Problematika Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembunuhan dengan Motif Pembelaan Diri di Indonesia

Problematika Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembunuhan dengan Motif  Pembelaan Diri di Indonesia
Tatang Suprayoga, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning

Baru-baru ini public dihebohkan dengan kemunculan berita mengenai Baku-Tembak POLRI VS POLRI. Berdasarkan statement dari Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan seperti yang dikutip dari JPNN, Selasa (12/7, Peristiwa itu terjadi pada hari Jumat, 8 Juni 2022 di rumah dinas KADIV Propam Irjen Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Penembakan terjadi antara Brigadir J yang merupakan Ajudan Irjen Ferdy Sambo dengan anggota berinisial Bharada E yang juga merupakan Ajudan IRJEN Ferdy Sambo. Dalam peristiwa tersebut mengakibatkan Seorang anggota polisi berinisial Brigadir J meninggal dunia.

Namun yang menjadi problematika hukum dalam kasus ini adalah kendatipun Kapolres Jakarta Selatan sudah mengeluarkan statement bahwa Bharada E ialah orang yang melakukan penembakan, namun hingga saat ini Kapolres Jakarta Selatan belum menetapkan Bharada E sebagai tersangka dalam kasus ini. Hal tersebut dikarenakan Bharada E saat melakukan penembakan berniat untuk membela diri.

Justru hal tersebut semakin menandakan bahwa penegakkan hukum di Indonesia menisyartakan Tajam keatas dan tumpul ke bawah. Seharusnya meskipun dalam proses penyelidikan awal Bharada E telah mengaku melakukan penembakan karena alasan pembelaan diri tidak menutup kemungkinan proses hukum harus tetap berjalan. Seharusnya Bharada E diproses secara hukum yakni mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pada Vonis.

Dalam beberapa tahun terakhir banyak bermunculan berita mengenai tindak pidana pembunuhan dengan dalih pembelaan diri dan keseluruhan kasus pembunuhan tersebut tidak menutup proses hukum yang melekat padanya. Bukan hanya proses hukum saja, melainkan dalam beberapa kasus ini Pelaku pembunuhan dengan dalih pembelaan diri tetap dinyatakan bersalah oleh Pengadilan.

Sebelum masuk kepada contoh kasus pembunuhan dengan motif pembelaan diri, maka perlu sebelumnya mengetahui bentuk pembelaan diri menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dasar hukum pembelaan diri termaktub didalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang buyinya adalah sebagai berikut :

1.Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

2.Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Setelah mengetahui dasar hukum pembelaan diri, maka kita kaitkan dengan contoh kasus Pembunuhan dengan motif membela diri sendiri yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir seperti :

Kasus Pembelaan diri di Sumatera Barat-Padang

Peristiwa mengenaskan tersebut terjadi di Teluk Bayur Padang Sumatera barat. Menurut Kepala Biro Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan Pusat APSI, Partahi Sidabutar yang dikutip dari Tribun Padang.com, Jumat, 30 Oktober 2020) menyatakan bahwa benar 2 (dua) Security bernama Efendi Putra dan Eko Sulistiyono divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Padang yang mana masing-masing divonis 1 tahun 6 bulan dan 4 tahun 6 bulan penjara. Kejadian tersebut berawal Ketika 2 (dua) security tersebut sedang bertugas menajga asset negara di Pelabuhan Teluk Bayur. Saat itu mereka menemukan ada sosok orang yang tak dikenal/korban menyatroni Pelabuhan tersebut. Lalu mereka meminta korban untuk pergi dari Pelabuhan.bukannya pergi, justru mengeluarkan senjata tajam karena merasa terancam maka Effendi dan Eko pun melakukan perlawanan yang menyebabkan korban kehilangan nyawa. Namun, kendatipun begitu, hakim Pengadilan Negeri Padang tetap menyatakan kedua divonis hukuman penjara karena dianggap telah menghilangkan nyawa seseorang dan menolak pembelaan dari Penasehat Hukum Terdakwa.

Kasus Pembelaan diri di Malang

Perisitiwa tersebut di Alami oleh ZA (17) seorang pelajar Malang divonis bersalah melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) dan dihukum pidana pembinaan selama 1 tahun oleh Pengadilan Negeri Kepanjen sesuai Undang-Undang Peradilan Anak. ZA menurut hakim terbukti menusuk sehingga menghilangkan nyawa seorang begal, Misnan (35). Kejadian tersebut bermula saat Misnan dan komplotannya menghadang ZA yang sedang berboncengan dengan teman perempuannya (Detiknews, Kamis 30 Jan 2020). Komplotan ini kemudian meminta paksa barang-barang berharga dan mengancam memperkosa teman ZA. Demi membela diri dan temannya itu, ZA mengambil pisau di jok motornya dan terlibat berkelahian, hingga akhirnya ZA menusuk Misnan di bagian dada. Anggota komplotan begal lainnya kemudian kabur dan esoknya Misnan ditemukan tewas.

Kasus Pembelaan diri di Bekasi

Pembelaan dengan kasus serupa juga terjadi di Bekasi pada 2018 silam. Pada kasus ini, Muhammad Irfan Bahri (19) juga terlibat duel dengan dua pembegal (AS, IY), yang berupaya merebut telepon genggam miliknya dan temannya serta membacok Irfan dengan celurit. Namun, duel itu dimenangkan Irfan, hingga akhirnya satu pembegal terluka parah dan meninggal dunia.(Detiknews, Kamis 30 Jan 2020)

Dari ketiga kasus diatas, maka dihubungkan dengan penegakkan kasus baku tembak POLRI vs POLRI, maka tentu memiliki persamaan. Persamaannya yakni sama-sama kasus pembunuhan dengan motif membela diri sementara perbedaannya ke 3 kasus diatas langsung dilakukan proses hukum semetara Bharada E tidak diproses menurut kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam Kasus ini, seharusnya Polda Jakarta Selatan melakukan penyelidikan terhadap Bharada E Vide Pasal 1 angka 5 KUHAP. Kemudian setelah Bharada E diduga yang melakukan penembakan seharusnya Penyidik POLDA Jakarta Selatan menaikkan kasus tersebut ke tahap penyidikan dan menetapkan Bharada E sebagai Tersangka dalam kasus ini. Setelah itu berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan yang kemudian akan diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mengenai apakah bersalah atau tidaknya Bharada E maka tentu ini tergantung bukti-bukti yang akan di hadirkan Jaksa di Persidangan dan Keyakinan Hakim untuk memvonis kasus ini.

Jika hal tersebut dilakukan oleh POLRI, maka tentu berita ini tidak menjadi perbincangan yang begitu massive oleh kalangan masyarakat yang beredar Media Sosial. POLRI harus komitmen dalam menegakkan hukum tanpa memandang status sosial pelakunya atau berdasarkan prinsip hukum Equality Before The Law. Kendatipun kasus ini melibatkan institusi POLRI, maka seharusnya tidak ada system pilih kasih. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang buluh.

Selanjutnya, kekeliruan yang kedua. jika di ikuti dari awal kasus ini bergulir hingaa saat ini, Babak naru hari demi hari selalu bergulir. Namun ada hal yang paling memilukan yakni kasus ini sudah dinaikkan ke Tahap Penyidikan, namun Kepolisian Jakarta Selatan belum menetapkan siapa Tersangka dalam kasus ini. Kepolisian Lupa bahwa pengertian Penyidikan menurut Pasal 1 nomor 2 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan dengan mencari serta mengumpulkan bukti yang mana menunjukkan unsur tindak pidana, tujuannya untuk menemukan tersangka. Dalam hal ini seharusnya POLRI Ketika menaikkan kasus ini ke Tahap penyidikan sudah menemukan siapa Tersangka dalam kasus ini.

Dalam Tajuk ini, saya beserta seluruh warga negara Indonesia berharap agar POLRI sebagai pengayom masyarakat agar transparan dan konsisten dalam mengawal kasus ini. Proses hukum harus dijalankan terhadao Bharada E karena dalam kasus ini integritas POLRI dipertaruhkan. POLRI harus mengembalikan kepercayaan Publik seperti sedia kala. POLRI harus menunjukkan bahwa instansi ini merupakan instansi pelindung masyarakat.
 

Berita Lainnya

Index