Neraca Perdagangan Oktober 2018 Defisit US$1,82 Miliar

Neraca Perdagangan Oktober 2018 Defisit US$1,82 Miliar
ilustrasi

JAKARTA, RIAUREVIEW.COM -Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2018 mengalami defisit sebesar US$1,82 miliar secara bulanan (month-to-month/mtm). Sementara secara kumulatif Januari-Oktober 2018, defisit perdagangan mencapai US$5,51 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan defisit perdagangan pada Oktober 2018 terjadi karena nilai ekspor hanya meningkat 5,87 persen dari US$15,25 miliar pada September 2018 menjadi US$15,8 miliar pada Oktober 2018. Sedangkan nilai impor meroket hingga 20,6 persen dari US$14,25 miliar menjadi US$17,62 miliar pada periode yang sama. 

Dari sisi ekspor, peningkatan terjadi karena ekspor migas meningkat 15,18 persen menjadi US$1,48 miliar dan ekspor non migas naik 4,99 persen menjadi US$14,32 miliar. 

"Untuk migas, terjadi kenaikan ekspor baik di minyak maupun gas. Sedangkan non migas, dari perhiasan dan permata, bahan bakar mineral, alas kaki, kendaraan dan bagiannya, serta bahan kimia anorganik," ujarnya yang dilansir CNNIndonesia, di kantor BPS, Kamis (15/11). 

Secara keseluruhan sumbangan ekspor terbesar masih berasal dari non migas dengan kontribusi mencapai 90,62 persen. Bila dirinci, sumbangan ekspor non migas berasal dari industri pengolahan yang tumbuh positif 6,4 persen menjadi US$11,59 miliar. 

Sumbangan dari industri pengolahan bahkan bisa menutup koreksi pertumbuhan ekspor dari industri pertanian sekitar minus 0,92 persen menjadi US$320 juta dan pertambangan minus 0,58 persen menjadi US$2,41 miliar. 

Dari sisi negara tujuan, kenaikan ekspor Indonesia terjadi ke beberapa negara, seperti China naik US$243,3 juta, Swiss US$171,7 juta, dan Singapura US$144,1 juta. Sedangkan penurunan ekspor terjadi ke Korea Selatan turun US$112 juta, Jepang US$53,4 juta, dan Hong Kong US$45,2 juta. 

Sementara secara kumulatif dari Januari-Oktober 2018, nilai ekspor tumbuh 8,84 persen menjadi US$150,88 miliar. Secara kumulatif, ekspor migas tumbuh 9,88 persen menjadi US$14,23 miliar, pertanian minus 8,46 persen menjadi US$2,82 miliar, pengolahan naik 5,73 persen menjadi US$109,13 miliar, dan pertambangan melejit 27,46 persen menjadi USR24,7 miliar. 

"Sumbangan terbesar berasal dari bahan bakar mineral sebesar US$20,57 miliar atau sekitar 15,05 persen serta lemak dan minyak hewan nabati US$17,11 miliar atau 12,52 persen," terangnya. 

Sedangkan dari sisi impor, peningkatan impor berasal dari impor migas mencapai US$2,91 miliar atau meningkat 26,97 persen dan impor non migas naik 19,42 persen menjadi US$14,71 miliar. 

"Peningkatan impor migas berasal dari kenaikan impor minyak mentah sekitar 20,73 persen, hasil minyak 30,46 persen, dan gas 18,28 persen," jelasnya. 

Dari sisi impor non migas, peningkatan impor terjadi untuk beberapa barang. Misalnya, mesin dan pesawat mekanik, besi dan baja, mesin dan peralatan listrik, plastik dan barang dari plastik, serta ampas dan sisa industri makanan. 

Sementara bila dirinci, sumbangan impor berasal dari impor bahan baku penolong yang tumbuh 22,59 persen menjadi US$13,37 miliar. Lalu, barang modal meningkat 15,57 persen menjadi US$2,75 miliar dan barang konsumsi naik 13,28 persen menjadi US$1,5 miliar. 

"Meski pemerintah sudah menunda beberapa proyek, tapi ada beberapa proyek infrastruktur yang sudah berjalan, sehingga tetap membutuhkan impor barang modal," katanya. 

Berdasarkan negara asal, impor terbesar Indonesia berasal dari Jepang meningkat US$446,4 juta, China US$433,7 juta, dan Korea Selatan US$163,4 juta. Sedangkan penurunan impor terjadi dari Niue turun US$20,9 juta, Swiss US$19,7 juta, dan Pantai Gading US$12,6 juta. 

Januari-Oktober 2018, nilai impor tumbuh 23,37 persen menjadi US$156,4 miliar. Sumbangan impor berasal dari non migas yang naik hingga 22,58 persen, yaitu dari barang mesin dan pesawat mekanik dengan nilai mencapai US$22,26 miliar serta mesin dan peralatan listrik US$17,86 miliar.

Berita Lainnya

Index