APARAT SEBAGAI ALAT

APARAT SEBAGAI ALAT
Prama Widayat: Aktifis Alumni HMI dan Dosen FE Unilak

RIAUREVIEW.COM -Sungguh sangat menyedihkan apa yang terjadi di Kota Pekanbaru pada hari Sabtu tanggal 25 Agustus 2018, dimana persekusi masih saja terjadi di alam demokrasi yang selalu diagungkan ini. Publik selalu diminta untuk bersikap dewasa dan bijak menghadapi situasi politik menjelang pemilihan presiden 2019, namun justru aparat kepolisian yang melanggaran aturan dalam menjalankan tugasnya, sebelumnya Kita lihat bagaimana alotnya proses negosisasi penyambutkan kedatangan Neno Warisman di Batam, persekusi terhadap beliau begitu “telanjang” untuk Kita lihat dan tidak ada proses hukum terhadap pelaku.

Apakah hal itu sudah selesai dan berharap tidak terjadi lagi dibumi pertiwi ini, tetapi itu hanyalah mimpi karena kejadian serupa, tetapi beda tempat dan waktu terjadi di Kota Pekanbaru. Persekusi menjadi tontonan publik dan yang menyedihkan dilakukan oleh aparat kepolisian kota pekanbaru.

Independensi Aparat Polisi

Publik tentu bertanya tentang netralitas aparat polisi yang bertugas menegakkan hukum sesuai aturan yang berlaku dan bukan menegakkan hukum sesuai pesanan sang bos besar, mustahil apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian Riau tanpa ada komando karena apa yang mereka lakukan sesuai instruksi atasan. Tindakan penghadangan hingga kekerasan fisik dilakukan untuk mengintimidasi pihak lawan politik, masyarakat tentu sudah cerdas siapa yang menggerakkan polisi hingga bertindak diluar dari tugas dan kewajibannya.

Tidak ada hak kepolisian melarang seorang warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk masuk kesebuah provinsi selagi itu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melarang dan mengusir paksa seseorang merupakan sebuah tindakan melawan hukum dan pihak yang melakukan bisa dituntut secara hukum, sekalipun itu kapolda, kapolri hingga presiden karena semua warga negara sama dimata hukum. Barangkali jika hukum negeri ini sudah terbeli maka jangan harap keadilan akan datang, kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang diperbudak jabatan, sebagaimana lirik lagu Iwan Fals.

Apa yang terjadi di Batam dan Pekanbaru adalah babak baru arogansi aparat kepolisian terhadap warga negara yang ingin menyampaikan pendapatnya dimuka umum, kebetulan yang menyampaikan pendapat tersebut adalah pihak yang berseberangan dengan rezim yang sedang berkuasa, kita bisa mundur kebelakang ketika menjelang aksi 212 untuk kasus penistaan agama, betapa pilu dan menyedihkan apa yang dialami oleh tokoh-tokoh nasional seperti Rachmawati Soekarno Putri, Kivlan Zein dan kawan-kawan, mereka dituduh berbuat makar, penghadangan peserta aksi yang datang dari berbagai daerah yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan dalih keamanan yang mereka rancang sedemikian rupa.

Kita lihat aksi heroik santri ciamis yang berjalan kaki ke Jakarta, disambut gegap gempita oleh warga masyarakat sepanjang jalan yang mereka lalui, tidakkah malu aparat melihat animo masyarakat yang tidak dibayar sedikitpun untuk datang berbondong-bondong menyampaikan aksinya. Masyarakat lebih indepen dalam melihat kasus yang terjadi, mereka bukan preman nasi bungkus, mereka bukan preman bayar tetapi mereka adalah orang-orang yang masih memiliki prikemanusiaan.

Hukum Sudah Terbeli

Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa yang dikatakan menyampaikan pendapat dapat berupa: unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan mimbar bebas. Kemudian tidak semua tempat diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat, sebagaimana terdapat dalam pasal 9 ayat 2 (a) bahwa pelabuhan udara dilarang dijadikan tempat untuk menyampaikan pendapat. Tetapi hal ini lagi-lagi kita lihat, begitu gampangnya dilakukan oleh oknum-oknum ormas tertentu di Bandara Hang Nadim Batam, dimasa sekelompok masa masuk kedalam bandara dan mempersekusi Neno Warisman, aparat yang ada tidak bertindak cepat justru melakukan pembiaran sehingga kejadian tersebut sempat membuat suasana menjadi tegang dan akhirnya Neno Warisman bisa dibebaskan.

Hal serupa terjadi dibandara Sultan Syarif Kasim II Pekanru provinsi Riau, lagi-lagi bandar dijadikan tempat menyampaikan pendapat dimuka umum oleh segelintir orang untuk menolak kedatangtan Neno Warisman di Pekanbaru, bukan sekedar aksi tetapi mereka membakar ban bekas, melempari mobil yang ditumpangi Neno Warisman, sungguh biada dan tidak terpuji perilaku tersebut. Perhatian kembali kepada aparat penegak hukum, kenapa hal ini dilakukan pembiaran karena jika aparat bertindak cepat dan tanggap tentunya masa ini tidak diperbolehkan aksi dibandara SSQ II Pekanbaru.

Lebih memilukan lagi adalah terjadi pemulangan paksa terhadap seorang warga negara yang ingin datang baik-baik ke tanah melayu untuk menyampaikan aspirasinya yang dijamin undang-undang, justru mendapatkan perlakuan yang sangat tidak menyenangkan, beliau dipaksa balik kembali ke Jakarta dan bahkan sempat terjadi adu fisik. Bahkan aparat menggunakan senjata didalam area bandara untuk memaksa pulang, padahal warga negara yang dihadapi adalah seorang perempuan tidak bersenjata tetapi diberlakukan bagaikan tahanan penjahat perang.  

Dua kejadian yang terjadi semakin membukakan mata kita bahwa hukum sudah terbeli, lantas apakah kita masih berharap hukum itu menjadi panglima dinegeri ini, hal terbalik justru terjadi untuk aksi Pro Jokowi yang aman lancar sentosa dilaksanakan, tanpa ada intimidasi dari pihak aparat kepolisia maupun ormas-ormas pendukung rezim. Sungguh pasca reformasi, kondisi kebebasan berpendapat dimuka umum hari ini adalah paling buruk pasc tahun 1998 dan mungkin lebih buruk dari orde baru. Maling teriak maling dan yang rampok teriak rampok.

Usut Tuntas

Dua kasus yang terjadi di Batam dan Pekanbaru, harus diusut tuntas sampai pelaku dijatuhi hukuman setimpal dan aparat polisi yang terlibat dalam persekongkolan jahat harus dijatuhi sangsi pemecatan jika polisi masih ingin dianggap netral dalam penegakan hukum, karena rakyat sudah mulai muak dengan sandiwara penegakan hukum, jika yang menjadi pelaku adalah pihak pro rezim maka hukum seakan tumpul dan nyaris tidak bersuara, tetapi jika pelaku adalah pihak seberang istana maka hukum akan berteriak dari sabang hingga merauke dan akan muncul kelompok manusia yang berkata aku pancasila, aku Indonesia namun sejatinya mereka bertindak berbeda dari ucapannya.

Sudahilah sandiwara ini, aparat polisi kembali kepada tugas sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, bukan melindungi siapa yang bayar. Tidak mungkin ada asap tanpa ada api, begitulan rasa kecewa masyarakat terhadap penegakan hukum akhir-akhir ini, instrumen hukum seolah dijadikan alat untuk mengkebiri lawan politik dan siapa saja yang berbeda haluan dengan rezim. Cita-cita reformasi semakin jauh jika perilaku penegakan hukum masih seperti. Pembiaran dilakukan terhadap pelanggar UU No 9 tahun 1998, maka bukan mustahil akan terjadi lagi didaerah-daerah lain upaya penghadangan terhadap warga negara yang ingin menyampaikan hak-hak nya secara konstitusional. 

Jangan ada lagi upaya bar-bar untuk mengintimidasi lawan-lawan politik dengan memanfaatkan ormas-ormas tertentu, sehingga gesekan horizontal akan terjadi. Tugas negara melalui aparat penegakan hukum adalah penegakan hukum tidak pandang bulu, selagi dia manusia yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini maka berhak untuk ditindak sesuai hukum yang berlaku karena hanya tuhan yang tidak bisa dihukum. Jangan sampai aparat dijadikan alat penguasa untuk mengkebiri penegakan hukum dalam alam demokrasi.

Berita Lainnya

Index