Mengenal Omnibus Law Lebih Dekat dan Membaca Arah Politik Hukum ke Depan

Mengenal Omnibus Law Lebih Dekat dan Membaca Arah Politik Hukum ke Depan
Penulis : Dedy Felandry, S.H., LL.M. – Dosen Fakultas Hukum Unilak.

Omnibus Law yang sering kita dengar akhir-akhir ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah diundangkan dan tercatat di Lembaran Negara Republik Indonesia dan sudah diberlakukan sejak November 2020. Kelahiran omnibus law ini telah memancing reaksi pro dan kontra sejak mulai diusulkan di DPR RI pada bulan Januari 2020 dalam pembahasannya sampai dengan disahkannya omnibus law ini. Berbagai kalangan masyarakat bereaksi. Tidak tanggung-tanggung organisasi buruh demo besar-besaran secara nasional diberbagai tempat dan juga di ibukota. Para pakar-pakar hukum dan elit-elit politik, baik yang oposisi maupun yang berada di lingkaran istana turut mengeluarkan pendapatnya. Pengamat politik juga berpendapat. Pengacara, akademisi, tidak ketinggalan mempelajari dan memberikan tanggapannya terhadap fenomena omnibus law ini. Pengusaha dan pelaku usaha berbagai tingkat ekonominya berkomentar tentang isi dan masa depan omnibus law. Namun, sebelum kita membicarakannya lebih lanjut, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu apa yang mau kita bicarakan ini. Kalau dalam bahasa logat Melayu Riau “ape bendanye ni?”.

Secara terminologi omnibus berasal dari bahasa latin yang berarti untuk semuanya. Dalam konteks hukum, omnibus law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal. Di Indonesia produk hukum ini merupakan yang pertama sejak negara ini merdeka dan berdaulat. Di Amerika dan negara-negara sistem hukum common law telah banyak digunakan bahkan subjek, issue, dan program undang-undang tersebut tidak berkaitan satu dengan lainnya. Mereka menyebutnya omnibus bill Vietnam dan Filiphina adalah contoh negara tetangga Indonesia yang telah menggunakan omnibus law dalam tata peraturan hukum dinegaranya. Omnibus law di Indonesia mencakup 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang dicoba disederhanakan sehingga jadi payung hukum yang bisa fleksibel menjawab perubahan di sektor tenaga kerja dan investasi. Omnibus law atau UU Cipta Kerja ini terdiri 11 kluster, yakni:

  1. Penyederhanaan Perizinan, mencakup 522 UU terdiri dari 770 Pasal.
  2. Persyaratan Investasi, mencakup 13 UU terdiri dari 24 Pasal.
  3. Ketenagakerjaan, mencakup 3 UU terdiri dari 55 Pasal.
  4. Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, mencakup 3 UU, terdiri dari 6 Pasal.
  5. Kemudahan Berusaha, mencakup 9 UU terdiri dari 23 Pasal.
  6. Dukungan Riset & Inovasi mencakup 2 UU, terdiri dari 2 Pasal.
  7. Administrasi Pemerintahan ada 2 UU sebanyak 14 Pasal.
  8. Pengenaan Sanksi mencakup 49 UU mencakup 295 Pasal.
  9. Pengadaan Lahan, mencakup 2 UU, sebanyak 11 Pasal.
  10. Investasi dan Proyek Pemerintah, mencakup 2 UU terdiri dari 2 Pasal.
  11. Kawasan Ekonomi, mencakup 5 UU, sebanyak 38 Pasal.

Omnibus law atau UU Cipta Kerja merupakan upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. UU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata. Omnibus law artinya aturan yang dibuat lintas sektor. Ini membuat pengesahan omnibus law oleh DPR bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus. Niat baik pemerintah menciptakan UU ini adalah untuk mendorong pertumbuhan kinerja industri dalam negeri di semua sektor. Omnibus law dibangun atas dasar deregulasi, yaitu pemangkasan pencabutan atau pengurangan regulasi pemerintah dan biasanya memang aturan-aturan itu adalah di sektor ekonomi dan birokrasi. Dengan baik dan terjaminnya birokrasi di Indonesia diharapkan investor akan tertarik untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Namun, hal yang patut dijadikan perhatian oleh pemerintah adalah harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara utuh. Dalam artian antara satu perundang-undangan dengan perundang-undangan lainnya tidak boleh bentrok atau tidak akur, harus patuh sesuai hierarki peraturan perundang-undangan. Baik itu peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun secara horizontal. Professor Sulistyowati dari Universitas Indonesia mengatakan “omnibus law diperuntukkan untuk mengundang investasi masuk, namun jangan dilupakan omnibus law bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi yang terpenting untuk generasi mendatang, sehingga three pillars sustainable development, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan harus menjadi dasarnya”.

Disisi lain, UU Cipta Kerja dinilai sebagian orang akan mengembalikan sentralisasi kebijakan ke pemerintah pusat. Hal ini tentunya harus dipelajari betul, dari sudut pandang mana menilainya? Harus ditelaah betul, jika benar tentunya akan menciderai semangat reformasi dalam UU Otonomi Daerah, namun jika tidak benar maka kita harus mendukung pelaksanaan undang-undang ini. Sepanjang yang Penulis ketahui urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah antara lain: 1) politik luar negeri; 2) keamanan; 3) yustisi; 4) moneter dan fiskal nasional; dan 5) agama. Selebihnya adalah kewenangan pemerintah daerah.

Ada lagi sebagian orang yang kontra menyatakan bahwa elit pengusaha menarasikan buruh sebagai “momok” dalam investasi. Kenyataannya memang harus diakui buruh di negara Indonesia murah dan mau kerja apa saja. Lapangan kerja yang terbatas menjadi penyebab hal tersebut. Banyak pekerjaan diberikan kepada relasi keluarga tanpa melihat kemampuan dalam menunaikan pekerjaan tersebut. Demikian potret singkat negara Indonesia. Pendidikan rendah menyebabkan kualitas manusia produktif kerja rendah. Lalu bagaimana mensikapi ini? Ini memang PR kita bersama. Beasiswa pemerintah ataupun swasta telah banyak membantu masyarakat kurang mampu dalam menempuh pendidikan formalnya, namun itu belum cukup dibandingkan rasio penduduk Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan yang layak. Ketidaklayakan pendidikan penduduk berbanding lurus dengan pekerjaan informal yang banyak dilakukan penduduk Indonesia. Tentu saja budaya yang berakar dari keluarga penting ditekankan akan pentingnya pendidikan. Pendidikan adalah pembangunan peradaban sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan. Itulah yang membedakan manusia dengan binatang, yaitu adanya peningkatan atau kemajuan dalam pola kehidupan dan penghidupannya. Selanjutnya, adalah masalah penegakan hukum yang jelek, tidak transparan, dan penegak hukum yang bermental korup. Inilah sebenarnya masalah utama dalam investasi, terutama bagi investor. Investor hanya butuh kepastian hukum dalam perlindungan investasinya di suatu negara. Niat baik pemerintah dalam mendorong iklim investasi yang sehat seiring dengan niat pemerintah menjadikan UU Cipta Kerja ini sebagai obat bagi pemulihan ekonomi yang diterpa pandemic covid-19 akan tergendala jika penegakan hukum bermasalah. Masalah utama lainnya yang jadi penyebab rendahnya daya saing Indonesia, yakni terkait tingginya ongkos logistik dan buruknya konektivitas.

Kemudian setelah kita mengenal omnibus law dari sudut pandang hukum, hal yang perlu kita pahami selanjutnya adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang dilahirkan tidak pernah lepas dari aspek politik. Politik dalam artian singkat adalah arah yang akan dituju suatu pemerintahan yang berkuasa, bisa juga dirangkum dalam visi misi pemerintahan. Visi misi itu kemudian diejawantahkan kedalam aturan hukum. Maka dalam ilmu hukum ada dikenal ilmu politik hukum. Politik hukum menurut Profesor Mahfud MD adalah “legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”. Setelah kita mengetahui omnibus law dari sudut pandang hukum dan sudut pandang politik, selanjutnya kita bisa menyimpulkan dengan mengaitkan kedua pandangan tersebut mengenai arah politik hukum omnibus law.

Presiden Joko Widodo gemar melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan dalam bentuk fisik. Dapat kita lihat dalam program pembangunan strategis nasionalnya. Salah satu contohnya adalah pembangunan jalan tol trans Sumatera untuk mengkoneksikan pulau Sumatera mulai dari Provinsi Aceh sampai ke Provinsi Lampung. Bahkan, Presiden Joko Widodo bermaksud menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera. Presiden Joko Widodo dalam pemerintahannya membuka keran investasi sebesar-besarnya. Omnibus law ini memudahkan investasi, dapat dilihat dari semangatnya yang tertuang di dalam klaster tentang perizinan, walaupun mendapat kecaman dari pakar akan mengganggu otonomi daerah terkait tumpang tindih kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, namun satu hal yang menjadi penekanan adalah UU Cipta Kerja melakukan pemangkasan birokrasi perizinan yang ribet dan tentu saja dalam praktiknya selama ini banyak sekali pungutan liarnya. Maka akhir dari tulisan ini, kesimpulan menurut Penulis adalah Omnibus Law atau UU Cipta Kerja ini terlepas dari pro dan kontranya harus disikapi dengan akal yang sehat dan hati yang jernih. Jika tidak sesuai dengan UUD 1945 dapat menempuh jalur judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Namun, jika percaya dengan niat baik pemerintah untuk kepentingan bangsa Indonesia jangka panjang, maka dengan dukungan penuh pelaksanaan undang-undang ini harus dilakukan.

Berita Lainnya

Index