Memelayukan Pendidikan Tinggi di Negeri Lancang Kuning

Memelayukan Pendidikan Tinggi di Negeri Lancang Kuning

Memelayukan Pendidikan Tinggi di Negeri Lancang Kuning

Oleh Afred Suci

Dosen Fakultas Ekonomi – Universitas Lancang Kuning

Prinsip kearifan lokal yang dianut oleh kurikulum pendidikan tinggi, memberikan ruang untuk menyematkan muatan lokal yang menjadi penciri sebuah perguruan tinggi. Penciri ini bisa disesuaikan dengan keunggulan masing-masing. Ada yang mengusung penciri enterpreneur, agama tertentu, potensi sumberdaya lokal hingga kepada budaya setempat. Penciri ini diharapkan bisa menjadi positioning unik sebuah perguruan tinggi dibandingkan lainnya.

Provinsi Riau yang mengusung tagline “Homeland of Melayu” tentunya mengharapkan nilai-nilai kemelayuan di negeri bersejarah ini bisa menjiwai seluruh aktivitas masyarakat, tidak terbatas pada simbol-simbol bahasa dan baju adat belaka, namun merasuk ke dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan program-program yang ada. Bukan sebatas lingkup penyelenggara pemerintahan saja, namun ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk ke dalam perencanaan dan proses belajar mengajar. Dengan begitu maka penciri dan semangat kemelayuan tak sirna dihantam zaman digital yang cenderung mengabsorsi dan mengasimilasi budaya-budaya asing dengan mudahnya.

Serapan ilmu-ilmu pengetahuan, apabila tidak dikontrol oleh nilai, dapat membawa konsekuensi kecerdasan tanpa rasa. Pintar tapi tak berhati. Itu mengapa dalam kurikulum pendidikan selalu disisipkan – meskipun bobotnya minimal – nilai-nilai agama, keberagaman, Pancasila, norma-norma hukum, etika dan termasuk budaya setempat. Tujuannya tak lain adalah untuk mengingatkan para pencari ilmu bahwa setinggi apapun kemampuan kognisinya, maka ia masih berdiri di bawah langit nusantara dengan segala kearifannya. Kearifan nilai-nilai ini merupakan afeksi yang menjadi koridor untuk menjinakkan keliaran ilmu.

Pendidikan tinggi merupakan gerbang terakhir bagi para pencari ilmu sebelum memasuki hiruk pikuknya dunia. Iklim hyper competition saat ini rentan membuat sarjana-sarjana baru kehilangan idealisme dan moralnya, sebab kehidupan nyata yang semakin menantang bisa jadi mengenyampingkan nilai-nilai untuk memenangkan pertarungan periuk nasi. Maka dalam konteks ini, perguruan tinggi berperan sebagai agen pertahanan nilai moral di samping sebagai agen perubahan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Sehingga bagi perguruan tinggi perlu untuk mengambil posisi untuk melestarikan semangat dan jiwa kearifan lokal dalam proses pembelajaran mahasiswa.

Bagaimana Mengimplementasikannya?
Produk jualan perguruan tinggi bukan ijazah sarjana. Perguruan tinggi bukan pabrik sarjana yang sifatnya komersil belaka. Perguruan tinggi “menjual” kurikulum yang didalamnya memuat berbagai ilmu dan keterampilan serta nilai-nilai bersikap dan berperilaku. Mahasiswa “membeli dan mengkonsumsi” seluruh kurikulum yang disediakan sebelum dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana. Maka peran perguruan tinggi dalam konteks ini adalah lembaga yang menilai apakah seorang mahasiswa pantas atau tidak pantas menyandang gelar sarjana. Sehingga ruang perguruan tinggi – khususnya di daerah – untuk menyematkan penciri kedaerahan tersedia dikurikulumnya.

Cara instan yang banyak dilakukan adalah menyelenggarakan satu atau dua mata kuliah penciri dalam kurikulum. Penciri enterpreneur menambahkan mata kuliah kewirausahaan. Penciri agama tertentu menambahkan mata kuliah keagamaan lebih banyak. Penciri Melayu, sekedar menambahkan mata kuliah budaya Melayu kedalam kurikulum. Mudah dan instan. Tetapi itu belum menjadi karakter. Diharapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi adalah penjiwaan penciri perguruan tinggi di dalam struktur kurikulum, sehingga semangatnya bisa dirasakan di dalam mata kuliah-mata kuliah lainnya. Disinilah kesulitannya, sehingga dibutuhkan kreatifitas lebih dalam dari para dosen sebagai pengampu mata kuliah untuk memikirkan apa yang bisa dilakukannya agar muatan kemelayuan bisa dijiwai ke dalam mata kuliah yang diajarkannya.

Di tingkat universitas solusinya tentu menyelenggarakan mata kuliah budaya Melayu. Tetapi, ketika diturunkan ke tingkat program studi fakultas, hal ini tidak mudah. Memang tidak semua mata kuliah bisa mengasimilasinya. Pertanyaan banyak anggota tim perumus kurikulum, bagaimana menyisipkan budaya Melayu dalam ilmu komputer? Apa ada akuntansi kemelayuan? Pendidikan biologi bernafaskan Melayu itu seperti apa bentuknya?

Bottle necking ini terjadi karena sempitnya dalam memandang kurikulum. Jika tidak memungkinkan menyisipkannya ke dalam kurikulum inti (yang terkait dengan ilmu program studi utama), maka bisa dilakukan di mata kuliah pendukung dan pelengkap. Tidak perlu semua mata kuliah di kurikulum, tetapi diupayakan semaksimal mungkin. Ini perlu kreatifitas dan komitmen.

Contohnya, di mata kuliah pemasaran ada silabus mengenai budaya dan subbudaya konsumen, gaya hidup dan perilaku konsumen. Jika sekedar mengacu ke buku teks yang dijual umum maka dosen akan kesulitan. Dosen bisa kreatif menugaskan mahasiswa untuk melakukan perbandingan subbudaya konsumen, gaya hidup dan perilaku masyarakat Melayu dalam berbelanja misalnya. Di prodi arsitektur, bisa saja seorang dosen menyisipkan materi mengenai arsitektur Melayu dalam salah satu silabusnya. Di prodi hukum, mata kuliah atau silabus hukum adat Melayu bisa ditambahkan.

Jika tidak memungkinkan dilakukan pada kurikulum inti, maka mata kuliah pelengkap dan pendukung bisa dibedah silabusnya dan dicari ruang yang memungkinkan. Contohnya, Pengantar Manajemen, Kewirausahaan, PPKN, Etika Bisnis/Profesi, merupakan mata kuliah yang biasanya menjadi pendukung dan pelengkap di banyak prodi. Bagaimana tunjuk ajar kepemimpinan pada masyarakat Melayu. Bagaimana cara masyarakat Melayu mengorganisir kelompok dan kegiatannya. Bagaimana budaya bisnis saudagar-saudagar Melayu. Bagaimana para pelaku profesi bisa menjaga etika adat kemelayuan di negeri Melayu. Jika kreatif, maka pasti ada satu-dua silabus yang memiliki ruang untuk itu.

Tidak ada text book yang bisa dijadikan sebagai bahan ajar seperti itu? Ini justru menjadi kesempatan untuk mengisi kekosongan literatur. Dosen secara mandiri atau berkolaborasi dengan mahasiswa bisa melakukan studi lapangan untuk mengkajinya. Mengidentifikasi, mengelompokkan, menganalisis, membandingkan hingga merumuskan teori baru dalam kaitan ilmu tertentu dengan perspektif kemelayuan. Bahan ajar akan berkembang. Tidak sekedar meng-copy paste dari penulis lain menjadi bahan ajar dosen. Di mana letak pengayaan ilmunya kalau begitu? Disinilah letak keunggulan dan keunikan perguruan tinggi itu nantinya. Bukan tidak mungkin dengan pola seperti ini maka sebuah perguruan tinggi bisa  menjadi pusat-pusat kajian ekonomi Melayu, arsitektur Melayu, hukum adat Melayu, dan lain sebagainya. Dengan begitu maka seperti yang diucapkan Hang Tuah dulu, “Takkan Melayu hilang di bumi.”

 

Berita Lainnya

Index