Pemikiran Abdussalam bin Barjas (Menjaga Kewibawaan Pemerintah)

Pemikiran Abdussalam bin Barjas   (Menjaga Kewibawaan Pemerintah)
Rachmad Oky, S.H.,M.H. (Dosen Hukum Tata Negara Fak.Hukum Unilak)

Mungkin diantara kita pernah mendengar kisah Ziyad bin Kusaib al-‘Adawai bahwa beliau pernah menceritakan bersama Abu Bakrah berada dibawah mimbar Ibnu Amir saat sedang berpidato dengan memakai pakaian tipis, maka Abu Bilal berkata “Lihatlah pemimpin kita memakai pakaian orang fasik”. Lalu Abu Bakrah menegurnya, “Diamlah, Aku mendengar Nabi bersabda, “Barangsiapa menghina penguasa Allah di bumi, niscaya Allah akan menghinakannya.”

Dari kisah di atas maka sebaliknya kita tidak perlu letih-letih untuk melihat masyarakat yang memprotes Pemerintah, menghujat Pemerintah, menunjukkan sikap kebencian terhadap Pemerintah, atau menghinakan Pemerintah, itu bisa kita lihat dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari jalanan, media sosial, lingkungan tempat tinggal bahkan dalam lingkungan keluarga. Ini mungkin bisa terjadi karena tindakan-tindakan Pemerintah yang tidak dapat memuaskan hati mereka sehingga ada golongan masyarakat yang memutuskan untuk berseberangan dengan Pemerintah bahkan ada yang sudah memberi “cap” pemerintahan yang zhalim.

Namun, apapun itu terkadang kita lupa bertannya kepada diri sendiri, apakah tindakan-tindakan tersebut masih dalam takaran proporsional untuk mengkritik Pemerintah atau justru tindakan tersebut mencoreng kewibawaan Pemerintahan.  Terkadang ada juga sikap-sikap berlebihan dan tanpa dasar sehingga masuk dalam ruang-ruang fitnah. Maka sikap berhati-hati perlu juga kita tanamkan jika seandainya kita berseberangan dengan Pemerintah.

Kalau pun ada tindakan Pemerintah yang zhalim terhadap masyarakat ataupun tindakan Pemerintah yang tidak menyenangkan hati masyarakat, maka bukan berarti itu menjadi alasan pembenar untuk melampaui batas dalam memprotes Pemerintah bahkan ada yang menghinakannya dihadapan keramaian orang. Lalu, pernahkah kita mencari tau apakah tindakan kita dalam mengkritik atau memprotes Pemerintah sudah melampaui batas? Lalu adakah kewajiban kita untuk menjaga kewibawaan Pemerintah meski mereka zhalim?

Berikut penulis sajikan gambaran pemikiran Syaikh Abdussalam bin Barjas tentang pemerintahan yang zhalim, di mana beliau meyakini Syariat Islam merupakan cara untuk menyelesaikan problematika terkait hubungan Rakyat dan Pemerintah.

Kezhaliman yang dialamatkan pada pemerintah justru jangan sampai kita menghilangkan kewibawaan Pemerintah itu sendiri, karena pada hakikatnya kemanfaatan Pemerintah akan lebih luas dari pada keburukan-keburukan Pemerintah. Lihatlah saat ini bagaimana rambu-rambu lalu lintas yang mengatur para pengendara menjadi tertib, namun ketika rambu lalu lintas tidak berfungsi maka akan berpotensi terjadi hukum rimba. Lihat bagaimana sifat para pengendara pastilah ingin  lebih mendahului tidak ada bedanya orang jahil dengan orang terpelajar hingga ketika kemacetan terjadi mereka saling mencaci maki dan bisa terjadi benturan fisik karena sama-sama memiliki alasan ingin cepat sampai tujuan.

Peran positif  Pemerintah memang  tidak bisa kita kesampingkan begitu saja, lihat bagaimana polisi bekerja menertibkan pengendara yang terjebak kemacetan. Lihat bagaimana tentara berjibaku melawan kelompok-kelompok pemberontak. Lihat bagaimana jalanan dibentangkan dan diurus oleh Pemerintah agar kita dapat bersilaturahmi, lihat bagaimana pemerintah menjamin keamanan ketika kita beribadah, lihat fasilitas-fasilitas umum yang dibangun oleh Pemerintah. Lihat apabila terjadi bencana Pemerintah dengan alat kelengkapannya langsung terjun untuk menolong. Lihat jama’ah haji yang dijamin keberangkatannya, fasilitasnya hingga kepulangannya dan banyak lagi peran-peran Pmerintah yang menghasilkan kemanfaatan bagi masyarakat.  Maka benarlah ungkapan  Ali bin Abi Tahlib, dia pernah berkata :

Manusia tidak bisa diperbaiki kecuali oleh seorang pemimpin (Pemerintah), baik pemimpin yang berbakti maupun yang durhaka.” Mereka bertanya, Wahai Amirul Mukminin, jika pemimpin yang berbakti maka ini bisa dimengerti, tapi bagaimana dengan pemimpin yang durhaka?” Ia menjawab, “Lewat perantaranyalah Allah membuat jalan-jalan menjadi aman, musuh-musuh diperangi, rampasan perang didapatkan, hudud ditegakkan, ibadah haji ke Baitullah ditunaikan dan seorang muslim bisa beribadah kepada Allah dengan aman hingga tiba ajalnya yang telah ditentukan”

Melihat perkataan Ali bin Abi Thalib, seharusnya kita sudah bisa memaknai betapa besar peran Pemerintah terhadap kemaslahatan umat manusia walaupun pemerintahan itu tidak amanah dan berprilaku zhalim. Lihatlah lagi bagaimana kisah Imam Ahmad bin Hanbal, imam Ahlul Sunnah yang menjadi simbol Sunnah saat berhadapan dengan Pemerintah. Pada zamannya, Pemerintah menerapkan tindakan-tindakan keburukan, memaksa masyarakat mengikuti kehendaknya dengan menggunakan kekerasan dan pedang, serta banyak darah ulama ditumpahkan karena hal itu. Kendati demikian Imam Ahmad bin Hanbal tidak terpancing perasaan atau emosi, ia tetap memerintahkan tetap menaati Pemerintah dan menyatukan rakyat dan juga Imam Ahmad bin Hanbal pernah dihadapkan dengan Pemerintah yang memaksakan pendapat bahwa al-Quran adalah makhluk dan sebagainya, namum beliau tidak pernah memerintahkan untuk menebar isu untuk berseberangan dengan Pemerintah namun beliau justru mengatakan :

“Ingkarilah dalam hati kalian dan jangan menarik tangan dari ketaatan, jangan patahkan tongkat kaum muslimin, dan jangan tumpahkan darah kalian bersama darah mereka (Pemerintah), pikirkan baik-baik urusan kalian, bersabarlah hingga orang berbakti memperoleh kelegaan dan dibebaskan dari pendurhakaan”

Tentu pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal tersebut bukanlah ujaran tanpa berdasar, beliau adalah seorang ahli fiqih sekaligus pakar hadits dizamannya, maka perkataan dan praktik dari Ali bin Abi Thalib serta Imam Ahmad bin Hanbal dalam menghadapi Pemerintah yang zalim tentu bersandar dengan petunjuk-petunjuk Rosulullah, dalam riwayat Muslim (Shahih) Nabi bersabda :

“Sepeninggalanku nanti akan muncul suatu umat yang tidak mengambil petunjukku dan tidak melakukan sunnahku. Dan akan ada diantara kalian seorang pemimpin di mana hati mereka seperti hati setan tapi bertubuh manusia” lalu aku bertanya (Hudzaifah bin al-Yaman), “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika hal itu sampai aku alami?” Beliau bersabda, “Dengarkan dan taatilah pemimpin kalian. Meski ia memukul punggungmu dan mengambil hartamu”

Diriwayat Muslim lainnya dari Abu Hurairah bahwa Nabi Bersabda:

“Hendaklah engkau mendengar dan patuh (kepada Pemimpin/Pemerintah), baik dalam kesulitan maupun kemudahan, baik dalam suka maupun terpaksa, meskipun ia lebih mementingkan dunia dari padamu”

Diriwayat Muslim bahwa Nabi bersabda:

Barangsiapa tidak menyukai sesuatu dari pemimpinnya  (Pemerintah), hendaklah ia bersabar, karena tidaklah seorang manusia yang keluar dari penguasa sejengkal pun lalu ia mati atas perkara itu melainkan ia mati secara jahiliyah”

Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Usaid bin Hudhair bahwa seorang laki-laki dari Anshar berduaan dengan Nabi, lalu ia berkata “Apakah engkau tidak menugaskanku seperti menugaskan fulan? Nabi bersabda:

Sepeninggalanku nanti kalian akan mendapati para pemimpin yang mementingkan diri sendiri, maka bersabarlah hingga kalian berjumpa denganku di telaga kelak”

Diriwayatkan Muslim dari Auf bin Malik, dari Rasulullah beliau bersabda:

“Pemimpin (Pemerintah) kalian yang terbaik ialah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Pemimpin yang paling buruk adalah yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu mengutuk mereka dan mereka mengutukmu. Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka dengan pedang?” Beliau bersabda, “Jangan, selagi mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat sesuatu yang tidak kalian sukai pada pemimpin kalian, maka bencilah perbuatannya, namun jangan melepaskan tangan dari ketaatan”

Lihatlah bagaimana Rasul menuntun umatnya dengan mengatur  kaidah tata cara memperlakukan Pemerintah, Rosul tidak pernah mengajarkan kita untuk memberontak, tidak pernah memerintahkan untuk merubuhkah kewibawaan Pemerintah, bahkan menurut pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan “bukan termasuk manhaj Salafus Shalih mengumumkan dan menyiarkan aib penguasa (Pemerintah) di atas mimbar dan forum terbuka, karena hal itu bisa menimbulkan anarkisme, tidak mendengar dan patuh dalam perkara yang baik, serta membawa kepada pembicaraan yang merugikan  dan tidak berguna”. Di sini syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata atas dasar ketika fitnah terjadi di zaman pemerintahan khalifah Utsman bin Affan beberapa orang berkata kepada Usamah bin Zaid, “Kenapa engkau tidak memprotes Utsman (khalifah)?, Usamah bin Zain menjawab, “Apakah aku harus memprotesnya di depan umum? Tapi aku akan  memprotesnya secara empat mata, dan aku tidak mau membuka pintu fitnah di depan khalayak”. Pelajaran yang sangat berharga dari para sahabat Rosul bagaimana Usamah bin Zain mempraktikkan sunnah Nabi di mana beliau selalu menjaga kewibawaan Pemerintah Utsman bin Affan sebagai khalifah saat itu.

Dengan demikian, Syaikh Abdussalman bin Barjas memberikan beberapa arahan agar tetap berjalan di jalur Sunnah dalam menghadapi Pemerintah. Pertama, mendo’akan kebaikan bagi penguasa (Pemerintah), di mana Syaikh menjelaskan berdasarkan kitab as-Sunnah, karya Imam al-Hasan bin Ali al-Barbahari bahwa ia mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan terhadap penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu. Jika engkau mendengar seseorang mendo’akan kebaikan bagi penguasa (Pemerintah), maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut Sunnah”. Al-Fudhail bin Iyadh pernah berkata, “Jika aku punya sebuah do’a yang mustajab, maka akan aku panjatkan hanya untuk penguasa”.

Lebih lanjut Syaikh Abdussalam bin Barjas menjelaskan dari Siraj al-Muluk bahwa kita diperintah untuk mendo’akan baik para penguasa yang zhalim dan suka bertindak semena-mena sekalipun, bukan sebaliknya. Sebab, akibat dari kezhaliman dan tindakan semena-mena mereka akan menimpa mereka sendiri dan kaum Muslimin. Sementara kebaikan mereka akan bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan juga kaum Muslimin. Kedua, masih dalam Siraj al-Muluk Syaikh menjelaskan agar berupaya mencari alasan untuk memahaminya, para ulama mengatakan, jika penguasa membuat permasalahan kalian menjadi baik, pujilah Allah dan bersyukurlah kepada-Nya sebanyak mungkin. Tetapi, jika ada tindakannya yang membuat kalian tidak suka, yakinilah bahwa apa yang menimpa kalian itu disebabkan oleh dosa-dosa kalian sendiri. Berilah uzur pada penguasa, karena banyak urusan yang ditanganinya, banyak hal yang diusahakannya berupa menguatkan aspek-aspek menundukkan musuh, menyenangkan para pendukung.

Pada pandangan Syaik yang kedua bahwa rakyat juga harus berintropeksi diri, siapa tau saja Allah menitipkan penguasa (Pemerintah) yang zhalim diakibatkan amalan-amalan buruk dari rakyat itu sendiri sebab Allah berfirman : Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al-An’am: 129). Ibnul Qayyim menafsirkan ayat tersebut mengatakan, “Perhatikanlah hikmah-Nya tatkala Dia menjadikan para raja, penguasa dan pemegang tampuk pemerintahan sesuai dengan amalan yang dilakukan oleh para rakyat di dalam negeri tersebut. Bahkan, amalan dari para rakyat akan tercermin dari tingkah laku para penguasanya”. Hal yang sama juga disebutkan oleh Imam Al-Qurtubi, “Bila Allah ridha kepada suatu kaum, Dia menguasakan urusan kepada orang yang terbaik di antara mereka. Bila Allah murka kepada suatu kaum, Dia menguasakan urusan mereka kepada orang yang terburuk”. Wallahu a'lam bish-shawabi...

Berita Lainnya

Index