KPU “Tabrak” Hak Politik Mantan Napi Koruptor Sekaligus “Langkahi” UU Pemilu

KPU “Tabrak” Hak Politik Mantan Napi Koruptor Sekaligus “Langkahi” UU Pemilu
Rachmad Oky S,SH.,MH (Dosen Hukum Tata Negara Fak.Hukum Unilak)

PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM -Perhelatan kedaulatan rakyat kembali dimulai, setelah sebelumnya masyarakat letih dengan ajang pilkada serentak, kini Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka ruang demokrasi dengan ajang pemilu 5 (Lima) tahun sekali yang diamanatkan oleh UUD 1945, salah satunya adalah ajang pemilihan anggota legislatif (DPR,DPD, DPRD). Ajang ini membuka seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin berkontribusi memberikan pemikiran dan tenaga dalam sebuah wadah yang namanya “Lembaga Parlemen”. Apapun latar belakang, pekerjaan, suku, ataupun agamanya maka setiap orang memiliki hak politik yang sama untuk dipilih menjadi anggota legislatif, karena negara kita menganut Equality Before Of  Law and Politic.

Saat ini KPU sudah menutup kesempatan bagi siapa saja yang berminat mendaftarkan diri untuk menjadi calon anggota legislatif (Caleg), namun kali ini muncul perdebatan yang mengemuka dimasyarakat yakni “Mantan Napi Korupsi Dilarang Nyaleg” mungkin itu ada dibenak masyarakat yang peka dengan isu politik kekinian. Perdebatan ini muncul ketika disahkannya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Tentu tidak heran lagi, yang paling agresif menolak adalah mereka-mereka yang merupakan mantan terpidana korupsi dan  ingin bersaing di pemilihan legislatif 2019 nanti. Lalu apakah benar PKPU Nomor 20/2018 dapat dikategorikan peraturan yang “menabrak” hak politik mantan terpidana korupsi? atau apakah benar PKPU tersebut  melampaui Undang-Undang (UU) Pemilu?

 Kemunculan PKPU No.20/2018 memang tidak bisa dielakkan, PKPU tersebut lahir karena adanya perintah langsung dari UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), untuk menganalisisnya semestinya kita melihat bagaimana cara UU memerintahkan dibentuknya sebuah PKPU No.20/2018, pada pasal 249 ayat (3) UU No.7/2017 menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan KPU”. Disini dapat kita lihat bahwa “proses verifikasi bakal calon” harus diatur dalam Peraturan KPU. Lalu bagaiman kita mengetahui proses verifikasi bakal calon anggota legislafif? maka pasal 248 ayat (1) dan ayat (2) menjelaskan verifikasi bakal calon adalah verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administratif bakal calon anggota legislatif, lalu dimana kita mengetahui apa saja dokumen persyaratan bakal calon tersebut? UU No.7/2017 pasal 240 telah  menata persyaratan dan menata kelengkapan administratif.

 Disini penulis hanya menarik persoalan persyaratan kelengkapan administratif yang berkaitan dengan hak politik mantan terpidana korupsi, UU No. 7/2017  pasal 240 ayat (1) poin “g” menyatakan “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dan ayat (2) poin “c” menyatakan “surat pernyataan bermaterai  bagi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tidak pernah dipidana dengan ancaman pidanan penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana”. Kedua poin diatas tersebut termasuk kategori norma yang tidak mengunci “absolut” bahwa setiap mantan terpidana dilarang untuk menjadi calon anggota legislatif, justru norma yang tersaji adalah norma yang memberi ruang “akomodatif” dan memberi “alternatif” bagi mantan terpidana korupsi, frasa “....kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dan frasa”....atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana” membuktikan bahwa norma tersebut tidak membatasi atau tidak menghilangkan hak politik seseorang yang pernah dijatuhi pidana.

Jika kita sandingkan kehadiran PKPU No.20/2018 justru menjadi polemik baru, munculnya pasal 4 ayat (3) menyatakan “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, (partai politik) tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi” artinya KPU akan menolak bagi partai politik peserta pemilu yang menyertakan bakal calon dimana bakal calon tersebut merupakan mantan terpidana korupsi. Frasa “...tidak menyertakan mantan terpidana korupsi” membuktikan sebuah kalimat yang “mengunci” dan tidak memberi ruang sehingga norma pasal 4 ayat (3) tersebut menjadi norma yang “absolut”  membatasi dan menghilangkan hak politik mantan terpidana korupsi.

Jadi sangat jelas satu sisi UU No.7/2017 memberikan norma yang “akomodatif” bagi mantan terpidana korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif sementara sisi lainnya justru kehadiran PKPU No.20/2018 memberikan norma yang mengunci (absolut) dan tidak memberi ruang kepada mantan terpidana untuk menjadi calon anggota legislatif, dengan begitu tidak salah juga ada dugaan bahwa PKPU No.20/2018 bertentangan dengan UU No.7/2017 (lex superior derogat legi inferior). KPU harus menyadari bahwa kedudukan PKPU hanya sebatas pelaksana yang diperintahkan UU dimana perintah itu hanya dalam ruang lingkup verifikasi yang termuat dalam pasal 240 UU No.7/2017 bukan justru menyaingi atau menambah norma baru sehingga membuat kaburnya kepastian hukum pada norma UU tersebut.

Jauh sebelum hadirnya polemik “Mantan Napi Korupsi dilarang nyaleg”, seharusnya KPU dapat mengambil pelajaran dari putusan MK No.4/PUU-VII/2009 yang menyatakan pasal dalam UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 karena memuat larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Saat itu Mahkamah Konstitusi (MK) memberi pertimbangan mantan narapidana yang telah menjalani hukuman dan mengakui kesalahannya kepada publik berstatus sama seperti warga sipil lain serta memiliki hak politik yang sama ditambah lagi putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 membatalkan  pasal 7 huruf g UU No.8/2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang  No.1/2015 tentang  Penetapan Perppu No.1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU, pasal itu dibatalkan karena memuat ketentuan bahwa mantan narapidana dilarang ikut Pilkada. Jika memang putusan MK juga melekat prinsip erga omnes seharusnya KPU tidak gegabah menghilangkan hak politik seseorang.

Putusan MK diatas memang hanya tertuju kepada “calon kepala daerah” dan bukan “calon anggota legislatif”, tapi  menurut penulis putusan MK lebih melihat kepada substansi objek hukumnya bukan kepada subjek hukumnya, misalkan “KPU menghilangkan hak politik seseorang” yang merupakan susbtansi tapi “siapa yang dihilangkan hak politiknya oleh KPU” itu merupakan subjek hukumnya, atau disini penulis misalkan walaupun putusan MK hanya membatalkan pasal 7 huruf g UU No.8/2015 karena sempat melarang mantan terpidana korupsi ikut dalam pilkada maka mutatis mutuandis diikuti oleh UU No. 7/2017 yang mana jangan sekali-kali memunculkan pasal yang melarang mantan terpidana korupsi untuk menjadi calon Presiden atau calon anggota legislatif, penekanan substansi hukumnya disini jelas yakni tidak boleh ada larangan mantan terpidana untuk duduk pada jabatan politik. Tetapi muncul persoalan bagaimana status hak konstitusional seseorang sebelum adanya putusan MK tersebut, misalkan seseorang yang akan diangkat Presiden untuk menjadi Menterinya tetapi terhalang oleh UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang  Kementrian Negara, karena pasal 22 ayat (2) huruf f menyatakan “Untuk diangkat menjadi Menteri, seseoarang harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana” sementara putusan MK tahun 2009 pernah menyatakan mantan narapidana yang telah menjalani hukuman dan mengakui kesalahannya kepada publik berstatus sama seperti warga sipil lain serta memiliki hak politik yang sama, lalu mana yang harus kita tempuh, menaati putusan MK yang melekat prinsip erga omnes ataukah menaati UU yang berlum pernah diuji MK? Mengingat ada permasalahan substansi objek hukum yang sama berkaitan dengan “hilangnya hak politik mantan terpidana”.

Dalam prespektif Konstitusi, KPU mengabaikan pasal 28J(2) UUD 1945 bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU”, pasal tersebut  berlaku untuk semua kategori hak asasi manusia, artinya semua hak asasi manusia dapat dibatasi asalkan pembatasan itu dengan UU, apalagi diperkuat “ruh” original intent pembentuk UUD 1945 bahwa seluruh HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi (derogable rights). Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa HAM dapat dibatasi dengan UU, juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie) HAM yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur Pasal 28J UUD 1945. Dalam prespektif politik hukum, Menteri Hukum dan HAM  sempat menolak untuk mengundangkan PKPU No.20/2018 karena menyadari bahwa PKPU tidak boleh memunculkan norma yang menghilangkan hak politik mantan terpidana korupsi, disini kita dapat menarik kesimpulan bahwa Pemerintah sebagai pemilik fungsi “legislasi terbatas” yang mengundangkan UU No.7/2017 tau betul bahwa PKPU sudah “melenceng” dari tuntunan UU maupun Konstitusi.

KPU harus menyadari bahwa PKPU bukanlah sebuah instrumen hukum yang dapat membatasi hak politik seorang mantan terpidana korupsi dan tidak pernah ada satupun pasal dalam UU No.7/2017 memerintahkan agar mendelegasikan pembatasan hak politik melalui PKPU. Sikap KPU ini akan menjadi preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan karena jika KPU bisa membatasi hak asasi seseorang dengan bermodalkan peraturan dibawah UU (PKPU) maka tidak tertutup kemungkinan lembaga-lembaga negara lain mengikuti jejak yang sama. Misalkan,  bisa saja Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak permohonan sertifikat hak milik bagi mantan terpidana bandar narkoba dengan bermodalkan Peraturan KaBPN, atau bisa saja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) menolak permohonan pengurusan jaminan kesehatan bagi mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak dengan hanya bermodalkan Peraturan BPJS. Dan kalaupun mau di”adu” legalitasnya PKPU, PerKaBPN dan Peraturan BPJS maka  masing-masing memilki ruang legalitas yang sama-sama kuat karena didasari UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 8 ayat (1) dan (2) berbunyi “Jenis Peraturan Perundang-undangan mencakup peraturan yang ditetapkan oleh badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.

Persoalan korupsi adalah persoalan bersama rakyat maupun pemerintah, KPU memang mempunyai niatan baik dalam peroalan korupsi yang sudah mengakar diIndonesia, rakyat tidak mau kecolongan lagi untuk memilih wakil rakyat yang berpotensi untuk korup, tapi niatan-niatan baik itu harus juga dibarengi dengan cara yang benar pula, tidak bisa pula kita maklumi niatan baik tapi dengan cara menerobos prosedur hukum yang ada, satu sisi KPU ingin menciptakan pejabat yang bersih tapi sisi lain KPU justru melampaui apa yang diperintahkan UU sehingga lahirlah kesewanang-wenangan. Maka dalam Negara Hukum kesewenang-wenangan sebuah lembaga yang berkuasa harus diperbaiki terlebih dahulu barulah penyelesaian korupsi dapat tercapai. Dengan demikian KPU sebagai penyelenggara pemilu harus menjamin mewujudkan pemilu yang adil, berintegritas dan menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu dengan memberikan kepastian hukum.

Penulis: Rachmad Oky S, SH.,MH (Dosen Hukum Tata Negata FH UNILAK / Direktur Eksekutif Peneliti Konstitusi Gurindam Center)

Berita Lainnya

Index