Diskusi Hukum Kritis

Diskusi Hukum Kritis

PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM -Acara ini diprakarsai oleh obrolan-obrolan singkat antara Dedy Felandry, SH., LL.M. Direktur Empat Pilar Law Firm yang berkantor di Jalan Arifin Ahmad Pekanbaru dengan rekannya Syahrul Ramadhan, SH. Dirjen Penelitian dan Pengembangan Hukum di kantor yang sama mengenai keresahan mereka akan minimnya kajian-kajian hukum kritis di bumi lancang kuning ini. Singkat cerita ditunjuklah M. Iqbal Taufik Nasution, SH., seorang advokat muda yang bersemangat akan hal-hal yang berbau kajian hukum kritis  untuk menjadi Direktur Forum Kajian Hukum Kritis, yang mana dalam setiap diskusi didapuk untuk menjadi moderator. Diskusi ini adalah diskusi perdana yang mengundang Pembicara Ferdian Rinaldi, SH., MH seorang akademisi yang konsen dalam bidang hukum pidana, dan mengundang elemen mahasiswa yang dinilai kritis terhadap pemikiran hukum, yaitu : Gilang Kurniawan, Ayu Yarmila, dan Thessa Indriyanti Hutabarat.

Pembicara memulai diskusi tentang adanya perbuatan pidana dalam body shaming atau penghinaan secara fisik. Aturan ini sedang hangat-hangatnya. Termasuk juga didalamnya tentang ujaran kebencian, penyebaran berita hoax, dan sara. Pembicara menjelaskan lebih lanjut harus terpenuhi minimal 2 unsurnya yaitu menimbulkan kerugian harkat dan martabat diri seseorang, dan dilakukan dimuka umum, Pasal 27 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan tentang itu. “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Sekarang sudah direvisi, sebelum direvisi ancaman hukumannya 6 (enam) tahun denda 1 milyar, setelah direvisi hukumannya menjadi 4 (empat) tahun denda 750 juta. UU ini tetap mengacu pada KUHP Pasal 310 tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Dan Pelakunya tidak bisa ditahan karena ancaman pidananya dibawah 5 tahun.

Refleksi ke kasus Baiq Nuril dilihat dari sudut pandang keadilan ini telah mencederai keadilan, menurut Pembicara. Tetapi dari segi kepastian hukum ini sesuatu yang baik, apa sebab? Menurut Pembicara opini-opini yang viral beredar tentang Baiq Nuril telah menjadi Tersangka padahal sebelumnya adalah Korban. Bagaimana mungkin hukum di Indonesia bisa begini? Dijelaskan oleh Pembicara menurutnya Baiq Nuril menjadi Korban dan Tersangka dalam dua kasus yang berbeda, yang satu Korban pelecehan seksual secara verbal, dan yang satunya Tersangka dalam penyebaran rekaman yang mengandung konten asusila, ranah UU ITE. Proses hukumnya menyatakan bahwa unsur terpenuhi dan sudah P21. Di Pengadilan Negeri Mataram hakim memvonis bebas, lalu Jaksa Kasasi. Mahkamah Agung memvonis bersalah 6 bulan denda 500 juta diganti 3 bulan kurungan penjara. Menurut Kang Ferdi sapaan akrab Pembicara, pada hari rabu yang lalu eksekusi sudah harus dijalani oleh Baiq Nuril, namun sampai saat ini Baiq Nuril tidak ditahan, artinya ada keraguan juga dari pihak penegak hukum setelah sebelumnya muncul advokasi-advokasi dari hampir seluruh Indonesia menyatakan Save Baiq Nuril.

Lalu Baiq Nuril yang didampingi 14 pengacaranya melaporkan atasannya Haji Muslim bahwa telah melakukan pelecehan seksual. Bisa dijerat dengan Pasal 294 KUHP tentang atasan dan bawahan. Dan perlu diingat bahwa pelecehan seksualnya secara verbal, apakah ini memenuhi unsur atau tidak? Ini perlu telaah yang dalam kata Pembicara.

Pengacara yang 14 orang tersebut berasal dari kalangan aktivis perempuan merencanakan akan mengajukan upaya hukum grasi dan amnesti, hal ini sangat lucu menurut Pembicara dan akan sia-sia. Grasi itu diberikan kepada yang sudah jelas-jelas bersalah, padahal Nuril Baiq belum dieksekusi, dan yang kedua adalah grasi diberikan kepada terpidana yang dihukum minimal 2 tahun penjara, sedangkan Nuril Baiq hanya 6 bulan. Sedangkan amnesty atau pengampunan itu ditujukan kepada pelaku “crime againts state”, sangat jelas tidak termasuk kasus Nuril Baiq. Upaya hukum yang masuk akal adalah Peninjauan Kembali. Tetapi tidak menghalangi eksekusi. Dan syarat Peninjauan Kembali harus ada novum.

Kasus ini terendus kental unsur politiknya, dan politik sekarang disetir oleh medsos. Menurut Pembicara, Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir dalam hal penegakan hukum di negeri ini harus bijak mengambil langkah dalam kasus ini karena jika tidak hati-hati akan berpotensi menimbulkan gelombang perlawanan yang semakin kuat, dan juga tidak boleh dibiarkan semakin lama, artinya harus cepat juga diambil tindakan apakah dieksekusi atau tidak tentunya dengan pertimbangan yang matang. Menurut Pembicara pemerintah dan Presiden tidak boleh intervensi dalam kasus ini, dan itu yang terbaik, biarkan proses hukum berjalan.

Arie Novriadi, SH. Seorang praktisi hukum dan juga pengamat politik di Pekanbaru menambahkan dalam forum tersebut bahwa secara faktanya di kehidupan nyata, UU ITE ini telah dimanfaatkan oleh oknum masyarakat bekerjasama dengan oknum penegak hukum (polisi) untuk meraup keuntungan, sebab ada peluang mengenai tidak jelasnya parameter tentang perbuatan tidak menyenangkan didalam UU tersebut. Arie memberikan 2 contoh kasus yang secara implisit telah memanfaatkan UU tersebut untuk meraup keuntungan materi, jika ingin berdamai antara pelapor dengan terlapor harus ada “uang damainya”.

Pembicara kemudian menganalisis bahwa UU ITE ini menjadi polemik di DPR sebagai lembaga yang membuat regulasi, ada yang tetap mempertahankannya dan ada kelompok yang ingin menghapuskannya. Menurut pembicara fraksi yang tetap mempertahankan UU ini tetap dipertahankan berasal dari fraksi yang mendukung pemerintah yang mana bertujuan untuk melindungi elit-elit politik yang sedang berkuasa dari ujaran kebencian dan berita hoax, terutama di media sosial. Namun dalam perkembangannya UU ini justru banyak dimanfaatkan oleh orang dari kalangan tak terbatas, artinya semua orang yang paham tentang “peluang” dalam UU ini bisa menggunakannya.

Menurut Arie lebih lanjut kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kita tidak pernah belajar cara berkomunikasi sampai tuntas. Kritik kepada pemerintah bukan tidak boleh, malah harus itu tetapi dengan cara yang benar. Nah cara berkomunikasi masyarakat kita ini tidak sampai khatam belajarnya, sehingga apa yang kita lihat di media sosial hari ini sudah membuktikan itu. Makanya Fakultas Hukum UII jogjakarta pada tahun 2006-2007 itu kembali mewajibkan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah Bahasa Hukum yang sebelumnya sempat dihapus, hal ini dikarenakan adanya temuan sarjana-sarjana hukum UII tidak bisa membuat pranata kata yang tepat dalam menulis penulisan hukum, maka diberlakukanlah kembali mata kuliah tersebut.

Diskusi ini ditutup dengan nasehat pembicara bahwa kita harus menjadi be smart person (orang yang pintar). Bijak menggunakan media sosial karna dia bisa menjadi silet bermata dua, tajam disemua sisi.

Banyak kelemahan di UU ini karna multi tafsir, pasalnya pasal karet kata pakar hukum pidana, terutama di Pasal 27 tadi.

Wejangan penutup Pembicara kepada mahasiswa disampaikan baik yang ada di forum tersebut maupun secara luas kepada seluruh mahasiswa fakultas hukum bahwasanya permasalahan hukum kedepan pasti lebih kompleks lagi dan hukum dituntut harus progresif, sebab “dimana ada masyarakat disitu ada kejahatan”, begitu Pembicara menutup statementnya dengan mengutip kata-kata dari Guru Besar Pidana Universitas Padjadjaran Prof Romli Atmasasmitha. Kemudian Iqbal sebagai moderator menutup acara dan diakhiri dengan sesi foto-foto. Acara diskusi ini berlangsung santai dengan minum kopi dan menyantap beberapa makanan kecil tetapi banyak ilmu yang bisa kita dapatkan dari forum ini. Semoga Forum ini akan lebih baik lagi kedepannya, karena pasti bakal ada pembahasan-pembahasan lain dalam diskusi ini dengan tema-tema yang lebih menarik. Salam.

 

Penulis: DEDY FELANDRY, SH., LL.M.

         

Berita Lainnya

Index