PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM -Bulan Ramadhan baru saja kita mulai, keinginan masyarakat meningkatkan kualitas iman dan taqwa tidak terbendung lagi, budaya mengaji ataupun belajar ilmu agama tumbuh subur dikalangan kaum muslimin, secara perlahan masyarakat Islam Indonesia menunjukkan eskalasi sigifikan kepedulian dan kesadaran mereka terhadap agama. Berbanding lurus dengan itu, nama-nama mubaligh “pun” juga semakin banyak dikenal masyarakat luas. Masyarakat menjadikan mubaligh tersebut sebagai tempat bertanya dalam beragama bahkan menjadikannya sebagai sosok “idola” baru. Persoalannya dalam pemahaman beragama pendapat-pendapat yang disampaikan mubaligh terkadang tidak ada yang sama, mereka juga mempunyai tradisi pendapat yang berbeda namun tetap dalam koridor ilmu pengetahuan. Berbagai stigma pun melekat pada setiap mubaligh, ada yang di “cap” mubaligh akomodatif, liberal, konservatif bahkan mubaligh yang berideologi radikal. Bagi pemerintah ada keresahan tersendiri jika itu berkaitan dengan radikalisme.
Kejadian teror bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya hingga penyerangan Mapolda di Riau menjadi alasan utama pemerintah bahwa ideologi radikal itu ada dan tumbuh berkembang di Indonesia, belum hilangnya suasana duka atas tindakan teror tersebut Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim tiba-tiba saja memberikan “Rekomendasi nama-nama Mubaligh” dengan alasan telah menerima banyak pertanyaan dari masyarakat terkait nama mubaligh yang bisa mengisi kegiatan keagamaan mereka, terutama di bulan suci Ramadhan. Menag Lukman Hakim juga menjelaskan ratusan mubaligh dipilih karena memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi dan pengalaman yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi. Dari aspek “niatan” memang kita perlu juga mengapresiasi niat baik tersebut, tapi bagaimana cara hukum melihat kebijakan rekomendasi nama-nama mubaligh tersebut?
Apa pun kebijakan yang dikeluarkan Menag terhadap mubaligh tersebut maka yang terpenting ada 200 nama yang dicantumkan disana. Jika sudah menetapkan nama, sebenarnya Menag sudah membuat suatu bentuk “kaputusan” bagi individu-inidividu tertentu. Suatu bentuk keputusan pemerintah harus dapat diukur oleh hukum, dalam ranah hukum administrasi negara produk keputusan (beschikking) dilahirkan karena ada produk pengaturan (regeling), lalu apakah Keputusan Menag disini berdasarkan produk-produk regeling? Sampai saat ini kita tidak pernah mendengar Menag mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PerMenag) sebagai dasar pencantuman nama-nama mubaligh tersebut, tidak hanya PerMenag yang harus menjadi dasar hukum, seharusnya dasar dari PerMenag dikeluarkan didahului dari produk hukum yang lebih tinggi semisal Peraturan Presiden (Perpres) agar legitimiasi suatu kebijakan Menag lebih dapat diterima dimasyarakat dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Betapa pentingnya suatu produk regeling untuk menetapkan suatu bentuk kebijakan (keputusan), dengan tujuan suatu kebijakan itu lebih terukur secara hukum, semisal Menag Lukman Hakim berujar secara lisan bahwa tolak ukur mubaligh yang direkomendasikan didasari kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi dan pengalaman yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi tapi apakah ujaran lisan sorang pejabat negara sudah otomatis menjadi kebijakan hukum yang mengikat? Tentu tidak bisa kita benarkan, maka tolak ukur yang disebutkan diatas harusnya dikonsepkan pada sebuah kebijakan pengaturan (regeling). Akan lebih “Fair” jika Menag mengeluarkan sebuah PerMenag agar kebijakan itu terukur, dan jika ada suatu ketentuan yang tidak terakomodasi dalam ketentuan pengaturan mubaligh yang justru merugikan masyarakat atau mubaligh itu sendiri maka PerMenag dapat diukur dan diuji dengan mekanisme “Judicial Review” di Mahkamah Agung. Bukankah itu akan terlihat lebih “Fair” dan lebih terukur? Sekarang dengan cara apa Masyarakat menguji kebijakan tersebut? sementara instrumen hukumnya tidak pernah dikeluarkan Pemerintah (Menag), disini Menag seakan-akan berlindung dibalik sebuah kebijakan tanpa bisa diuji dan diukur.
Sebaiknya Menag cukup menggunakan metode Perbuatan Pemerintah yang bukan perbuatan hukum (Fietelijke Handelingen) yakni suatu tindakan pemerintah terhadap masyarakat atau individu tertentu yang tidak mempunyai akibat hukum, misalkan Menag mengimbau masyarakat agar selektif memilih mubaligh dengan indikator mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi dan pengalaman yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi. Perbuatan pemerintah seperti ini sangat dibenarkan dan sering kita jumpai pada perbuatan yang lainnya, misal Walikota mengundang masyarakat untuk menghadiri acara tablig akbar, Presiden menghimbau masyarakat agar hidup sederhana, Bupati mengunjungi panti asuhan. Dalam hal ini, sifat dari perbuatan pemerintah tersebut semata-mata hanyalah bersifat keseharian ataupun bukan tugas pokok sehingga tidak perlu diadakan suatu tolak ukur hukum bila perbuatan itu tidak terlaksanakan.