UU Antiterorisme Disahkan: Definisi Terorisme Multitafsir

UU Antiterorisme Disahkan: Definisi Terorisme Multitafsir
Ferdian Rinaldi, S.H., M.H. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning

Revisi UU Terorisme telah disahkan Pemerintah dan DPR dengan rumusan: "Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan".

Dalam pengesahan UU Terorisme ini disepakati definisi terorisme  mencakup motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan. Definisi terorisme memang menjadi pembahasan utama selama pembahasan revisi UU Terorisme.  Terjadi perbedaan pendapat antara Pemerintah dan DPR. Perdebatan  berlangsung panjang, meski Pemerintah dan DPR sudah sepakat mengenai definisi terorisme, namun masih terdapat  pertentangan mengenai perlindungan kebebasan sipil.

Definisi terorisme yang telah disepakati Pemerintah dan DPR tersebut berpotensi  multitafsir.  Dalam implementasinya  nanti  berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum. Potensi multitafsir berkaitan dengan  rumusan pasal-pasal kejahatan terhadap negara, sebagaimana diatur dalam KUHP apalagi dengan tambahan frasa ‘gangguan keamanan.

Dari sekitar 109 definisi terorisme, hampir semua ahli sepakat unsur-unsur definisi  terorisme setidaknya terdiri dari:

  1. Adanya Kekerasan;
  2. Sebuah kegiatan yang tidak melibatkan kekerasan;
  3. Ancaman kekerasan tidak akan didefinisikan sebagai terorisme (protes non-kekerasan, pemogokan, demonstrasi damai);
  4. Bertujuan untuk mencapai tujuan politik;
  5. Terorisme harus dibedakan dengan kekerasan politik seperti perang gerilya atau pemberontakan sipil.

Artinya dalam konteks terorisme, politik, ideologi ataupun agama tidaklah semata-mata ditempatkan sebagai motif, tetapi sebagai tujuan. Perbedaan itulah yang membedakan dengan gerakan atau perjuangan pembebasan nasional yang jelas motifnya adalah politik.

Perubahan regulasi seharusnya menggabungkan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan keamanan nasional dan perlindungan hak asasi manusia. Bila hanya menggunakan pendekatan keamanan, pemberantasannya hanya akan menjadi represif belaka. sebaliknya, bila hanya menggunakan pendekatan hak asasi manusia maka penanganan terorisme menjadi tidak efektif.

Pendefinisian ini menyangkut sejauhmana batasan tindak pidana terorisme dan kompleksitas pembuktiannya. Apabila frasa “motif politik” dimasukkan, pendakwaan harus juga membuktikan adanya motif politik dalam perbuatan terdakwa. Prinsip dalam menentukan definisi terorisme ini harus sesuai dengan prinsip negara hukum, yaitu lex certa (ketentuan harus sejelas mungkin), lex scripta (diatur secara tertulis), dan lex stricta (diatur secara ketat dan tidak membuka ruang untuk tafsir berbeda). Ketiga prinsip ini harus menjadi pertimbangan obyektif bagi pembentuk legislasi.

Terorisme memang musuh bersama, pemberantasan terorisme harus menjadi agenda prioritas. Deteksi dini, pencegahan, dan penindakan perlu dilakukan. Namun, harus tetap berada dalam koridor prinsip-prinsip hukum.

Berita Lainnya

Index