WASPADA KRISIS 10 TAHUNAN

WASPADA KRISIS 10 TAHUNAN
Aktifis dan Dosen Ekonomi Univ. Lancang Kuning Pekanbaru (masih muda dan cerdas).(Foto: Riaureview.com/hbj/2018)

PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM -Memperhatikan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (USD) beberapa hari ini sungguh sangat memprihatinkan atau bisa dikatakan berada pada level waspada. Walaupun pemerintah mengatakan kondisi ini masih dalam skala yang wajar karena ini imbas dari kondisi krisis keuangan Argentina. Nilai tukar rupiah terhadap USD berdasarkan pantauan bank  Indonesia berada pada angka Rp 14.914 pada tanggal 4 September 2018 dimana rupiah terus mengalami tekanan.

Pemerintah melalui menteri koordinator bidang perkonomian mengatakan lemahnya nilai rupiah akibat krisis Argentina, walaupun Argentina sudah mendapatkan pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) sebesar USD 50 Milyar mereka masih mengalami krisis karena capital outflow nya masih tinggi, ini juga dirasakan oleh beberapa negara asia tenggara seperti Malaysia dan Thailand.

Pelemahan nilai tukar rupiah tidak bisa hanya dilihat dari krisis yang dialami oleh negara Argentina, karena tekanan terhadap rupiah sudah terjadi sepanjang tahun 2018 ini, dimana nilai rupiah terus terjun bebas diatas Rp 14.000 dan selama tahun 2018 berada pada nilai terbaik pada posisi Rp 13.263 (15 Januari 2018) dan terus mengalami depresiasi hingga Rp 14.914 (4 September 2018).

Kondisi 1998

Krisis tahun 1998 bukan terjadi secara kebetulan, tetapi sudah akumulasi sejak awal 1990-an, tetapi hal ini tidak terlalu dirasakan karena pada saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata diatas 7 persen per tahun. Nilai inflasi rata-rata 9 persen per tahun, lalu mengalami penurunan hingga 5,1 persen pada Juni tahun 1997. Hal ini tentu dianggap sebuah keberhasilan oleh orde baru padahal sesungguhnya dibalik itu semua sebuah krisis yang tidak pernah dibayangkan akan terjadi sehingga menjadi akhir dari orde baru karena krisis ekonomi diiringi oleh krisis sosial dimasyarakat.

Kondisi rupiah pada tahun 1997 masih stabil karena adanya aliran uang masuk melalui investasi didalam negeri, neraca pembayaran dalam rentang waktu 1990-1996 tumbuh rata-rata 14% per tahun namun mengalami penurunan menjadi 3 persen pada pertengahan tahun 1997, import Indonesia juga menjadi 10 persen dari sebelumnya 15 persen. Sehingga defisit transaksi berjalan Indonesia diwaktu itu menjadi 4 persen menjelang terjadinya krisis tahun 1998.

Defisit ini masih bisa diimbangi oleh investasi yang masuk tetapi kondisi ini tidak berlangsung lama karena badai krisis segera melanda. Kita perlu ingat krisis dimulai dari Thailand awal Juli tahun 1997 dimana nilai bath mengalami tekanan yang cukup besar, dari sinilah modal keluar dari negara-negara asia yang pada akhirnya nilai mata uang kawasan mengalami dampak yang cukup signifikan termasuk nilai rupiah.

Bank Indonesia melakukan intervensi dengan menjual cadangan devisa agar rupiah tidak tertekan, tetapi justru hal ini berdampak pada turunnya cadangan devisa, sementara nilai rupiah yang coba dipertahankan pada kisaran Rp 2.000 – Rp 2.500 merangkak naik menjadi Rp 4.000 pada akhir 1997.  Masuk awal tahun 1998 rupiah dibuka pada posisi Rp 6.000 kemudian mencapai Rp 13.000 dan menguat Rp 8.000 pada April 1998, pada bulan Mei 1998 Indonesia masuk periode suram dimana terjadi kerusuhan dengan kasus penembakan mahasiswa, sehingga makin membenankan nilai rupiah dan mencapai titik tertinggi pada posisi Rp 16.650 pada juni 1998.

Untuk mengatasi ini, pemerintah pada bulan Agustus dan September 1998 melakukan kebijakan moneter dengan menaikan suku bunga dari 11,62 persen menjadi 30 persen. Proyek-proyek besar ditunda karena memakan devisa yang cukup besar. Hutang Indonesia pada Mei 1998 sebesar USD 68,7 Miliar atau Rp 551,4 Triliun, saat itu rasio utang mencapai 57,7 persen terhadap  PDB. Pergantian pemerintahan dari Soeharto kepada BJ Habibie (1998-1999) membuat hutang membengkak menjadi USD 132,2 Miliar atau Rp 938,8 Triliun dan rasio hutang  mencapai 85,4 persen terhadap PDB.

Kondisi 2008

Kita mengetahui bahwa beberapa tahun sebelum terjadinya krisis, diawali dengan bencana tsunami tahun 2004 di Aceh yang melumpuhkan sebagian besar ekonomi masyarakat disana, hal ini tidak sampai berdampak secara keseluruhan terhadapa ekonomi nasional karena segera ditanggapi dengan cepat oleh pemerintah dan dunia internasional. Bencana ini membawa hikmat dengan perjanjian perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh merdeka di Helsinski dan mengakhiri konflik yang bertahun-tahun terjadi.

Sejalan dengan itu harga minyak dunia pada akhir 2004 mengalami kenaikan dari USD 30 per barel menjadi USD 40 per barel, hal ini juga terus mengalami peningkatan hingga akhir tahun 2005 menjadi USD 60 per barel dan harga premium didalam negeri berada pada harga Rp 2.400 per liter. Kondisi APBN pada tahun 2005 memiliki porsi 20 persen untuk subsidi BBM, ditambah impor  migas yang juga memberatkan APBN. Puncak kenaikan harga minyak dunia terjadi tahun 2008 dengan harga USD 120 per barel, tentunya pemerintah menempuh kebijakan menaikan harga BBM pada bulan Juli 2008 dimana harga premium dalam negeri berada pada harga Rp 6.000 per liter. Tentunya kebijakan yang tidak populis ini menimbulkan gejolak penolakan dimasyarakat, mahasiswa hingga parlemen.

Tetapi pemerintah harus mengambil kebijakan tersebut demi menyelamatkan APBN, walaupun masih banyak alternatif lainnya yang bisa dilakukan daripada mengorbankan masyarakat seperti pengurangan biaya protokoler dan perjalanan dinas mulai dari pejabat eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Defisit APBN tahun 2008 minus Rp 4 Triliun, pertumbuhan ekonomi berada pada angka 5 persen tahun 2004 dan mencapai 6 persen tahun 2008, kemudian inflasi pada rentang waktu 2004 – 2008 berada pada angka 9 persen yang timbul karena kenaikan harga BBM. Krisis tahun 2008 mengakibatkan beberapa perusahaan harus gulung tikar dan otomatis terjadi PHK dibeberapa daerah. Perlu diketahui nilai kurs rupiah awal januari 2008 berada pada Rp 9.323 dan Rp 10.895 pada akhir tahun 2008, nilai rupiah paling tertekan berada pada Rp 12.338 pada tanggal 25 dan 26 November 2008 (Data Bank Indonesia).

Pada tahun 2008 jumlah hutang Indonesia sebesar USD 149,5 Miliar atau Rp 1.636,7 Triliun, sedangkan rasio hutang sebesar 33 persen terhadap PDB. Mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007 dimana hutang sebesar USD 147,5 Miliar atau Rp 1.389,4 Triliun dan rasio hutang 35,2 persen terhadap PDB. Artinya sebelum krisis tahun 2008, rasio hutang terhadap PDB sudah agak lebih baik.

Kondisi 2018

Melihat pengalaman yang terjadi pada 2 periode krisis sebelumnya, yaitu tahun 1998 dan 2008 tentu Kita bisa sedikit memperbandingkan, tetapi ini tidak mutlak sebagai acuan utama, karena dalam gejolak ekonomi ini berbagai faktor berfluktuasi. Sebagaimana kita ketahui tahun 2018 ini nilai rupiah terus terpukul oleh tekanan USD mencapai Rp 14.914 per 31 Agustus 2018 dan tidak mustahil akan terus mengalami depresiasi mencapai nilai Rp 15.000 atau bahkan bisa lebih. Melihat trend yang terus terjadi, tidak ada indikasi nilai rupiah menguat kembali minimal pada posisi Rp 12.378 per 31 Desember 2014, yaitu periode awal pemerintahan Jokowi.

Masyarakat tentu berharap, depresiasi nilai rupiah bisa diatasi karena akan berimbas pada sektor industri yang memperoleh bahan baku dari luar negeri, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga-harga dalam negeri, sepanjang tahun 2018 tingkat inflasi tertinggi terjadi pada bulan Maret 2018, yaitu sebesar 3,40 persen kemudian terendah pada bulan Juni 2018 sebesar 3,12 persen. Awal pemerintahan Jokowi tingkat inflasi berada pada angka 8,36 persen Desember 2014 dimana ini imbas dari kenaikan harga BBM. Tentu dari sisi ekonomi kita berharap inflasi bisa dipertahankan pada kisaran 3 persen hingga 3,40 persen karena dalam kondisi tersebut harga-harga kebutuhan pokok sudah cukup tinggi dimasyarakat.

Memperhatikan harga minyak dunia berada pada kisaran USD 69 hingga USD 77 per barel, tentunya hal ini sedikit memberikan angin segar bagi APBN, jika dibandingkan krisis tahun 2008 dimana harga minyak dunia berada pada USD 120 per barel. Namun jangan terlena dahulu karena saat ini hutang pemerintah Indonesia pada Juni tahun 2018 sebesar USD 355,7 Miliar atau Rp 5.157 Triliun (kurs USD 1 = Rp 14.500).

Jika acuannya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, maka batas maksimum rasio hutang adalah 60 persen terhadap PDB, maka dari periode 1998, 2008 dan 2018 tentu rasio hutang terhadap PDB masih dalam kategori aman, tetapi cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dalam bidang ekonomi, karena rasio hutang terhadap PDB hanyalah salah satu indikator menilai aman atau tidaknya hutang tersebut karena portugal yang awalnya dikatakan masih aman ternyata bisa bangkrut.

Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakannya dalam menambah utang ditengah tekanan USD terhadap rupiah, karena tentu akan membebani APBN. Potensi krisis didepan mata, Kita ingat krisis tahun 1998 diawali dari jatuhnya nilai mata uang Thailand, yaitu bath dan sekarang hal ini terjadi lagi dimana nilai bath mengalami depresiasi terhadap USD. Porsi Utang Luar Negeri (ULN) sebesar Rp 5.157 Triliun terdiri dari milik pemerintah dan bank sentral sebesar USD 179,7 Miliar atau Rp 2.605,6 Triliun, sedangkan milik swasta sebesar USD 176,0 Miliar atau Rp 2.552 Triliun sekitar 49 persen.

Utang swasta berpotensi menimbulkan krisis sebagaimana krisis tahun 1997-1998, ambisi pembangunan infrastruktur harus ditahan, apalagi pembiayaannya bersumber dari ULN, pemerintah harus menggerakkan ekspor, mengurangi ketergantungan terhadap import, mengoptimalkan investasi dalam negeri untuk pembangunan. Jangan sampai infrastruktur terbangun tetapi setelah itu tergadai kepada negara yang memberikan ULN.

Saat ini Jepang menjadi negara pemberi Utang terbesar ke Indonesia adalah Jepang sebesar USD 13,4 Miliar dan diikuti Prancis USD 2,5 Miliar, Jerman USD 2,2 Miliar, China USD 1,44 Miliar dan Korea Selatan USD 1,41 Miliar. Terutama yang menjadi perhatian adalah ULN dari China, dimana setiap proyek yang dilaksanakan dari investasi China selalu disertai dengan tenaga kerja dari mereka, tentunya ini akan berdampak pada minimnya penyerapan tenaga kerja lokal dari proyek-proyek padat karya, yang seharusnya mampu menyerap tenaga kerja menjadi tergerus oleh tenaga kerja asing yang memiliki skill sama dengan pekerja lokal.

Lebih baik menahan diri daripada bangsa ini terjerumus untuk ketiga kalinya dalam jurang krisis ekonomi yang lebih parah karena siklus krisis 10 tahunan itu bisa saja terjadi jika kondisi saat ini tidak segera dibenahi. 

Berita Lainnya

Index