30 Mei 1619 Kala J.P. Coen Menaklukkan Jayakarta dan Mendirikan Batavia

30 Mei 1619 Kala J.P. Coen Menaklukkan Jayakarta dan Mendirikan Batavia
Patung J.P. Coen di Batavia. tirto.id/Sabit
RIAUREVIEW.COM - Jan Pieterszoon Coen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal VOC pada pertengahan 1618. Kendati belum resmi dilantik, namun Coen sudah berancang-ancang menyusun strategi untuk menguasai Jayakarta yang merupakan salah satu bandar dagang paling sibuk di Kepulauan Nusantara kala itu.

Cukup lama Coen bersiap, termasuk sempat mengalami kekalahan. Dan akhirnya, pada 30 Mei 1619, tepat hari ini 399 tahun lalu, operasi penaklukan Jayakarta dilaksanakan. VOC mengerahkan pasukannya untuk merebut kota pelabuhan yang sebenarnya milik Kesultanan Banten itu, dan berhasil. Jayakarta kini kepunyaan VOC.

Setelah berjaya meruntuhkan Jayakarta, Coen lantas mengganti nama kota itu menjadi Batavia sekaligus menetapkannya sebagai pusat pemerintahan VOC di Nusantara. Kelak, beratus-ratus warsa berselang, Batavia bersulih-rupa menjadi Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia.
 

Karier Cemerlang Anak Belanda

Penduduk Batavia menjulukinya Mur Jangkung. Entah dari mana asalnya nama Mur itu. Yang jelas, Jan Pieterszoon Coen yang bertubuh kurus memang memiliki tinggi badan di atas rata-rata alias jangkung. Postur cekingnya didukung sorot mata yang amat tajam dan menusuk, seolah-olah selalu menyelidik apapun yang sedang ditatapnya.

Atau barangkali, julukan Mur Jangkung justru sama sekali tak ada hubungannya dengan perawakan Coen. Romi Zarman dalam Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942) (2018) mengungkapkan bahwa julukan tersebut berasal dari karya sastra Jawa pra-kolonial bertajuk Baron Sakendar yang memuat hikayat tentang Moer Djang Koen (hlm. 42).

Lidah pribumi melafalkan Moer Djang Koen menjadi Mur Jangkung, dan kebetulan pula orang Belanda itu memang bertubuh jangkung. Kata “Djang” dan “Koen” juga bisa merujuk kepada “Jan” dan “Coen”. Namun, sekali lagi, belum diketahui mengenai “Mur” yang turut disematkan dalam hikayat maupun julukan bagi Jan Pieterszoon Coen.

Jan Pieterszoon Coen lahir di Hoorn, Belanda, pada 8 Januari 1587. Ia belajar ilmu dagang di Roma, Italia, sejak usia 13, sekaligus mempelajari berbagai macam bahasa asing.

Sempat pulang ke kampung halamannya, Coen lantas mengadu nasib ke timur jauh. Pada 22 Desember 1607, ia mengikuti kapten kapal Belanda yang bekerja untuk VOC, Pieter Willemszoon Verhoeff, berniaga rempah-rempah hingga ke Nusantara. Inilah untuk pertama kali Coen menginjakkan kaki di tanah yang kelak bakal dikuasainya.

Muridan Satrio Widjojo dalam The Revolt of Prince Nuku: Cross-Cultural Alliance-making in Maluku 1780-1810 memaparkan, perjalanan ke timur jauh ternyata tidak berjalan mulus. Pada 1609, Kapten Verhoeff terbunuh dalam ekspedisi ke Banda lantaran terlibat perselisihan dengan warga lokal (hlm. 17).

Coen dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan bagaimana Kapten Verhoeff dan rekan-rekannya sesama orang Belanda dibantai di Banda. Beruntung, Coen yang turut dalam armada itu sebagai juru tulis, berhasil lolos dan menyelamatkan diri.

Kejadian tragis tersebut ternyata justru berbuah berkah bagi Coen. Kariernya di VOC melesat dengan relatif cepat. Bahkan, pada 18 April 1618 saat usianya baru 31 tahun, Coen ditunjuk menempati jabatan tertinggi sebagai Gubernur Jenderal VOC kendati baru diresmikan setahun berikutnya.
 

Berebut Sunda Kelapa

Penunjukan Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC terjadi lantaran pejabat sebelumnya, Laurens Reael, meletakkan jabatannya. Reael merasa sudah tidak sanggup lagi menghadapi persoalan dengan Kesultanan Banten yang dibantu oleh Inggris, pesaing utama VOC dalam perdagangan di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara.

Selain itu, Reael juga berselisih paham dengan Dewan Direksi VOC atau The Heeren XVII terkait kebijakan dagang dalam persaingan dengan Inggris. Mundurnya Reael pada 1617 membuka jalan karier gemilang bagi Coen. Para petinggi VOC memilih Coen karena dinilai cemerlang, menguasai ilmu dagang dan berbagai bahasa, juga tegas serta berpengalaman di usia yang masih sangat muda.

Coen harus menghadapi persoalan yang belum dituntaskan Reael. Seabrek pekerjaan menantinya, termasuk protes keras Maluku yang menentang kebijakan monopoli VOC, harga lada di Batam yang melangit karena ulah Inggris dan Cina, perlawanan dari laskar-laskar pendukung Kesultanan Mataram Islam di Jepara, juga permasalahan dengan Kesultanan Banten di Jayakarta yang direcoki Inggris.

Dari semua urusan yang sebenarnya sama-sama mendesak itu, Coen memutuskan untuk merampungkan persoalan Jayakarta terlebih dulu. Coen melihat potensi Jayakarta sebagai kota pesisir yang ramai dan lokasinya strategis. Jayakarta, dalam pandangan Coen, cocok dijadikan sebagai pusat kegiatan VOC yang sebelumnya ada di Maluku.

Pamor Jayakarta memang sudah terdengar sejak berpuluh-puluh warsa silam. Tempat ini sebelumnya bernama Sunda Kelapa dan berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan ini merupakan kerajaan Sunda yang berpusat di Bogor, dan eksis hingga 1579 Masehi.

Sanusi Pane dalam Sedjarah Indonesia (1955) menuliskan, Sunda Kelapa pada masa Pajajaran sudah dikenal sebagai kota pelabuhan internasional. Bandar dagang ini menjadi tempat bertemunya kaum saudagar dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Eropa dan Timur Tengah (hlm. 27). Selain itu, para peniaga lintas bangsa dari negeri-negeri Melayu, India, Jepang, serta Cina juga kerap singgah di Sunda Kelapa, selain para pedagang dan nelayan dari berbagai daerah di Nusantara.

Tahun 1522, Pajajaran berselisih dengan tiga kerajaan Islam, yakni Cirebon, Demak, dan Banten. Pajajaran kemudian meminta bantuan Portugis yang kala itu memang beraktivitas di Nusantara. Namun, pertempuran dimenangkan oleh pasukan gabungan kerajaan Islam yang dipimpin Fatahillah.

Setelah kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, dan dipimpin oleh pejabat khusus yang ditunjuk oleh Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh pada 1554 karena konflik internal, Jayakarta dikelola oleh Kesultanan Banten.

Hingga kemudian, Belanda datang dan ingin menguasai perdagangan di sekitar Selat Sunda, termasuk mengambilalih Jayakarta. Ambisi ini tentu saja ditentang oleh Banten dan lantas meminta bantuan Inggris yang memang cukup berpengaruh di perairan Malaka. Dari sinilah, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen mempersiapkan misi merebut Jayakarta.
 

Pemimpin Muda yang Ambisius

Armada VOC pertamakali berlabuh ke dermaga Jayakarta pada 1596. Benny G. Setiono melalui buku berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) mengungkapkan, saat itu terdapat kurang lebih 3.000 rumah, sebagian besar di antaranya dikelilingi pagar tanaman hijau (hlm. 78).

Untuk memperoleh izin berdagang, VOC harus membayar 1.200 real kepada pejabat pribumi yang ditugaskan memimpin wilayah itu, yang dikenal sebagai Pangeran Jayakarta. Maka, lanjut Setiono, sejak saat itu kapal-kapal Belanda diizinkan singgah di pelabuhan Jayakarta. Kompeni juga diperbolehkan membangun pos dagang dan gudang di kawasan itu.

Hingga akhirnya, Jan Pieterszoon Coen melihat bahwa amat menguntungkan bagi VOC jika Jayakarta mampu dikuasai. Kepada The Heeren XVII, pada 1614 Coen mengatakan bahwa VOC tidak akan dapat menguasai perdagangan tanpa melakukan peperangan dan sebaliknya. Coen menegaskan, hanya ada satu cara untuk memperkokoh kekuasaan VOC, yaitu menghancurkan semua pihak yang merintangi, termasuk dalam urusan Jayakarta.

Coen memang seorang ahli strategi dagang yang ulung. Dipaparkan Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008), langkah awalnya adalah dengan menghentikan semua pembelian lada (hlm. 155). Kebijakan ini tentu saja mengacaukan pasar perdagangan lada.

Coen kemudian mengancam akan memindahkan semua pabrik milik VOC ke Jayakarta. Selain itu, ia juga bernegosiasi dengan para pedagang Cina. Ketika Inggris mulai ikut campur dalam situasi ini, Coen hampir bisa memaksakan harga lada turun drastis hingga 50%.

Kesultanan Banten yang turut merasa terancam dengan sepak-terjang Coen pun menjalin kerjasama dengan Inggris. Keduanya punya musuh bersama, yakni VOC. Terjadilah pertempuran di laut, pasukan gabungan Banten dan Inggris mulai menyerang kapal-kapal Cina yang hendak merapat ke Jayakarta.

VOC, yang sebelumnya sudah memiliki kantor dagang di Jayakarta, tentunya tidak tinggal diam. Seperti yang dituliskan Vlekke, Coen memerintahkan gudang kompeni di Jayakarta diubah menjadi benteng pertahanan, dan mulai menyerang pos-pos dagang milik Inggris di lokasi yang sama (hlm. 155). Pasukan Coen membakar habis semua aset Inggris di Jayakarta.

Kubu Inggris tentu saja murka dan mengancam akan memotong seluruh jalur komunikasi VOC dengan dunia luar. Inggris mengerahkan 11 kapal tempurnya untuk berpatroli di sekitar perairan Jayakarta. Perang terbuka segera dimulai.
 
Infografik Mozaik JP Coen Menaklukkan jayakarta
 

J.P. Coen Menaklukkan Jayakarta

Jan Pieterszoon Coen tak gentar. Pada awal 1619 itu, ia memimpin 7 kapal Belanda untuk menghadapi armada perang Inggris dan pecahlah pertempuran selama 3 jam. Hasilnya, VOC kewalahan dan akhirnya kalah. Coen terpaksa mundur, meninggalkan garnisunnya di Jayakarta dan berpesan kepada mereka untuk bertahan sampai titik darah penghabisan.

Coen berlayar jauh menuju Maluku, pusat VOC kala itu, sembari mengkoordinasikan kembali pasukannya. Ia juga menulis surat kepada para petinggi VOC di Negeri Belanda dan melaporkan kekalahannya itu. Coen meminta tambahan pasukan serta kapal tempur untuk melawan Inggris (hlm. 156).

Benteng VOC di Jayakarta ternyata selamat. Pasalnya, lawan-lawan mereka sibuk ribut sendiri terkait kepemilikan Jayakarta. Inggris dan Banten berebut hak milik atas kota pelabuhan itu. Begitu pula dengan Pangeran Jayakarta yang ternyata juga menyimpan hasrat serupa.

Perpecahan tersebut dimanfaatkan betul oleh Coen berlayar kembali dari Maluku. Tanggal 28 Mei 1619, armada Coen memasuki benteng VOC di Jayakarta dan segera bersiap melakukan penyerangan. Dua hari kemudian, Coen memimpin 1.000 orang menyerbu pos-pos musuh mereka yang sedang lengah.

Tanggal 30 Mei 1619, Coen berhasil menguasai Jayakarta dan hanya kehilangan 1 orang prajuritnya yang tewas. Coen memerintahkan pasukannya untuk membumihanguskan kota pelabuhan yang kemudian diduduki sepenuhnya oleh VOC.

Di saat yang sama, sebagaimana disebutkan dalam buku Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara karya Joko Darmawan, Coen juga mengirimkan 17 armada lautnya untuk menyerang pelabuhan Banten (hlm. 22). VOC meraih kemenangan mutlak. Inggris kabur, Banten kewalahan, dan Jayakarta pun berhasil direbut.

Di atas puing-puing Jayakarta, Coen memerintahkan pembangunan sebuah benteng baru yang lebih besar dan kuat. Selain itu, ia juga membangun kota kecil untuk tempat bermukim orang-orang Belanda yang telah turut bertempur bersamanya.

Kota itulah yang dikenal sebagai Batavia, kendati Coen sebenarnya ingin memberinya nama Nieuw Hoorn alias Hoorn Baru, mengacu kepada kota kelahirannya di Belanda. Namun, usulan Coen terkait penamaan itu tidak disetujui para petinggi VOC.

Tanggal 4 Maret 1621, nama Batavia dikukuhkan. Pemerintah daerahnya pun dibentuk. Sejak saat itu, Batavia resmi menjadi pusat kekuasaan VOC. Dari sinilah Belanda mengendalikan Nusantara hingga berabad-abad lamanya.
(tirto.id - Humaniora)


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Berita Lainnya

Index