Menyoal Nilai-nilai Islam dalam Perundang-undangan

Menyoal Nilai-nilai Islam dalam Perundang-undangan
Rachmad Oky (Dosen Hukum Tata Negara Fak.Hukum Unilak)

PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM -Bermula dari pidato Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie saat memperingati hari ulang tahun ke-4 PSI, dalam pidato tersebut PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindak intoleransi. Contoh sikap konkrit yang akan diwujudkan untuk mencegah diskriminasi dan intoleransi adalah tidak akan pernah mendukung Peraturan Daerah yang bersumber dari Injil ataupun syariah. Tidak cukup sampai disitu belakangan kita mendengar niatan pelarangan poligami yang ingin diperjuangkan PSI di parlemen dan yang terakhir kebijakan Menteri Dalam Negeri yang mengatur style jilbab  bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dilingkungan kementerian dalam negeri yang kini sudah dicabut kembai. Polemik tersebut membuka kembali ruang-ruang dikotomi negara dan agama, apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah mayoritas islam yang berfaham dimana negara dan agama itu adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Kontroversi pemberlakuan perundang-undngan bersumber dari nilai-nilai islam akan terus bergulir sepanjang kita masih bergulat dan mempertentangkan kedaulatan Konstitusi dengan kedaulatan Ayat Suci dan mempertentangkan kedudukan Agama dengan kedudukan negara. Dengan demikian masyarakat akan disuguhkan perdebatan yang menguras pikiran dan terus berulang-ulang sehingga muaranya berujung pada pertanyaan dimana posisi nilai-nilai islam dalam produk perundang-undangan di Indonesia?

Nilai-nilai Islam  Dalam Perundang-Undangan
  
Satu hal yang harus dipahami bahwa kedudukan perundang-undangan Indonesia tidak akan pernah terlepas dari nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat itu sendiri, nilai itu dapat berasal dari norma adat istiadat, norma kesusilaan, norma etika, norma agama dan masih banyak sebenarnya norma-norma hidup ditengah-tengah masyarakat. Secara umum kedudukan norma agama tidak mempunyai daya ikat yang dapat dipaksakan oleh negara karena pelaksanaan norma agama hanya bersifat kesadaran-kesadaran pribadi. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada persanksian yang diberikan oleh negara, misalkan ketika seorang muslim mendengar suara adzan maka orang tersebut bergegas ke Masjid, seseorang yang ke masjid tersebut bertindak atas kehendak pribadi sendiri dan daya lakunya tidak dapat dipaksakan dari luar pribadi. Lalu bagaimana kiranya apabila negara menerapkan nilai-nilai islam tersebut kedalam perundang-undangan?

Praktik yang paling dekat untuk di cermati misalnya Peraturan Bupati  (PerBup) Rokan Hulu Nomor 18 Tahun 2011 tentang Kewajiban Bagi Pegawai Muslim Untuk Sholat Zuhur dan Sholat  Ashar Di Masjid Agung Pasir Pengaraian, pada dasarnya peribadatan adalah pelaksanaan norma agama bersumber dari  perintah agama yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadist, ketika peribadatan tersebut masih tertuang dalam kitab suci maka pelaksanaannya hanya dapat dilakukan jika ada kehendak pribadi, namun apabila pribadi tersebut tidak ingin melaksanakannya maka tidak ada hak bagi negara untuk menerapkan sanksi dan memaksakan kehendaknya agar seseorang tersebut melaksanakan ibadah. Apabila pelaksanaan peribadatan itu sudah bertransformasi menjadi produk perundang-undangan (Peraturan Bupati) maka konsekuensi pelaksanaan peribadatan itu dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara dan juga  dapat diterapkan persanksian bagi yang melanggar. Contoh persanksian dalam Perbup Rokan Hulu No.18 tahun 2011  yakni pada pasal 4 berbunyi “Bagi Pegawai Negeri Sipil yang tidak mengikuti Sholat Zuhur dan Sholat Ashar berjama’ah di Masjid Agung Pasir Pengaraian sampai dengan 3 (tiga) kali dalam sebulan tanpa keterangan maka akan dikenakan sanksi pemotongan uang tambahan pernghasilan berdasarkan beban kerja sebesar 100%”, maknanya jenis persanksian yang diterapkan bersifat keduniaan dan bukan persanksian yang “ghoib” (Surga/Neraka).

Proses transformasi nilai-nilai islam kedalam produk perundang-undangan dapat ditandai dengan adanya lembaga/pejabat yang tepat dan berwenang, namun jika penggalian nilai-nilai islam tersebut tidak dilakukan oleh lembaga yang tepat maka keberlakuan nilai-nilai islam tersebut hanyalah bersifat anjuran dan himbauan saja, misalkan Fatwa Majelis Ulama Indoensia (Fatwa MUI) yang keberlakuannya hanya sebatas anjuran dan himbauan saja, oleh sebab MUI bukanlah lembaga yang tepat dan berwenang untuk membentuk produk perundang-undangan, maka fatwa tersebut tidak dapat dipaksakan (imperatif) kepada umat Islam di Indonesia. lalu siapakah lembaga atau pejabat yang tepat untuk membentuk produk perundang-undangan?untuk menjawabnya kita harus melakukan pendekatan hirarkis perundang-undangan agar dapat memahami siapa lembaga yang berwenang atas itu, misalkan sumber hukum tertinggi dalam hirarki adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) maka lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan sumber kewenangan itu berdasarkan pasal 3 ayat (1) UUD 1945, jika itu sebuah Undang-Undang (UU) maka lembaga yang tepat untuk membentuknya adalah DPR bersama Presiden sebagai co-legislasi, begitu juga produk perundang-undangan  dibawah UU (PP, PerPres, Perda, PERMA,PKPU, dsb) masing-masing mempunyai lembaga/ pejabat  yang berwenang untuk membentuk itu.

Eksistensi nilai-nilai islam mengisi ruang dalam substansi (materi) perundang-undangan mempunyai tantangannya masing-masing, misalkan adanya klaim diskriminatif dan intoleransi sebagai keluhan yang sering kita dengar apabila ada norma perundang-undangan yang tendensius bersumber dari nilai-nilai islam di Indonesia. Namum klaim-klaim intoleransi tersebut perlu juga kiranya untuk diteliti apa benar norma perundang-undangan yang bersumber dari nilai-nilai islam otomatis mengikat orang-orang yang diluar islam atau justru nilai-nilai islam tersebut menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan umat islam itu sendiri dengan tanpa memaksakan agama diluar islam untuk mengikutinya. 

Klaim adanya diskriminatif sebenarnya sudah timbul sejak awal kemerdekaan, ketika penyusunan sebuah norma dasar negara yang kita mengenalnya dengan Piagam Jakarta, saat ketika terwujudnya Piagam Jakarta dimana islam sebagai bentuk dasar negara diletakkan pada norma sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”, namun setelah sehari Indonesia merdeka (18 agustus 1945) tujuh kata pada sila pertama piagam Jakarta itu dicoret, pencoretan itu diawali oleh Hatta dengan persetujuan wakil islam di PPKI yakni Wahid Hasyim, Tengku M Hasan, Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo. Pencoretan tujuh kata tersebut Hatta beralasan dirinya didatangi oleh orang dari bagian timur Indonesia yang merasa ada diskriminatif atas pemberlakuan tujuh kata itu dan meminta untuk dicoret, ditambah lagi orang yang datang kepada Hatta mangatakan jika tujuh kata itu tidak dicoret maka Indonesia bagian timur tidak akan ikut merdeka bersama Indonesia.

Kejadian tersebut perlu juga kita cermati bahwa apakah sebuah norma dasar Negara yang materinya bersumber dari nilai-nilai islam otomatis ajaran islam itu mengikat kesemua agama yang ada pada saat itu, padahal keberlakuan sila pertama menyatakan secara tegas “…menjalankan syariat islam bagai pemeluk-pemeluknya”, artinya keberlakuan nilai-nilai islam hanya untuk para pemeluknya bukan untuk agama-agama lain diluar islam. Permasalahan lain posisi norma dasar Negara tersebut sangatlah abstrak dan terlalu general sehingga belum menemukan formula yang lebih terukur dan spesifik dimana kita masih bisa menggali bagaimana kelanjutan keberlakuan norma dasar Negara tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab apakah turunan norma Piagam Jakarta tersebut secara otomatis memberlakukan hukum-hukum islam dalam ruang pidana (publik) dan ruang privat dalam betuk produk perundang-undangan? dan juga apakah produk perundang-undangan tersebut mengikat imperatif keseluruh masyarakat tanpa melihat agama individu masing-masing? jika pertanyaan-pertnyaan tersebut belum terjawab maka wajar saja ada kelompok masyarakat diluar islam yang menyangsikan jika suatu saat mereka harus tunduk  kepada hukum islam dalam ruang lingkup hukum publik maupun hukum privat.

Pada level konstitusi tertulis, dimana UUD 1945 pada hakikatnya penjabaran lebih lanjut dari Pancasila juga berisi norma-norma yang sangat umum dan abstrak, namun ada beberapa titik pada norma tertentu berisikan nilai-nilai islam, misalkan pada pasal 9 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Sebelum memengku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama…” dan isi sumpah seorang Presdien dan Wakil Presiden  sebelum diangkat adalah “Demi Allah saya bersumpah…” artinya ada tata cara prinsip islam yang dipakai ketika seorang hendak memangku jabatan Presiden sebelum memangku jabatannya, maka kategori norma tersebut tidak dapat disebut sebagai norma yang intoleran karena keberlakuan norma itu justru wajib dilakukan dan dikembalikan kepada kepercayaan masing-masing dimana jikapun Presdien yang terpilih seorang Kristen maka tata cara Kristenlah yang akan dipakai.  

Kita juga dapat mengkomparasikan pada Konstitusi Iran : Iran (Islamic Republic of) Constitution of 1979 with Amandements through 1989 dimana lebih eksplisit mengungkapkan prinsip islam yang dituangkan dalam konstitsi mereka, misalkan pada Article 1 : “The form of government of Iran is that of an Islamic Republic, endorsed by the people of Iran on the basis of their longstanding belief in the sovereignty of truth and Qur'anic justice…” (Bentuk pemerintahan Iran adalah Republik Islam, yang didukung oleh rakyat Iran atas dasar kepercayaan lama mereka dalam kedaulatan kebenaran dan Keadilan Al-Qur'an…),  Article 2 : “The Islamic Republic is a system based on belief in:  the One God as stated in the phrase "There is no god except Allah”, (Republik Islam adalah sistem yang didasarkan pada keyakinan Tuhan Yang Esa sebagaimana dinyatakan dalam frasa "Tidak ada tuhan selain Allah"), keberlakuan prinsip-prinsip islam yang dituangkan dalam konstitusi Iran menandakan adanya kedaulatan hukum islam yang akan dilaksanakan pada aturan yang lebih rendah semisal undang-undang yang tertuang pada setiap jenis hukum publik, jika itu berkaitan dengan hukum pidana (publik) maka keberlakuannya mengikat bagi seluruh warga masyarakat di iran tanpa memandang  agama apa yang dianut, artinya penerapan sanksi rajam dan sanksi qisas dapat juga diberlakukan bagi orang-orang diluar islam, namun keberlakuan hukum privat dan hukum peribadatan akan dikembalikan menurut kerpercayaan agama masing-masing, misalkan dalam hukum peribadatan (ritual) maka itu tidak mungkin dapat dipaksakan pelaksanaan ritual agama islam kedalam ritual-ritual di Gereja, artinya walaupun secara konsep  konstitusi Iran bernafaskan nilai-nilai islam namun bukan berarti dapat diberlakukan kepada semua lapisan masyarakat yang beragama non-islam.

Pencantuman  prinsip islam dalam norma konstitusi sebenarnya tidak dapat dikatakan akan melahirkan diskriminatif dan intoleransi, karena norma konstitusi merupakan kesepakatan awal berjalannya sebuah prinsip bernegara dan kesepakatan bermulanya sebuah sistem hukum suatu negara, konstitusi juga merupakan produk resultante yang didasarkan pada kekuatan-kekekuatan sosial dan historical yang bernilai filosofi cita-cita bangsa maka konstitusi harus dianggap sebagai tonggak kewibawaan hukum yang tidak dapat disandingkan dengan narasi-narasi diskriminatif dan intoleransi.

Penerapan nilai-nilai islam juga berlaku pada level UU di Indonesia, contoh undang-undang yang mengaktualisasikan nilai-nilai islam misalnya UU No.23 tahun 2011 tentang  pengelolaan zakat pada pasal 1 poin 3 berbunyi  “zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat islam” dan pasal 2 menyatakan “pengelolaan zakat berasaskan syariat islam”, contoh berikutnya UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada pasal 1 poin 7 menyatakan “bank yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah” dengan begitu lahirlah prisip-prinsip akad wadi’ah dan mudharabah, bahkan pasal 26 ayat (2)dan (3) UU No.21 tahun 2008 menyatakan prinsip syariah yang difatwakan MUI dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia, dengan kata lain apabila Fatwa MUI ingin dapat disokong langsung oleh negara maka fatwa tersebut wajib ditransformasikan kedalam bentuk produk Peraturan Bank Indonesia. Dengan adanya nilai islam yang  tertuang dalam UU tersebut maka tidak bisa kita menyatakan adanya sebuah bentuk intoleransi karena ada karakter UU yang bermotifkan peribadatan dan privat yang justru tidak mungkin mengikat orang perorangan diluar islam.

Dalam pemberlakuan hukum publik, nilai-nilai islam yang mengatur sanksi pidana sulit mendapatkan tempat pada subtansi norma UU, kita misalkan persanksian potong tangan, dan Qisas apakah bisa diterima kesemua pihak diluar islam untuk menjalankan sanksi pidana yang notabene bersumber dari nilai-nilai islam? atau apa mungkin keberlakuan sanksi tersebut ditentukan khusus hanya mengikat untuk kalangan masyarakat islam agar tidak terjebak kedalam intoleransi? Lalu bagaimana jika pengaturan dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, apakah mungkin bisa UU Pemilu membuat standarisasi seorang Presiden wajib beragama islam?, ranah-ranah hukum publik inilah yang sebenarnya  sulit dikompromikan apabila nilai-nilai itu bersumber dari islam yang dibenturkan pada negara plural ataupun heterogen karena akan selalu terkesan adanya pemaksaaman paham agama tertentu untuk agama tertentu pula.

Kembali pada persoalan PSI dan Mendagri yang ingin membuat pengaturan tentang nilai-nilai islam. Pertama, persoalan penolakan Perda Syariah sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan karena selama ini pemberlakuan Perda yang bersumber dari nilai-nilai islam hanya mengikat pada kelompok agama islam itu sendiri contohnya yang sudah dijelaskan diatas pada PerBup Kabupaten Rokan Hulu Nomor 18 Tahun 2011 tentang Kewajiban Bagi Pegawai Muslim Untuk Sholat Zuhur dan Sholat  Ashar Di Masjid Agung Pasir Pengaraian, dimana norma yang diaturnya adalah norma peribadatan yang tidak mungkin ada singgungannya kepada agama diluar islam. 

Kita bisa juga melihat pemberlakuan syariat islam di Provinsi Aceh, karena tidak serta merta Perda syariah itu berlaku juga bagi kelompok diluar islam, misalkan persolan jinayah, klausula tunduk sukarela dan dapat memilih hukum apa yang diinginkan pada masyrakat diluar islam dinyatakan secara tegas dalam Pasal 129 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ayat (1) menyatakan: “Dalam hal perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih atau menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah”. Selanjutnya, ayat (2) menyatakan “Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP berlaku hukum jinayah”.  terkhusus ayat (2) kita misalkan dalam perkara khamar. KUHP hanya mensyaratkan anasir ‘di muka umum’ agar seseorang yang minum khamar bisa dipidana. Qanun Jinayah tak mensyaratkan itu, sehingga orang yang melakukan jarimah itu tidak di depan umum pun bisa dipidana.

Persoalan kedua, gagasan PSI akan mengatur pelarangan poligami dan juga terkait pengaturan jilbab oleh Menteri dalam Negeri, seharusnya kita dapat memilah bahwa pelaksanaan poligami dan pengaturan style jilbab adalah bagian dari pelaksanaan hukum peribadatan dan hukum privat, sehingga negara tidak mungkin bisa mengatur persoalan internal peribatan agama tertentu, misalkan negara tidak mungkin mengatur jumlah rakaat sholat atau negara tidak mungkin mengatur bagaimana seharusnya tata cara berjilbab. suatu kekeliruan jika bentuk pelaksanaan tata cara beribadah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam nilai-nilai agama justru dilarang dalam bentuk perundang-undangan.

Melihat hal tersebut, terkadang negara maupun masyarakat dalam beberapa kasus mencampur adukkan antara hukum privat/peribadatan dengan hukum publik yang pada prinsipnya tidak bisa disandingkan. Kasus yang bisa kita ambil contoh misalnya pengaturan pengeras suara masjid tidak bisa disandingkan dengan pengaturan peribadatan, pengeras suara yang diproduksi dari Masjid seperti mengaji, adzan, lagu-lagu nasyid ketika masuk keruang-ruang publik maka bisa saja diatur kedalam perundang-undangan tapi bukan berarti pengaturan tersebut dapat dimaknai sebagai pelarangan terhadap suara mengaji, adzan dan sebagainya, contoh lain bisa kita lihat ritual etnis tiong hoa di Bagan Siapi-api dimana dalam pelaksanaan bakar tongkang justru berimbas keruang-ruang publik dimana ritual tersebut berimbas kepada pemakaian fasilitas-fasilitas publik, ketika sebuah peribadatan masuk keruang-ruang publik maka tidak ada salahnya Pemerintah Daerah Kab. Rokan Hilir menetapkan Peraturan Daerah untuk mengatur ketertiban demi kebaikan bersama tanpa harus menghalang-halangi pelaksanaan ritual tersebut.

Persoalan lain yang bisa dikemukakan adalah apabila sebuah nilai-nilai islam masuk kedalam produk norma perundang-undangan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang maka konsekuensinya setiap produk perundang-undang itu akan bisa menjadi objek gugatan (uji materil) di Mahkamah Agung (MA) ataupun Mahkamah Konstitusi (MK), lalu apa boleh seorang hakim MA atau MK menilai produk yang digali dari nilai-nilai islam? Misalkan Peraturan Bank Indonesia yang bersumber dari Fatwa MUI (UU No.21 tahun 2008), apa mungkin hakim MA mengkoreksi pertimbangan-pertimbangan Ulama yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia? lalu manakah yang tepat, hakim menguji pertimbangan Ulama (Fatwa) atau hakim menguji Peraturan Bank Indonesia?

Dengan demikian, nilai-nilai islam memang tidak bisa kita pungkiri sebagai salah satu sumber dalam materi perundang-undangan di Indonesia, tetapi sisi lainnya kita harus menyadari juga masih banyak titik lemah kita dalam memandang dan memahami kedudukan Ayat Suci dengan konstitusi sehingga kita selalu “begaduh” mengenai pertentangan antara Agama dan Negara. “Tak sudah-sudah....”.

Berita Lainnya

Index