Langkah Hukum Debitur yang Mengalami Tarik Paksa Kendaraan Kesayangannya oleh Kreditur

Langkah Hukum Debitur yang Mengalami Tarik Paksa Kendaraan Kesayangannya oleh Kreditur
Sarwo Saddam Matondang

PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM - Dalam ilmu fisika ada suatu rumus yang menyatakan bahwa gaya suatu benda dipengaruhi oleh berat. Bila kemudian rumus ini dianalogikan dengan kehidupan, maka jika hidup anda berat, dapat dikatakan bahwa sudah tentu anda kebanyakan gaya. Hidup penuh dengan keinginan yang diwarnai dengan gaya, untuk memenuhi hal tersebut tentu seseorang mesti rela menyisihkan lebih dari sebahagian penghasilannya untuk membayar cicilan benda-benda kesayangannya.

 

Dalam menjalani kehidupan, masyarakat tidak mungkin mengelak dari kebutuhan pokok yaitu kebutuhan sandang, pangan, papan dan pekerjaan. Bila kebutuhan pokok tersebut terpenuhi maka sangat penting pula untuk memenuhi kebutuhan sekunder seperti pendidikan, pariwisata, rekreasi dan lain sebagainya. Kemudian bila kedua kebutuhan tersebut telah terpenuhi pula maka sepatutnya pula lah masyarakat memenuhi kebutuhan tersiernya seperti mobil, motor, komputer, handphone dan lain sebagainya.

 

Di era yang modern seperti sekarang, seiring dengan meningkatnya taraf dan gaya hidup masyarakat, ternyata hal tersebut telah mendorong sebagian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersiernya yang salah satunya adalah keinginan untuk memiliki kenderaan bermotor. Menjamurnya perusahaan pembiayaan di Indonesia kian mempermudah masyarakat untuk membeli kenderaan bermotor dengan cara non tunai yaitu masyarakat dapat membeli kenderaan impiannya dengan cara mengangsur atau mencicilnya pada suatu perusahaan pembiayaan/finance dengan syarat pembeli/debitur harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh perusahaan pembiayaan tersebut.

 

Menurut Pasal 1 huruf b Permenkeu No. 84/PMK.12/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan menyebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha diluar bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan.

 

Di Indonesia sendiri perusahaan pembiayaan sudah ada sejak tahun 1974 yang dalam perkembangannya hingga saat ini, banyak perusahaan pembiayaan yang bergerak sebagai Lembaga Keuangan Non Bank memposisikan dirinya sebagai Lembaga Keungan multi finance. Aritnya adalah selain berposisi sebagai Lembaga leasing, perusahaan pembiayaan tersebut juga bertindak sebagai Lembaga Pembiayaan/ finance. Agar lebih gampang dicerna,perusahaan tersebut selain membiayai pembelian mesin-mesin pabrik dan alat-alat berat untuk suatu badan usaha yang sifatnya produktif, perusahaan tersebut juga membiayai pembelian kenderaan pribadi yang sifatnya konsumtif bahkan juga peralatan elektronik rumah tangga untuk orang pribadi/ perorangan.

 

Ada banyak alasan mengapa orang mengajukan pembelian kenderaan bermotor dengan cara non tunai (kredit), salah satunya adalah dikarenakan keterbatasan dana untuk membelinya secara tunai. Untuk mendapatkan kendaraan yang dibeli secara non tunai, nasabah/ debitur harus memenuhi aturan-aturan yang ditetapkan oleh perusahaan pembiayaan terlebih dahulu.

 

Dengan demikian barulah kedua belah pihak (kreditur & debitur) dapat melakukan perjanjian kredit yang kemudian objeknya dibebankan dengan jaminan fidusia (perjanjian accessoir) sebagaimana diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Artinya adalah fidusia merupakan suatu proses mengalihkan hak milik atas suatu barang dengan dasar kepercayaan dari perusahaan pembiayaan/ Finance terhadap debitur/konsumen yang mana barang tersebut tetap dalam penguasaan si perusahaan pembiayaan/ Finance. Hal ini diperlukan untuk melindungi masing-masing hak dan kewajiban dari kedua belah pihak apa bila dikemudian hari debitur cedera janji atau istilah sehari-harinya nunggak kredit.

 

Pada prinsipnya, fidusia dimasukkan dalam perjanjian kredit antara kedua belah pihak. Barang yang menjadi objek kredit dibebankan dengan jaminan fidusia. Pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 21 No. 29/POJK/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan menyebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan dengan pembebanan jaminan fidusia, wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada kantor pendaftaran fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia. Pasal 5 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia menyebutkan bahwa Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Artinya adalah pihak perusahaan pembiayaan (Finance) sebagai penerima fidusia wajib membuat akta jaminan fidusia di notaris.

 

Kemudian akta jaminan fidusia tersebut didaftarkan oleh penerima fidusia (perusahaan/finance) pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal tersebut senada dengan Pasal 11 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia. Adapun tujuannya ialah agar penerima fidusia memegang sertifikat jaminan fidusia yang dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai wujud dari kepastian hukum penerima kuasa dalam melakukan eksekusi objek jaminan fidusia. Sedikit diulas, UU Fidusia seyogyanya untuk mempermudah perusahaan pembiayaan/finance mengeksekusi benda yang dijadikan objek jaminan fidusia apabila debitur/ nasabah cidera janji atau nunggak kredit.

 

Hal tersebut ditegaskan oleh Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi perjanjian fidusia ini melindungi aset penerima fidusia yang dalam hal ini adalah perusahaan pembiayaan/finance. Artinya pihak perusahaan dapat serta merta mengeksekusi objek fidusia dan tidak perlu lagi melalui meja hijau asalkan telah memenuhi persyaratan yang diberikan oleh Undang-undang. Namun demikian, pada prakteknya masih banyak ditemui perjanjian kredit antara perusahaan pembiayaan/ finance dengan debitur yang objeknya tidak dibebankan dengan jaminan fidusia.

 

Hal ini diduga karena lambatnya proses penerbitan sertifikat jaminan fidusia yang dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia. Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan menyebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan. Dari uraian singkat diatas, apabila debitur menghadapi situasi dimana pihak perusahaan pembiayaan/ finance yang biasanya diwakili oleh oknum debt collector yang akan menarik/menyita kenderaan kesayangannya maka sebagai debitur yang cerdas, haruslah mengetahui apakah debt collector tersebut sudah mengantongi sertifikat jaminan fidusia. Karena apabila debt collector tersebut tidak mengantonginya maka upaya penarikan/ penyitaan tersebut adalah suatu tindakan yang illegal dan bertentangan dengan hukum. Pasal 3 Permenkeu No. 130/PMK.010/2012 menegaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kenderaan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan meyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan. Kemudian Pasal 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 29/POJK.05/2014 juga menegaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan eksekusi benda jaminan apabila kantor pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.

 

Namun apabila oknum debt collector tetap memaksa dan menyita objek fidusia secara paksa, hal tersebut merupakan suatu tindak pidana apabila tindakan tersebut dilakukan serta diikuti dengan kekerasan, baik itu di jalan maupun dirumah. Hal tersebut merupakan suatu tindak pidana Perampasan. Debitur dapat melaporkan kejadian yang dialaminya kepada Kepolisian setempat. Pihak debt collector yang mengambil paksa objek jaminan fidusia tanpa mengantongi sertifikat jaminan fidusia dapat dijerat oleh pihak Kepolisian dengan Pasal 368 atau Pasal 365 ayat (2),(3),(4) KUHP dan beberapa Pasal lainnya sesuai dengan peristiwa pidananya. Kemudian secara administratif debitur juga dapat melaporkan kejadian tersebut kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Lembaga Perlindungan Konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Otoritas Jasa Keuangan RI, guna mendapati tanggungjawab hukum dari pihak perusahaan pembiayaan/finance itu sendiri.

Penulis : Sarwo Saddam Matondang, S.H., M.H. (Advokat/ Pengacara, Praktisi Hukum)

Berita Lainnya

Index