Problematika ‘Kutu Loncat’ dan Hobi Pindah Parpol

Problematika ‘Kutu Loncat’ dan Hobi Pindah Parpol
SUKARDI, SH (PENULIS DAN WARTAWAN RIAUREVIEW.COM)

SAYA SENGAJA menggoreskan tulisan ini, sebagai sharing informasi dan probelamatika , yang terjadi dewasa ini di era reformasi demokrasi. Mencermati peristiwa-peristiwa, yang terjadi akhir-akhir ini ditanah air. Indonesia sebagai negara kesatuan yang menjalankan pemerintahan republik presidensial multi partai (banyak partai), yang demokratis.

Jelas, Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 menjadi konstitusi tertinggi, kendati sudah mengalami empat kali amandemen, yang membawa perubahan besar pada kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Berbicara mengenai hukum apa yang berlaku di Indonesia. Maka, perlu dijelaskan dengan referensi-referensi, yang bersifat objektif, untuk tatanan pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance dan Clean Goverment), ini bisa berjalan dengan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan, yang dimiliki pemerintah dalam menjalankan fungsinya melalui institusi formal dan informal.

Penerapan hukum di Indonesia, menganut suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu bertentangan antara bagian-bagian. Tidak juga boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih bagian-bagian itu. Suatu sistem hukum mengandung, beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya.

Di Indonesia, mengenal dua sistem hukum yaitu Eropa Kontinental (Civil law system) dan Angglo Saxon (comman law system). Sistem hukum perata adalah bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan dan yurisprudensi.

Hukum perdata penganut negara-negara menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam peraturan hirarki peraturan-undangan. Semua negara penganut hukum perdata mempunyai konstitusi tertulis. Sistem hukum angglo saxon merupakan suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurispudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.

Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis selaras dengan dinamika masyarakat. Sedangkan di Indonesia jika dilihat dari pengertian civil law system dan comman law system, Indonesia menganut kedua-duanya senderung ke civil law system namun juga pada pelaksanaannya masih menggunakan sistem comman law.

Mengamati problematika hukum itu, di Kabupaten Bengkalis yang hari ini, menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mengusung Bengkalis Maju, Bermarwah dan Sejahtera (Bermasa), tentu memiliki secercah harapan untuk kemajuan slogan “Bermasa”.

Saya menganalogikan studi kasus, yang terjadi akhir-akhir ini. Pindah parpol memicu terjadinya mosi tidak percaya 37 anggota DPRD Bengkalis, terhadap dua pimpinan Partai Politik (Parpol). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam hal ini Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis H. Khairul Umam, Lc dan Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Bengkalis Syahrial, ST, yang menjabat sebagai Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Bengkalis.

Keduanya, harus menerima kenyataan pahit, setelah tidak lagi dipercayai oleh 37 anggota DPRD Bengkalis, yang notabene membawa nama sejumlah partai politik. Keduanya ‘dikeroyok’, habis-habisan, karena ada anggota DPRD Bengkalis pindah parpol, tapi tidak mau diganti atau memang sengaja ingin tetap duduk di kursi DPRD Bengkalis, tanpa mewakili partai darimana pun.

Kejadian ini lumrah terjadi. Ditingkat nasional saja, saya pernah membaca artikel yang ditulis oleh Pusat Pengkajian Politik dan Pengembangan Masyarakat (P4M). Tulisan itu menggambarkan dinamika ‘kutu loncat’ atau politikus hobi pindah partai.

Partai diklaim 'miskin' ideologi memicu munculnya politisi ‘kutu loncat’. Dimana Tahun 2014 lalu terjadi fenomena ini, salah satu politisi yang banyak mendapat sorotan adalah ‘meloncatnya’ Harry Tanoe dari Partai Nasdem ke Partai Hanura, karena konflik dengan Surya Paloh sang ‘pemilik’partai. Namun, Harry Tanoe akhirnya menentukan pilihan baru.

Dan kini Harry Tanoe Sodibyo sudah memiliki pilihan baru, yaitu Partai Perindo (Persatuan Indonesia). Begitu juga, politisi Akbar Faizal, politisi vokal dari Hanura itu menjadi ‘kutu loncat’ , pindah ke Partai Nasdem dan langsung memangku jabatan Kepala Bidang Politik Pemerintah Nasdem.

Kemudian ada lagi, dua politisi senior di Partai Golkar, Malkam Amin dan Mamat Rahayu Abdullah yang turut bergabung di Partai Nasdem. Paling krusial lagi adalah Maiyasyak Johan, yang melakukan pindah partai sebanyak dua kali dalam hitungan tidak lebih dari satu bulan, awalnya dia merupakan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pindah ke Nasdem dan terakhir belabuh di Golkar.

Problematika ‘kutu loncat’ menjadi masif saat ini. Terutama menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024., tidak hanya ditingkat pusat, tetapi fenomena ini juga terjadi di daerah, setiap menjelang Pemilu. Salah satu penyebab munculnya hal ini adalah landasan ideologi partai-partai yang lemah, sehingga partai sulit untuk dibedakan dari sudut pandang ideologi.

Sementara Firman Hamzah di Tahun 2008 pernah menuliskan, ideologi merupakan hal yang sangat penting untuk membangun partai politik demi menunjukkan arah perjuangan partai. Ideologi partai merupakan simbol perjuangan partai, alat pemersatu bagi partai dan juga merupakan pembeda antara satu partai dengan partai lain yang tidak hanya dalam konteks simbolik bendera, warna tetapi sebagai landasan menyuarakan aspirasi politik masyarakat.

Fakta ‘kutu loncat’ ini terjadi di daerah Kabupaten Bengkalis. Empat Anggota DPRD Bengkalis diantaranya Septian Nugraha, Al-Azmi, Syafroni Untung dan Ruby Handoko alias Akok, pindah parpol menjelang Pemilu 2024. Keempatnya diduga menjadi pemicu, mosi tidak percaya ditubuh lembaga DPRD Bengkalis.

Ironisnya, keempat anggota DPRD Bengkalis, yang sudah dipecat partai politik masih ingin mengunakan fasilitas negara di DPRD Bengkalis. Tentu saja, kemelut dan polemik ini menjadi sejarah, jika ideologi dalam berpolitik, belum menampakkan sifat dewasa untuk menerima kenyataan pahit.

Kini keempat politisi senior ini, dinyatakan pindah partai politik dari Partai Golkar ke Partai PDI Perjuangan Kabupaten Bengkalis. Keduanya juga terlihat masih cuai dengan Surat Keputusan Gubernur Riau, yang diterbitkan Pemprov Riau.

Pemberhentian anggota DPRD Bengkalis tersebut berdasarkan surat Pemprov Riau bernomor : 120/PEM-OTDA/166, tertanggal 18 September 2023. Perihal Keputusan Gubernur Riau, yang ditujukan kepada Ketua DPRD Bengkalis.

Surat keputusan (SK) tersebut ditandatangani langsung Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Koordinator Otonomi Daerah Tri Jumarsa Jalil, S.STP, M.IP.

Kondisi ini tentunya, memiliki konsekwensi dari apsek hukum, yang terjadi. Sebab, Anggota DPRD Bengkalis tidak hanya sebagai politisi, tapi juga sebagai badan publik, yang melekat administrasi di dalamnya. Artinya, mereka juga bagian dari administrasi itu sendiri. Jika ini yang terjadi, tentu ada pelanggaran hukum dan sanksi hukum yang harus diterima secara akal sehat.

Apa Itu Politikus Kutu Loncat?

Setelah membaca artikel di tempo.co, pada Rabu, 4 Januari 2023. Muncul pemahaman mengenai ‘kutu loncat’ yang dimaksud. ‘Kutu Loncat’, partai saja dikhianati, apalagi masyarakat atau rakyat? Tren ‘kutu loncat’ ini, bukan barang baru dalam dunia politik.

Ini sudah menjadi tren dan praktik-praktik yang diterapkan politikus untuk menempuh kekuasaannya. Motif-motif ‘kutu loncat’, menjadi problematika ditengah derasnya dinamika perpolitikan jelang Pemilu serentak 2024.

Membaca artikel tempo.co, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui laman resminya menjelaskan, istilah “Politikus Kutu Loncat” dipahami sebagai sebutan bagi para politikus, maupun pejabat publik yang berpindah dari parpol satu ke parpol lainnya.

Alasan melakukan kutu loncat pun bermacam-macam, mulai dari sudah tidak loyalnya kepada parpol atau hendak menjadi dukungan suara. Fenomena politikus ‘kutu loncat’ ini bukanlah suatu hal yang baru, atau lazim terjadi di era reformasi demokrasi.

Bahkan, tidak sedikit para elite politik yang justru melupakan partai yang mengantarkannya menuju singgasana kekuasaan untuk berpindah ke perahu politik lain yang diprediksi lebih menjanjikan di masa, yang akan datang.

Secara umum dapat diamati bahwa parpol baru yang menjadi sandaran politikus kutu loncat adalah parpol yang dekat dengan penguasa dan wibawanya sedang berada di atas angin. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan terkait seberapa besar loyalitas dan ideologi politik para pelaku politikus kutu loncat.

Ahli hukum dan tata negara LIPI, Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, fenomena politikus kutu loncat yang kerap berpindah parpol menjadi problem besar di kancah perpolitikan Indonesia. Menurutnya, fenomena ini memang tidak bisa diikat oleh Undang-Undang karena menjadi urusan kontrak politik antara kader dengan parpol yang bersangkutan.

Menurut Ikrar Nusa Bhakti, tindakan politikus kutu loncat yang dilakukan oleh seorang kader utama, jelas bisa merugikan parpol yang ditinggalkan yaitu rantai kaderisasi, yang sudah dirintis sekian lama dan jaringan yang sudah dirintis menjadi terputus.

Fenomena ini menurutnya, tidak dapat dilepaskan dari kondisi internal parpol. Parpol dinilainya belum mempunyai aturan yang memadai dalam mengusung calon pejabat publik, baik kepala daerah maupun anggota legislatif. Hal tersebut menimbulkan celah bagi politikus mudah keluar masuk parpol saat menduduki pejabat publik.

Secercah harapan dari tulisan ini, tentu saja menyadarkan betapa pentingnya ideologi partai politik dan kaderisasi partai. Sehingga, kedepannya permasalahan ‘kutu loncat’ ini tidak menjadi suatu kebiasaan, yang terjadi. Karena, ‘kutu loncat’ yang terjadi juga akan menimbulkan aspek hukum, bagi pembuat kebijakan.

Selain itu, kutu loncat juga akan menimbulkan dampak bagi partai, yang ditinggalkan. Diantaranya, Pertama, kehilangan kader yang telah dibesarkan dan diberikan berbagai kesempatan untuk menduduki sebuah jabatan. Kedua, dipertanyakan pola kaderisasi yang ‘berkhianat’ dan tidak menjiwai idealisme partai sehingga dengan mudah pindah partai.

Sedangkan dampak bagi partai baru, untuk seorang kutu loncat adalah, rusaknya sistem kaderisasi partai, karena seorang bisa menduduki sebuah posisi tanpa melewati jenjang kaderisasi yang ada. Kutu loncat, tentunya memunculkan kecemburuan politik terhadap kader, yang telah lama membesarkan partai dan tentunya mendapatkan amunisi tokoh baru untuk melancarkan pemenangan kepala daerah.(***)

Berita Lainnya

Index