Sengit! Stafsus Sri Mulyani Vs Staf Pribadi SBY Sahut-sahutan soal Utang

Sengit! Stafsus Sri Mulyani Vs Staf Pribadi SBY Sahut-sahutan soal Utang

RIAUREVIEW.COM --Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyingung utang di era Pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal itu membuat Staf Pribadi SBY, Ossy Dermawan buka suara.

Keduanya menyampaikan argumentasi melalui akun Twitter. Hal itu diawali oleh Prastowo yang menjelaskan utang pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), meliputi tata kelola, alasan penarikan, pemanfaatan, dan pertanggungjawabannya.
 
Prastowo menjelaskan hingga akhir Februari 2022, posisi utang pemerintah Rp 7.014,6 triliun atau 40,17% PDB.
 
"Posisi aman karena jauh di bawah batas UU 17/2003 yakni 60%. Terlebih saat ini dominasi kepemilikan investor domestik meningkat sehingga ekonomi kita lebih tahan thd dinamika global dan domestik," cuitnya dalam akun Twitter @prastow dikutip detikcom, Jumat (8/4/2022).
 
Dijelaskannya, total nominal utang pemerintah pusat dari tahun ke tahun memang cenderung meningkat. Namun, dia mengatakan pengelolaan utang juga terus diperbaiki dari waktu ke waktu, seperti komposisi SBN yang jauh lebih besar daripada porsi pinjaman agar pengelolaan utang menjadi lebih sehat.
 
Kebijakan utang itu, lanjut Prastowo, berkesinambungan. Dari 2015 hingga 2019, proporsi utang yang ditarik oleh pemerintah menunjukkan tren menurun. Jumlahnya meningkat drastis pada 2020 karena pandemi.
 
Namun, dia mengklaim penambahan utang tersebut masih tergolong moderat ketimbang negara lain.
 
Setidaknya sejak 2011 kita ada pd posisi defisit fiskal. Besaran defisit terus diupayakan ditekan dan konsisten di bawah 3%. Namun covid memaksa kita memperlebar defisit dan bertahap kita kembali ke posisi di bawah 3% dg efisiensi belanja dan optimalisasi pendapatan," jelasnya.
 
Barulah kemudian Prastowo menyinggung pemerintah SBY. Apa kata Stafsus Menteri Keuangan Sri Mulyani itu?
 
"Utang pemerintah memang mengalami peningkatan secara nominal dari era awal Reformasi, pemerintahan SBY, lalu masa pemerintahan Jokowi. Kelihatan sekali penambahan signifikan terjadi saat pandemi. Dari t
 
otal Rp 4.247 T (Okt 2014-Des 2021), Rp 2.122 T atau 50% ditarik 2020-21," sebut Prastowo.
 
Kemudian cuitan tersebut ditimpali oleh Ossy. Lantaran twit Prastowo dirasa menyangkut perbandingan dengan masa pemerintahan SBY, dia merasa perlu untuk memberikan tanggapan sejauh yang dia ketahui.
 
"Yg disampaikan mas @prastow utk melihat peningkatan utang dlm bentuk nominal saja, tentu ini merupakan perbandingan yang kurang "adil"," kata Ossy melalui akun Twitter @OssyDermawan.
 
Dia menyampaikan kurang "adil" karena nominal utang yang dipaparkan setiap tahunnya akan terpengaruh oleh inflasi.
 
Artinya, lanjut Ossy, utang Rp 1 juta pada tahun 2022 tidak dapat diperbandingkan dengan utang Rp 1 juta pada tahun 2005 dulu. Hal itu disebabkan daya beli pada tahun tersebut juga pasti berbeda.
 
Untuk menghilangkan efek inflasi, dia jelaskan, nilai utang harus dinyatakan dalam bentuk relatif. Caranya, dengan membagi besaran utang di tahun tertentu dengan suatu variabel lain di tahun yang sama misalnya GDP. Sehingga, terbentuklah Debt-to-GDP ratio.
 
"Satuan pengukuran Debt adalah Rp, satuan pengukuran GDP juga Rp, shg rasio tsb (Rp dibagi Rp) merupakan indeks yg sdh tdk dipengaruhi inflasi," terangnya.
 
"Selain tidak dipengaruhi inflasi, rasio tsb juga mengandung makna yaitu: utk menghasilkan Rp 1 GDP, berapa Rp Debt yg digunakan," sambung Ossy.
 
Hasilnya, dia menjelaskan Debt-to-GDP ratio berhasil diturunkan oleh SBY dari sekitar 56% pada tahun 2004 menjadi sekitar 24% pada tahun 2014.
 
"Kalau skrg Debt-to-GDP ratio tsb naik lagi menjd sktr 40%, silahkan rakyat menilainya," ujarnya.
 
Dengan rasio utang terhadap GDP yang makin dikurangi di era SBY, lanjut Ossy mengindikasikan relatif kecilnya utang untuk menghasilkan GDP.
 
Relatif kecilnya utang, menurut dia berarti beban fiskal pemerintah untuk membayar bunga dan pokok utang tersebut menjadi lebih kecil. Sehingga, besaran fiskal yang tersedia untuk mendorong ekonomi menjadi lebih besar.
"Itulah sebabnya (di antara bbrp penyebab lain) mengapa laju pertumbuhan ekonomi SBY lebih tinggi dibanding Jokowi. Karena, proporsi fiskal utk membangun relatif lbh besar, shg hasilnya (laju pertumbuhan ekonomi alias GDP growth) di masa SBY lbh tinggi dibandingkan saat ini," jelas Ossy.
 
"Padahal Menkeunya sama yaitu Bu SMI, lalu mengapa kinerja ekonominya berbeda Jawabnya, to some extent, leadership matters. Kepemimpinan SBY menyebabkan semua sektor bergerak (bukan 1 atau 2 sektor saja spt infrastruktur). Resultantenya, struktur perekonomian jd semakin kokoh," sambungnya.
 
Dia menjelaskan, jika ada yang menyampaikan bahwa perekonomian Indonesia saat ini menurun karena COVID-19, mungkin ada benarnya. Namun, data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum pandemi pun sudah memiliki trend yang menurun atau paling tidak stagnan.
 
"Sbnrnya saya malas membandingkan antar 1 pemimpin dgn pemimpin lainnya. Karena tiap pemimpin pst punya cara membangun negaranya. Tapi menjd pertanggungjawaban moral saya, utk meluruskan apa yg disampaikan ke publik terkait SBY," tutupnya.
 
Prastowo pun menanggapi argumen Ossy. Prastowo mengucapkan terima kasih akan hal tersebut.
 
"Saya rasa ini baik buat publik supaya informasi dan perspektif semakin lengkap. Itu kenapa dalam banyak kesempatan kami meletakkan isu utang ini dlm continuum. Tiap era punya opportunity dan tantangan yg berbeda," ujar Prastowo.
 
"Terima kasih dan sukses selalu mas," saut Ossy.
 
 
 
Sumber: [detik.com]

Berita Lainnya

Index