Politik Mental Tinggi

Politik Mental Tinggi
Ilustrasi Internet

RIAUREVIEW.COM -Pertarungan politik seperti pemilu presiden hari ini, di mata sebagian besar rakyat sesungguhnya bukanlah persoalan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Bagi masyarakat secara umum tentunya mereka berharap bahwa siapapun pemenangnya maka pemerintahan tersebut dapat membawa perbaikan dalam hal kesejahteraan dan kehidupan mereka.

Pemerintahan yang menghasilkan sebuah kebermanfaatan dan kemaslahatan kepada peri kehidupan rakyat pertama-tama harus menyadari bahwa yang paling utama adalah memastikan hadirnya 'keberesan-keberesan' dalam aspek dan proses politik yang menjadi fundamental sebuah eksistensi negara-bangsa.

Politik pertama-tama semestinya menyangkut aspek partisipasi rakyat yang sejati.

Partisipasi yang sejati itu seperti apakah? Tentunya bukan partisipasi yang hanya sekadar bertumpu pada angka ataupun jumlah, statistik mayoritas-minoritas, atau penuh dengan euforia dan citra tapi sejatinya dangkal dan artifisial.

Namun partisipasi yang berdasarkan kualitas, sebuah demokrasi yang bermutu, sebuah politik yang melahirkan keadaban, kesadaran, visi kesejahteraan yang luas serta keberlanjutan, dan karenanya bermanfaat bagi seluruh rakyat.

Guna menjadi sebuah demokrasi yang bermutu dan bermanfaat maka politik sebagai fundamental harus ditempatkan sebagai upaya penguatan sumber daya, watak dan nalar, kewarasan, dan kebajikan pada aspek tanggung jawab dan perilaku yang konstruktif.

Untuk itu, politik harus berlandas pada upaya pembentukan karakter atau watak individu yang positif, baik rakyatnya maupun para pemimpinnya.

Karakteristik watak individu yang positif pada gilirannya akan membangun sebuah watak karakteristik negara-bangsa yang positif pula. Warganya hebat, bangsanya kuat, negaranya selamat.

Pertandingan olah raga yang tujuannya menghibur dan mengajarkan sportifitas jika dilakukan penuh kecurangan dan akal-akalan, 'hanya demi menang', akan membawa rasa jengah terhadap tontonan yang tak bermutu, tak membawa nilai tambah, malah menginspirasi perilaku negatif.

Politik karenanya adalah nilai-nilai kebajikan, virtue, kemaslahatan bersama, bukan kepentingan 'aku' atau 'kami' yang menjadi tujuan, namun kepentingan 'kita' semua, 'kita bersama' sebagai sebuah keutamaan.

Oleh karenanya, sebuah kesenjangan sosial ekonomi adalah musuh bersama, ketimpangan Jakarta dan luar Jakarta adalah pengkhianatan cita-cita republik. Perilaku dan kepentingan (individu) yang korup dan menolak memahami tanggung jawab sosial sebagai sebuah bangsa yang berkeadilan adalah lawan politik negara-bangsa Pancasila.

Jika politik dipandang sebagai sebuah pertarungan, dalam konteks demokrasi liberal sebagai misal, maka para aktor politik harus memainkannya dengan penuh nilai-nilai dan jiwa ksatria. Saya menyebutnya sebagai politik mental tinggi. Sekali lagi, bukan asal aku dan kelompokku, atau asal mementingkan hasil atau kemenangan, namun kenyataannya menzalimi proses dan membunuh nalar serta moral.

Kemerdekaan Indonesia yang penuh liku, darah dan airmata diperjuangkan dengan politik mental tinggi ini. Oleh karena itulah pada setiap tanggal 17 Agustus kita selalu merayakan kemerdekaan Indonesia.

Kemerdekaan dari apa? Kemerdekaan dari watak dan perilaku eksploitatif dari sebuah sistem bernama kolonialisme, ekonomi-politik-sosbud, dari sejumlah kelompok manusia yang satu, yang merendahkan dan membatasi kemanusiaan serta memiskinkan kelompok manusia yang lain.

Kita merayakan kemerdekaan kita karena kita mampu melawan watak jahat eksploitatif tersebut. Kita melawan kolonialisme dengan politik mental tinggi, dengan kecerdasan, kejernihan sekaligus kesabaran, dengan watak dan jiwa ksatria, dengan keberanian dan kolektivitas yang menawan, 'sama rata-sama rasa'. Bukan karena kita penganut komunis! Tapi justru karena kita bangsa yang bertakwa kepada Tuhan, bergotong royong, dan paham bahwa agama apapun membenci kezaliman, kemunafikan, kepongahan, dan perpecahan!

Dilansir dari KOMPAS.com, 17 Agustus 1945 adalah sebuah momen kebenaran (moment of truth) yang tak terbantah. Sebuah puncak kemuliaan kita sebagai sebuah bangsa. Bersatu, bergerak, bertawakal, berdasarkan nilai-nilai kebajikan dan kebenaran tertinggi, dalam sebuah hikmat kebijaksanaan, partisipasi, tanggung jawab dan pengorbanan.

Kata terakhir ini menjadi paling penting dan penutup tulisan ini: pengorbanan. Hari-hari ini kita selalu menuntut hak diri dan kepentingan atau keuntungan kita sendiri. Mungkin ini penyakit sosial yang diwariskan oleh praktik politisi-politisi Orde Baru dan kemudian Orde Reformasi yang tamak, menang sendiri, dan eksploitatif terhadap rakyatnya. Akibatnya rakyat diajari untuk berjuang sendiri, memikirkan hidupnya sendiri, bertarung sendiri, dan 'saling curang saling sikut saling sikat' di antara mereka sendiri demi untuk hidup!

Para politisi kebanyakan kerap berpikir kepentingan dan benefit-nya sendiri dari berbagai ikhtiar dan negosiasi politik yang dilakukannya. Kita harus segera kembali sadar bahwa sebuah tujuan besar (kebangsaan) selalu mensyaratkan pengorbanan yang besar.

Orang-orang yang mewakafkan hidupnya dalam politik, menjadi elite pemimpin, semestinya fokusnya adalah kemaslahatan rakyatnya, bukan lagi mengutamakan diri, keluarga ataupun kelompoknya. Bukan kemenangan dan kekayaan yang dicari, namun kemuliaan hidup, pada pengabdian, pada kepentingan dan kemaslahatan terbesar, yakni rakyat, bangsa dan negara.

Sehingga bagi cita-cita kemerdekaan, dan bagi rakyat yang telah menyadari, bukan Jokowi atau Prabowo, yang harus dibela dan dimenangkan dalam Pilpres 2019. Mereka tidak begitu penting, yang penting adalah cita-cita dan janji kemerdekaan kita yang harus dimenangkan dan dijalankan oleh siapapun pemenangnya nanti.

Visi besar kita sebagai bangsa yang besar diselenggarakan dan dijaga bukan dengan cara-cara yang kerdil, medioker dan inferior. Bangsa ini, baik politik, ekonomi dan sosial kebudayaan, harus diselenggarakan dengan marwah politik dan kebangsaan yang tinggi, yang dijalankan dengan watak karakter yang sejati.

Siapapun pemimpin, dari tingkat daerah sampai nasional, legislatif maupun eksekutif, maka ia tak boleh memikirkan diri sendiri atau kelompoknya yang hanya membuatnya tampak menjadi seperti partikelir dan petualang politik yang ambisius dan penuh intrik mencari keselamatan sendiri.

Sikap pengorbanan melandaskan politik mental tinggi. Sikap pengorbanan inilah yang menyelamatkan politik dan demokrasi kita dari kebusukan dan kehancuran.

Tanpa pengorbanan dan rasa pengabdian tanpa pamrih, tak akan ada kemerdekaan. Partisipasi tanpa tanggung jawab dan ketulusan (kesukarelaan) hanya akan kebablasan dan menang-kalah. Tanpa berpuasa, tak akan ada hari raya.

Berita Lainnya

Index