Pendekatan “Tafsir Konstitusi ” Pasal 7 UUD 1945 (Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden)

Pendekatan “Tafsir Konstitusi ” Pasal  7 UUD 1945 (Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden)

Oleh:
Rachmat Oky, S.H., M.H. Dosen  Hukum Tata Negara Fak. Hukum Unilak)

Dalam waktu dekat masyarakat akan mengetahui siapa pasangan calon Presiden (capres) dan Wakil Presiden (wapres) yang akan diusungkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, setidaknya paling lama 8 (delapan) bulan sebelum  pemungutan suara, partai politik harus mendaftarkan pasangan capres dan cawapres yang mereka usung. Dalam mengajukankan calon, partai politik terikat oleh perintah Pasal 7 UUD 1945 bahwa calon yang diusung tidak pernah menjabat selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama sebagai Presiden maupun Wapres. Namun, belakangan muncul penafsiran yang berbeda, bahwa pembatasan masa jabatan wapres hanya berlaku terhadap 2 (dua) kali masa jabatan yang dipilih secara berturut-turut, sisi lain ada yang mempertahankan bahwa pembatasan masa jabatan wapres tanpa memperhatikan apakah dipilih berturut-turut ataupun tidak berturut-turut 2 (dua) kali masa jabatan.

Polemik ini berawal judicial review yang dimohonkan oleh Partai Persatuan Indonesia (Perindo) di Mahkamah Kontitusi (MK) terhadap Pasal 169 huruf “n” UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berbunyi “belum pernah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”, kepentingan Perindo dalam mengajukan uji materi masa Wapres salah satunya ingin memberi kepastian hukum terhadap norma pembatasan masa jabatan Wapres, semakin “menarik”nya, Wapres Jusuf Kalla akan masuk menjadi pihak terkait dalam  permohonan uji materi di MK tersebut. Terlepas apakah ada yang mempertanyakan kenegarawanan Jusuf Kalla atau kepentingan politik tertentu ataupun masalah-masalah yang mempertanyakan legal standing Perindo dalam pengujian UU Pemilu, di sini penulis fokus terhadap “Pendekatan Tafsir Konstitusi” terhadap masa jabatan Presiden dan Wapres yang dituangkan dalam Pasal 7 UUD 1945 dan Pasal 169 huruf “n” UU No.7/2017.

Sebenarnya Pasal 7 UUD 1945 saat ini merupakan hasil dari perubahan pertama UUD 1945 pada oktober 1999, pada awalnya pasal 7 berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, setelah adanya amandemen, maka Pasal 7 tersebut berubah dengan bunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Lalu mengapa Pasal 7 tersebut menjadi salah satu pasal yang “urgen” untuk dirubah ketika amandemen UUD pada tahun 1999  hingga 2002?

Merujuk sejenak kepada penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) yang memberi arahan bahwa “Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit conctitutionnel) suatu negara tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal UUD saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana praktiknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen hintergrund) dari UUD itu. UUD negara manapun tidak dapat dimengerti  kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin”. Penjelasan tersebut jika kita kaitkan dengan Pasal 7 UUD 1945 sebelum maupun setelah amandemen patut juga untuk diterapkan agar kita dapat mengerti aliran pikiran apa yang menjadi dasar dari sebuah pasal maupun isi keseluruhan UUD.

Jika ingin mengulik lebih jauh, tidak lama setelah negara Indonesia mengesahkan UUD pada tanggal 18 agustus 1945 (sehari setelah kemerdekaan), ada beberapa gerakan yang ingin meniadakan keberlakuan UUD 1945 dengan alasan bahwa pengesahan UUD 1945 akan memunculkan pemerintahan yang otoriterisme dan alasan lain yang muncul adalah UUD 1945 berwatak fasisme, aturan peralihan Pasal IV UUD 1945 menjadi pemicu potensi “Fasisme Pemerintah” bahwa sebelum lembaga MPR, DPR dan DPA terbentuk maka kekuasaan tersebut dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Gerakan tersebut dimunculkan oleh kelompok pemuda progresif seperti Sjahrir dan  BM Diah yang menyimpulkan UUD 1945 yang disahkan akan membentuk pemerintahan yang fasis dan otoriter.
Dalam aspek suasana kebatinan, Soekarno pernah menyatakan “...Nanti kalau kita telah bernegara didalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna, Tuan-tuan tentu mengerti bahwa ini adalah sekedar UUD Sementara, UUD kilat...”. Pernyataan Soekarno tersebut jelas mengakui bahwa UUD 1945 yang disahkan bukanlah konstitusi yang sempurna, masih banyak kelemahan-kelemahan dalam UUD 1945 termasuk salah satunya ketiadaan sistem pembatasan kekuasaan, dan wajar saja dapat kita menyimpulkan bahwa ada ketakutan-ketakutan apabila kekuasaan itu tidak dibatasi oleh konstitusi. Namun, dalam kondisi objektif alasan Soekarno yang mengatakan UUD belum sempurna karena ketika itu masih dalam suasana perang dan peralihan kekuasaan, yang terpenting Indonesia merdeka dan memiliki hukum dasar, maka tidak mungkin membuat UUD yang sempurna.

Ketidaksempurnaan konstitusi memang berpotensi lahirnya otoriterisme, namun sebenarnya kelemahan konstitusi itu sudah dibendung agar tidak terjadi kekuasaan yang sewenang-wenang misalnya dalam penjelasan UUD 1945  bahwa “Indonesia berdasarkan atas hukum”, pencantuman konsep negara hukum dalam penjelasan UUD 1945 dilatar belakangi oleh kekalahan dua negara yang menerapkan “absolutisme”, kekalahan fasisme Jerman dibawah Adolf Hitler dan fasisme Jepang di bawah  Tenno Heika, oleh sebab itu kita dapat melihat bahwa dalam penjelasan UUD 1945 mempertentangkan antara “rechstaat” dengan “machtsstaat” dan juga memperjelas sistem konstitusional, yakni pemerintahan berdasarkan konstitusi (hukum dasar) tidak berdasarkan kekuasaan tidak terbatas (absolutisme).

Kekuasaan memang tidak terbatas, berjalannya waktu memang terlihat pada 2 (dua) Presiden yang memakai sistem UUD 1945 (sebelum amandemen), Soekarno mampu mempertahankan kekuasaan selama 22 tahun (18 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), kekuasaan Soekarno ditempuh dengan pergantian konstitusi mulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950 yang berakhir dengan Dekrit Presiden tahun 1959 salah satu isinya mengembalikan konstitusi ke UUD 1945 naskah awal kemerdekaan, bahkan setelah kembali pada konstitusi awal kemerdekaan, Soekarno mampu meng”ikrar”kan sebagai Presiden Seumur hidup melalui TAP MPR No.III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.

Pada era Soeharto mampu mempertahankan kekuasaan selama lebih kurang 32 Tahun (12 Maret 1967 – 21 Mei 1998) namun dalam menjalankan kekuasaannya Soeharto tidak pernah dihadapkan pada pergantian konstitusi, karena bagi Soeharto UUD 1945 merupakan “Zona Nyaman” bagi keberlangsungan kekuasaan, bahkan Soeharto pernah berujar “...Bila perlu menculik anggota MPR dengan maksud agar sidang untuk mengubah UUD 1945 tidak mencapai kuorum dua pertiga...”, pernyataan Soeharto tersebut memang gambaran dan konsekuensi apabila kekuasaan dipegang tanpa batasan masa jabatan dan itu tidak begitu mengherankan karena memang Pasal 7 UUD 1945 (sebelum amandemen) memang tidak menjelaskan secara eksplisit tentang batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Hingar bingar penyalahgunaan kekuasaan Soeharto berakhir pada tahun 1998 dan dibarengi dengan beberapa “agenda reformasi”, salah satunya adalah “Amandemen UUD 1945”. Semangat amandemen muncul melihat Soeharto dapat memimpin selama 32 tahun dan Soekarno dapat menyatakan dirinya sebagai Presiden seumur hidup, hal itu terjadi dikarenakan tidak adanya hukum yang menjadi batasan dalam melakukan jabatan atas sebuah kekuasaan. Apabila tidak dilakukan amandemen maka pemerintahan selanjutnya dapat melakukan hal yang sama. Namun, ada juga beberapa pihak yang menolak amandemen dengan alasan bahwa otoriterisme yang muncul bukanlah disebabkan oleh isi UUD 1945 melainkan oleh pemegang kekuasaan yang telah membangun kekuasaan politik secara tidak demokratis.

Menurut Mahfud MD, alasan otoriterisme muncul bukan karena isi UUD, melainkan karena pelaksanaannya oleh rezim penguasa memang tidak dapat diterima karena berdasarkan hasil studi, otoriterisme justru dibangun melalui peluang-peluang yang ada di dalam UUD 1945, lebih lanjut Mahfud MD menyatakan beberapa alasan yang dijadikan pintu masuk untuk membangun otoriterisme kekuasaan yakni, sistem politik eksekutive heavy, adanya pasal-pasal yang multi interpretable, terlalu banyaknya atribusi kewenangan kepada legislatif untuk mengatur hal-hal penting di dalam undang-undang dan lebih percaya pada semangat penyelenggara negara tanpa imbangan sistem yang kuat.

Dalam permasalahan konkrit, Pasal 7 UUD 1945 (sebelum amandemen) merupakan bagian dari masuknya peluang-peluang otoriterisme oleh rezim penguasa, Pasal 7 yang menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang  jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Menurut Saldi Isra, ketentuan bunyi pasal tersebut secara jelas mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Ketidakjelasan dan multitafsir itu muncul  dengan adanya frasa “...seudahnya dapat dipilih kembali” karena tidak ada penegasan atau pembatasan untuk berapa kali seseorang dapat menduduki jabatan presiden dan wakil presiden, tafsir yang dikembangkan adalah tanpa masa jabatan yang jelas (fix-term) atau durasai tanpa batas.

Gaung reformasi ini terus dilancarkan hingga MPR pada tanggal 19 oktober 1999 menjalankan fungsinya untuk mengamandemen UUD 1945  didukung gerakan civil society yang lebih besar keberadaannya dan oleh sebagian besar partai politik peraih kursi pada pemilu 1999 (Golkar, PKB,PAN,PBB,PPP) hingga didukung oleh semua perguruan tinggi saat itu. Salah satu hal yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dan bersifat mendasar untuk diamandemen yang pertama kali oleh MPR adalah pasal 7 UUD 1945, dengan adanya perubahan tersebut maka yang sebelumnya Pasal 7 berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, setelah adanya amandemen maka Pasal 7 tersebut berubah dengan bunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”, yang menjadi penegasan perubahan dalam Pasal 7 itu adalah penambahan frasa “...dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. makna penambahan frasa tersebut ditujukan jabatan Presiden dan WaPres dibatasi hanya dua kali masa jabatan. Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan penafsiran masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden saat ini yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat menjelang pengajuan pasangan capres dan cawapres yang diusung partai politik untuk pemilu 2019?
Pendekatan Penafsiran Konstitusi
Pendekatan penafiran Textualist/Strict Constructionism, di mana penafsiran semata-mata didasari kepada pernyataan pada text dalam UUD dan dipertegas dalam UU sebagai terusannya, maka bunyi Pasal 7 UUD 1945 setelah amandemen yang diteruskan substansinya ke dalam pasal 169 huruf “n” UU No.7/2017, kita melihat di sini ada pengulangan substansi norma yang tidak berubah bunyinya, kesimpulannya UUD harus dimaknai sebagaimana pembuat UU memaknainya sehingga ketika sebuah kalimat dalam UUD digunakan dalam sebuah UU, maka menganalisisnya haruslah sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat UU terhadap arti dari kalimat tersebut. Ketika Pasal 169 huruf “n” berbunyi “belum pernah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” dan itulah maksud pembatasan yang dimaksud dari Pasal 7 UUD 1945 tanpa menafsirkan kembali apakah dipilih secara berturut-turut ataupun tidak berturut-turut.

Pendekatan penafsiran metode Historical/ Original Intens, di mana penelusuran kalimat dalam pasal tersebut harus dipahami melalui analisis sejarah dalam penyusunan kalimat tersebut, dikarenakan substansi norma Pasal 169 huruf “n” tidak berbeda dengan bunyi norma Pasal 7 UUD 1945 maka analisis sejarah yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah analisis terbentuknya Pasal 7 UUD 1945, misalnya dalam rapat paripurna ke-10 sidang umum MPR RI pada tanggal 16 Oktober 1999 pernah disinggung juru bicara Fraksi partai Golkar Immanuel E. Blegur yang menyatakan “...Jabatan atau kekuasaan yang terlampau lama ternyata menjadi sangat eksesif, yakni terpusat dan terakumulasinya kekuasaan hanya pada satu tangan sehingga menjadi sentralistis dan cenderung otoriter”. Pada Fraksi Reformasi dengan juru bicara Ahmad Farhan Hamid menyatakan “...kekuasaan Presiden untuk memimpin pemerintahan perlu dibatasi, demikian juga masa jabatan Presiden perlu dibatasi paling lama hanya dua kali masa jabatan...”. ” dengan kata lain Pasal 7 dimunculkan penekanannya hanya atau cukup dua kali masa jabatan saja dan tidak perlu dipertanyakan lagi apakah dipilih secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.

Pada keesokan harinya tanggal 17 oktober 1999 dalam rapat paripurrna ke-11 sidang umum MPR RI, Selamet Efendi Yusuf sebagai ketua rapat menyatakan “...kemudian, Pasal 7 itu sudah diubah, karena Pasal 7 ini pada aslinya berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, sedangkan bunyi pasalnya yang baru bisa kita lihat di sana, tapi ini  adalah pindahan dari TAP XIII/MPR/1998”. Ini menandakan bahwa Pasal 7 UUD 1945 (setelah amandemen) merupakan pindahan dari Pasal 1 dari TAP XIII/MPR/1998 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Pindahan pasal tersebut berawal dari sejarah bagaimana TAP XIII/MPR/1998 dibentuk, ketika itu setelah berakhirnya kekuasaan Soeharto, MPR langsung menyadari bahwa tidak adanya pembatasan berapa kali Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali untuk memegang jabatannya telah menimbulkan berbagai penafsiran yang merugikan kedaulatan rakyat/kehidupan demokrasi, untuk menghindari berbagai penafsiran berapa kali seorang Presiden dan WaPres dapat dipilih kembali menurut UUD 1945, maka perlu adanya TAP MPR tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Pendekatan penafsiaran Funcional/Structural, di mana penafsiran harus didasari oleh sistem pemerintahan yang diaunut dalam UUD 1945, maka sistem pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 adalah sistem Presidensialisme, dalam sistem presidensil harus ada terdapat pembatasan periodisasi masa jabatan Presiden/Wapres dan dalam sistem tersebut kekuasaan eksekutif hanya terletak kepada  Presiden dan Wakil Presiden yang tidak dapat dipisahkan, maknanya jika ada penafsiran yang hanya mempermasalahkan masa jabatan Wakil Presiden maka penafsiran tersebut mengabaikan sistem Presidensil yang kita anut selama ini, karena berusaha memisahkan atau mempertentangkan kekuasaan Eksekutif Presiden dan kekuasaan Eksekutif Wakil Presiden.

Pendekatan penafsiran Sistematis dan Gramatikal, di mana Pasal 7 UUD 1945 bisa dikaitkan dengan Pasal 4 UUD 1945 tentang kekuasaan pemerintahan negara, yakni bunyi Pasal 4 ayat (1)(2) menyatakan “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD dan dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Namun, jika ada yang menafsirkan selama dalam praktik sejarah yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan hanya dilakukan oleh Presiden, maka dapat dibantah dengan metode penafsiran sistematis ini, yang mana walaupun dalam praktik kekuasaan itu dilakukan oleh Presiden maka seorang Wakil Presidenpun seharusnya bertanggung jawab atas kekuasaan itu karena Pasal 4 ayat (2) menyatakan “dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Maknanya praktik kekuasaan dalam UUD 1945 harus dipandang bersama-sama menjalankan kekuasaan itu oleh satu orang Wapres, dan mengingat potongan frasa dalam Pasal 4 ayat (2) yang tertera adalah “...dibantu” namun bukan “....dapat dibantu”. Jadi agak sulit kiranya kita hanya menyandarkan “otoriterisme” hanya dilakukan oleh Presiden tetapi Wapres terlepas dari tuduhan itu.

Pada tahun 2003 pernah juga terjadi sedikit polemik yang berkaitan dengan persyaratan Capres dan Cawapres dengan perkara Nomor 008/PUU-II/2004 tentang uji materi UU No.23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, ketika itu Abdurahman Wahid (Gusdur) kembali berupaya untuk maju sebagai Calon Presiden pada pemilu tahun 2004 namun terganjal Pasal 6 poin “d” UU No.23/2003 yang menyatakan “mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”, menariknya norma Pasal 6 poin “d” tersebut mempunyai kesamaan kalimat dengan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “....serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Feri Amsari, dalam putusan perkara Nomor 008/PUU-II/2004, MK sama sekali tidak menjelaskan tujuan konstitusional terbentuknya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, tidak terdapat pertimbangan yang memaparkan peristiwa pembahsan risalah-risalah sidang MPR  yang terjadi pada masa perubahan ketiga UUD 1945. Memang MK dalam pertimbangannya mengutip pandangan-pandangan fraksi-fraksi yang terjadi dalam persidangan pembentukan UU No.23/2003, namun penempatan risalah  sidang pembahasan UU sebagai pertimbangan Constitusional Inten tentu tidak tepat, MK semestinya menjelaskan dalam putusannya bagaimana perdebatan yang timbul pada perubahan ketiga UUD 1945 berkaitan dengan Pasal 6 ayat (1) UUD tersebut.

Polemik penafsiran masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden di UU No.7/2017 dengan polemik perakara nomor 008/PUU-II/2004 tentang uji materi UU No.23/2003 memang ada kesamaan, yakni kesamaan substansi norma yang tertuang dalam UUD diulang kembali dalam UU, pada masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dimuat dalam Pasal 7 UUD 1945 namun substansi normanya kembali diulang pada Pasal 169 huruf “n” UU No.7/2017. Kini kita tinggal menunggu saja hasil uji materi terhadap pasal tersebut, apakah nanti MK konsisten dengan pertimbangan yang pernah mereka putus sebelumnya, yakni hanya melihat historis dari pembentukan UU dan tidak melihat historis dari pembentukan UUD atau MK mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain yang mereka yakini, apapun nanti putusan MK maka kita juga harus membudayakan menghormati putusan MK mengingat juga sifat putusan MK adalah final dan binding.

Pendekatan “tafsir konstitusi” memang diperlukan agar UUD 1945 mampu berjalan mengikuti perkembangan zaman dan tidak menjadi “sampah” teks yang tidak bisa di apa-apakan, karena David A. Strauss pernah berujar “peradaban selalu mengalami perubahan sehingga mustahil konstitusi mengikuti lajunya”. Terakhir penulis ingin menyadurkan “petatah petitih” dari Saldi Isra bahwa “Konstitusi adalah sebuah teks, yaitu benda mati yang berisi rangkaian kalimat. Meskipun demikian, dari sudut filosofi, konstitusi adalah teks yang “hidup”. Karena dari fungsinya, konstitusi harus berisi pasal-pasal yang mampu melewati berbagai zaman. Itu sebabnya dalam kajian hukum tata negara dikenal istilah “the living constitution”. Sayangnya sebagai buatan manusia, sering kali pasal-pasal konstitusi gagal “hidup” dan mampu berlari mengikuti perkembangan peradaban manusia”.

Berita Lainnya

Index