Di Pedekik kami pernah berdarah
dari ujung kaki ke kepala
di baju kerja hingga sorban kiayai
sembilan januari tahun Sembilan belas empat Sembilan,
dalam syiar takbir keagungan Tuhan.
Budak-budak bersorak kegirangan
seraya bermain galah panjang dan gasing.
jejak magrib membilang
mereka mandi dan pergi mengaji alquraan
juga ilmu persilatan.
Menikmati sejuknya kemerdekaan.
Para Kiyai, Ulama dan Santri
hari-hari menenun kasih
dalam butiran-butiran tasbih
menjemput rindu sang ilahi.
Tiba-tiba ada yang mengusik kedamaian
agresi militer menebar ketakutan.
Anak-anak bermain dengan bimbang,
Ibu-ibu menoreh getah dengan resah,
malam – malam tanpa pelita
pagi hari diselimuti kabut ngeri.
Di pedekik, kami tak takut berdarah.
Dalam deru angin malam
gema azan dari surau-surau
menukik gelora ke jiwa-jiwa
“Kita telah merdeka” katamu.
Maka!
beribu engah
beribu peluru
beribu dentum
adalah irama gelora kemerdekaan.
Walau berdarah
walau berlapah resah
merdeka adalah marwah!
dalam takbir, Allahuakbar!
Bandul, Januari 2019