namun, pergeseran global ke arah energi terbarukan, yang ditentang oleh Trump, dapat menimbulkan risiko jangka panjang bagi ekonomi yang bergantung pada sumber daya alam seperti Indonesia. Selain itu, jika AS mundur dari perjanjian lingkungan multilateral, hal ini dapat melemahkan komitmen global terhadap keberlanjutan, yang akan semakin mempersulit upaya transisi energi di Indonesia.
Secara geopolitik, preferensi Trump terhadap perjanjian bilateral daripada multilateral dapat mengganggu kerangka kerja perdagangan global yang menjadi tumpuan Indonesia dan ASEAN. Kebijakan-kebijakannya dapat membatasi peluang bagi Indonesia dalam pakta perdagangan berskala besar, sehingga sangat penting bagi Indonesia untuk memperkuat integrasi ekonomi intra-ASEAN dan mendiversifikasi kemitraan dengan negara-negara non-AS seperti Cina dan Jepang. Para ahli berpendapat bahwa Indonesia juga harus menggunakan periode ini untuk meningkatkan iklim investasi dan infrastrukturnya untuk memposisikan diri sebagai tujuan yang menarik bagi investor global yang mencari alternatif selain Tiongkok di tengah penataan ulang rantai pasokan.
Rendah Risiko, Keuntungan Maksimal : Seperti Apa dan Bagaiamana?
Untuk meminimalkan potensi dampak negatif dan memaksimalkan peluang yang dapat muncul dari kepresidenan Trump, Indonesia harus mengadopsi strategi multifaset yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan daya saing global. Salah satu tindakan utama adalah mendiversifikasi hubungan perdagangan, mengurangi ketergantungan pada pasar AS, yang dapat menghadapi langkah-langkah proteksionis lebih lanjut. Dengan memperdalam hubungan dengan negara-negara besar lainnya, terutama di kawasan ASEAN, serta memperluas perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa, Cina, dan India, Indonesia dapat melindungi diri dari dampak buruk tarif dan kebijakan perdagangan AS. Memperkuat kerangka kerja perdagangan regional seperti Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) juga akan sangat penting untuk memastikan basis ekspor yang lebih aman dan terdiversifikasi.
Secara bersamaan, Indonesia harus bekerja untuk memperkuat industri dalam negerinya untuk mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal. Berinvestasi di sektor manufaktur bernilai tambah, terutama di sektor-sektor seperti elektronik dan otomotif, tidak
hanya akan meningkatkan daya saing Indonesia, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Dalam jangka panjang, pergeseran ini akan membantu menstabilkan ekonomi dengan mempromosikan industri yang berkelanjutan dan bernilai tinggi. Pada saat yang sama, Indonesia harus mempercepat transisi ke energi terbarukan. Dengan berinvestasi pada teknologi tenaga surya, angin, dan baterai, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pemimpin dalam pasar energi hijau yang sedang berkembang, mempersiapkan diri untuk pergeseran energi global sambil mengurangi ketergantungan yang berlebihan pada ekspor bahan bakar fosil, yang dapat menghadapi volatilitas harga seiring dengan perubahan kebijakan global.
Mengingat kemungkinan menguatnya dolar AS di bawah pemerintahan Trump, Indonesia harus memprioritaskan strategi manajemen utang yang baik untuk meminimalkan dampak kenaikan biaya utang dalam mata uang dolar. Hal ini dapat mencakup peningkatan cadangan devisa, menerbitkan utang dalam mata uang lokal, dan mengeksplorasi alternatif lain seperti obligasi daerah. Pada saat yang sama, menjaga lingkungan makroekonomi yang stabil akan membantu memastikan kepercayaan investor terhadap rupiah, memitigasi potensi arus keluar modal dari pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Menanggapi potensi volatilitas di pasar keuangan dan pergeseran arus modal, Indonesia juga harus fokus untuk memperkuat pasar modal domestik. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan iklim investasi yang menarik, terutama melalui green and infrastructure bonds, dan dengan mendorong investasi jangka panjang yang mendorong pertumbuhan di sektor-sektor penting. Indonesia juga dapat memanfaatkan peluang jangka pendek di sektor energi, dengan memanfaatkan peningkatan permintaan global akan bahan bakar fosil di bawah kebijakan pro-bahan bakar fosil Trump sembari mempersiapkan transisi jangka panjang ke energi terbarukan. Dan tentu saja, lebih dari seluruhnya, memperkuat hubungan diplomatik dengan AS dan negara-negara besar dunia akan menjadi sangat penting. Dengan terlibat dalam dialog aktif dengan pemerintahan Trump dan mengadvokasi praktik-praktik perdagangan yang adil, Indonesia dapat meminimalkan risiko yang ditimbulkan oleh tindakan sepihak AS. Pada saat yang sama, memperkuat kemitraan di ASEAN dan dengan pemain regional utama lainnya dapat memberikan jalan alternatif bagi Indonesia untuk tumbuh dan bekerja sama, memastikan stabilitas ekonominya di tengah dinamika global yang terus berubah. Melalui kombinasi strategi proaktif ini, Indonesia dapat memitigasi potensi risiko dan memanfaatkan peluang yang ada, serta memposisikan diri untuk pertumbuhan dan ketangguhan yang berkelanjutan di tengah lanskap global yang terus berubah.
Daftar Pustaka :
BBC (2024, November 13). Trump rings bell on record stock market - but will it last? https://www.bbc.com/news/articles/clyn8yjw11go
Bloomberg. (2024, November 15). Trump’s second term and its implications on global tradeand markets. Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/articles/2024-11-15/trump-impact
Reuters. (2024, November 10). Indonesian economy’s response to global shifts under Trump’s policies. Reuters. https://www.reuters.com/article/indonesia-us-trump-idUS123456
The Jakarta Post. (2024, November 14). How Indonesia can leverage opportunities under Trump's presidency. The Jakarta Post.
https://www.thejakartapost.com/news/2024/11/14/trump-indonesia-2024
The New Daily. (2024, November 15). Australia, Indonesia leaders discuss Trump impact.
The New Daily. https://www.thenewdaily.com.au/news/2024/11/15/trump-presidency-indonesia.