Peter Fleming dalam bukunya “Dark Academia : How Universities Die”( 2021) yang menarasikan “kematian Universitas”, menyebutkan kampus telah berubah, sistem kolegialitas dan sipil Perguruan Tinggi digeser oleh sistem perusahaan bisnis, akibatnya, kampus tidak mempunyai ide-ide secara bebas, mengejar keputusan-keputusan melalui mekanisme pasar. Makna universitas semakin tergerus, tidak lagi menjadi tempatnya para akademisi menguji gagasan, mengembangkan pengetahuan, menguatkan nalar kritis, dan menumbuhkan intelektual. Padahal sejarah mencatat bahwa universitas adalah sejarah bersemainya para pemikir akademisi.
Senada dengan itu, tulisan yang agak sensi, yang dikirimkan ke whatsapp dari guru saya. Beliau Guru Besar disalah satu Univeritas di Riau dan sudah lama juga mengajar di kampus dimulai era tahun 80-an sampai sekarang dan beliau pulalah yang telah menguji disertasi saya ketika mengikuti program Doktor Hukum di Universiti Malaya Kualalumpur (2012). Judul tulisan beliau, “Duka Dosen”, adalah pencerminan bagaimana universitas telah roboh. Saya kutip sebagian kalimatnya, “Tapi apa hendak dikata, kampus seakan jadi industri, pencetak ijazah perguruan tinggi, disitu tertera titel yang diberi, tapi sarjana tidak ada ilmunya, kalau toh ada sekedarnya saja, akhlakpun tidak terpatri di dalam dada”, Kerisauan guru saya ini, karena rendahnya penghargaan dosen, dikatakannya , “ternyata dosen jadi sarana saja, untuk mendapat ijazah sarjana, segitu cuma nilai dosennya, walau dah jauh pergi sekolah, walau dah tinggi titel sarjananya. Kalau begini berketerusan, alamat hancurnya kampus sebagai ilmu pengetahuan tiang peradaban”.
Baik Peter Fleming dan Alaiddin Koto, guru saya, refleksinya sama, cuma beda dialunan narasinya berdasarkan rekam jejak yang dialaminya. Univesitas kini sudah berubah perfomance menjadi ladang perburuan gelar semata menjadi alat industri-pasar, dan kerja-kerja dosen lebih berorientasi pada birokrasi-administratif. Ketimbang kerja-kerja ilmuan-intelektual. Otonomi Universitas seakan tergerus dengan keadaan yang pragmatis kebutuhan pasar, ketimbang nilai-nilai substansif pendidikan dan sekedar lip service saja.
Kenapa hal ini terjadi ?
Tulisan singkat ini , saya mencoba merefleksikan dari satu sisi saja dari kacamata otonomi kampus sebagai roh bersemayamnya kebebasan akademik. Kegundahan Peter Fleming dan Alaiddin Koto, disebabkan:
Pertama, kurangnya penghormatan kepada kebebasan akademik di kampus, kurangnya ruang terbuka untuk dialog. Otonomi kampus pada dasarnya hak kodrati universitas dan dibutuhkan untuk bisa menjalankan fungsinya sebagai tiang peradaban pengetahuan. Dalam hal ini Universitas mendefinisikan dirinya sendiri menjadi center of excellence. Universitas tidak bisa dipersamakan dengan lembaga birokrasi politik ataupun korporasi lainnya dan terbebas dari kepentingan kekuasaan, yang membedakannya adalah nilai-nilai luhur pendidikan yang harus dijaga dalam pelaksanaannya.
Universitas juga adalah gerakan moral, maka dosen berkewajiban sebagai problem solving dalam masyarakat di samping mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Ketika dosen bersuara mengkritik berbagai pihak yang dindikasi merusak nilai kemanusiaan dan lingkungan hidup, ia tidak sedang berpolitik , tetapi melakukan kewajiban sebagai bagian dari gerakan moral.
Oleh karena itu, dosen memiliki hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan atau represi dari pihak manapun. Kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat hendaknya dijamin. Dalam hal ini salah satu prinsip karakteristik universitas ialah adanya kebebasan akademik dan suasana intelektual yang menyenangkan. Barangkali hal ini yang terasa hilang dalam diri kita, pijakan akal sehat terpasung dalam dogma-dogma tirani kekuasaan, dan suara kebenaran cukup disimpan dalam dada, tak mampu mengutarakan karena lidah terasa kelu, sehingga akhirnya kita menjadi terasing dengan kehidupan dunia kampus yang sedang kita jalani.
Kedua, otonomi itu tidak akan melahirkan prestasi akademik apabila tata kelola universitas buruk, yang artinya otonomi disalahgunakan. Tata kelola universitas yang baik (good university governance) haruslah bermuatan kolegialitas dan berdasarkan prinsip check and balance (Sulistyowati, 2023). Misalnya, dalam hal sumber daya manusia, semua mekanisme pengangkatan, promosi dan pemberhentian harus mengacu pada statuta atau aturan lainnya yang disepakati bersama, tidak boleh memecat pejabat universitas atau fakultas tanpa melalui prosedur. Setiap dosen berhak atas promosi sampai kejenjang jabatan yang lebih tinggi, apabila ia berprestasi dan tidak boleh mematikan karier seorang dosen pun hanya karena alasan personal elite kampus.
Prinsip check and balance dilakukan mulai dari perencanan strategis akademik tahunan dan jangka panjang, perencanaan tata kelola keuangan dan sumber daya manusia, hingga selanjutnya mekanisme pelaksanaan dan monitoring evaluasi. Dalam hal tata kelola keuangan misalnya, universitas harus bertanggung jawab atas uang publik yang dikelolanya. Artinya publik punya hak untuk bertanya apakah dana dikelola untuk kepentingan akademik, bukan dihabiskan untuk keperluan lain. Demikian fakultas, pemangku kepentingan utama harus bisa mengetahui alokasi dana universitas dan mengaksesnya. Semua harus disepakati bersama secara transparan, akuntabel, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan terutama diwujudkan dalam statuta dan aturan pelaksananya.
Ketiga, tirani akademik menurut Sulistyowati, yang menyebabkan penyalahgunaan otonomi, karena dominannya kekuasaan eksekutif kampus. Hal ini berdampak pada esensi hubungan kolegialitas tidak terjadi, dimana tampak hubungan antara elite kampus dan dosen bersifat administratif, atasan-bawahan bertingkat-tingkat, kampus menduplikasikann birokrasi pemerintahan. Ditambah lagi kerja akibat kebijakan administratif akademik yang dapat membelenggu tugas serta fungsi dosen sebagai akademisi dan intelektual kampus. Banyak waktu yang tersita, tenaga dan pikirannya untuk mengurusi administrasi.
Catatan pinggir ini bisa sedikit mengurai “Duka Dosen”, yang diungkapkan Alaiddin Koto, kalau boleh saya sebut dengan narasi yang agak sedikit provokatif untuk mengatakan, jangan sampai kerisauan guru saya dan Peter Fleming, pada akhirnya menyebabkan Robohnya Universitas Kita, Interprestasi “Duka Dosen” dalam tulisan ini adalah karena sudah semakin sirnanya roh kebebasan akademik dalam kampus. Wassalam
Pekanbaru , 25 Juli 2023