DIBALIK DIVESTASI FREEPORT

DIBALIK DIVESTASI FREEPORT
Prama Widayat Aktifis Alumni HMI dan Dosen FE Unilak

Setiap negara manapun didunia ini pasti menginginkan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri tanpa campur tangan asing, namun masalah akan muncul ketika sumber daya yang berlimpah tidak dibarengi dengan kemampuan financial yang mumpuni sehingga keinginan untuk mengelola sumber daya alam sendiri, harus diserahkan kepada pihak investor dengan imbalan deviden yang diterima juga harus dishare untuk negara pemilik sumber daya alam.

Dengan harapan, suatu saat pengelolaan tersebut akan kembali kepada negara melalui skema pembelian saham, dengan catatan bahwa negara memiliki kemampuan financial yang cukup untuk membeli. Akan menjadi petaka jika negara terlalu memaksakan untuk membeli saham ketika anggaran negara mengalami defisit dan tidak direncanakan secara matang. Kasus terbaru pemerintah Indonesia membeli saham Freeport adalah salah satu contoh betapa negara tidak memiliki perencanaan yang matang dalam upaya divestasi saham perusahaan asing yang mengelola sumber daya alam Indonesia di Papua. Bagi sebagian orang yang tidak memahami seluk beluk investasi maka ini dianggap sebagai prestasi, tetapi dari sudut pandang akademisi yang menjunjung tinggi independensi maka ini merupakan tindakan gegabah dan terlalu dipaksakan, karena membeli saham pada tahun 2018 disaat kontrak akan habis tahun 2021 merupakan tindakan yang tidak bisa diterima akal sehat.

Publik akan mudah menilai bahwa pembelian ini penuh dengan unsur politis dimana incumbent berusaha menarik opini publik agar menganggap ini sebuah prestasi yang tidak sanggup dilakukan presiden sebelumnya yaitu Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena hanya Jokowi yang sanggup.

Berkaca pembelian Inalum

Kemampuan negara Indonesia dalam melakukan divestasi saham perusahaan asing bukan hanya terjadi di zaman Jokowi tetapi SBY sudah terlebih dahulu melakukannya dan ini termasuk pembelian yang cerdas dan terencana. Pada saat itu PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dibawah naungan Nippon Asahan Aluminium (NAA) dimiliki oleh Jepang akan habis kontrak pada 31 Oktober tahun 2013 sehingga pada tahun 2012 pemerintahan saat itu sudah melakukan persiapan dengan menetapkan anggaran Rp 2 Trilyun pada APBN. Kemudian pada tahun 2013 menganggarkan kembali sebesar Rp 5 Trilyun. Dengan melakukan negosiasi yang cukup ketat maka November 2013 NAA diambil alih oleh pemerintah Indonesia tanpa melibatkan Utang sedikitpun karena pemerintah saat itu sudah mempersiapkan secara matang, baik itu tim negosiasi dan juga anggaran.

Dengan berakhirnya kontrak pada 31 Oktober 2013 maka sesuai dengan Master Agrement (MA) for the Asahan Hydroelectric and Aluminium Project. Ketika berakhirnya MA tersebut, seluruh aset PT. Inalum beralih kepada Indonesia dengan membayar kompensasi sesuai dengan ketentuan MA. Perundingan dimulai 30 Oktober 2013 dimana pihak NAA (Jepang) dan Indonesia menyepakati untuk mekanisme pengalihannya dari mekanisme Aset Transfer menjadi Transfer Saham (Share Transfer). 
NAA bukannya tanpa perlawanan pasca pertemuan 30 Oktober 2013 karena pada tanggal 31 Oktober 2013 NAA mengajukan proses penyelesaian pengalihan PT. Inalum dibawa ke Arbitrase Internasional Centre For Settlement Of Investment Disputes (ICSID) sebagaimana yang diatur dalam MA. Perundingan tanggal 30 Oktober 2018 dirubah, pada awalnya sepakat mekanisme pengalihan dengan metode transfer saham menjadi pembayaran kompensasi melalui mekanisme pengalihan aset transfer. Maka dari itu pemerintah mempersiapkan pembayaran aset-aset PT. Inalum. Pemerintah Indonesia menawarkan harga US$ 558 Milyar atau setara dengan Rp 6,14 Trilyun kepada NAA.

Sebelumnya kontrak NAA untuk PT. Inalum yang berakhir 31 Oktober 2013, ini berdasarkan perjanjian pada tahun 1975, maka tepat tanggal 1 November 2013 PT. Inalum sudah 100% dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Disini kita melihat bahwa pemerintah saat itu sebenarnya bisa saja melakukan penawaran kepada NAA pada tahun 2010 ketika kontrak akan berakhir tahun 2013 tetapi pemerintah tidak ingin gegabah dan terburu-buru membeli. Pemerintah melakukan kajian yang matang melalui Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), mereka sadar bahwa jika pembelian dilakukan sebelum waktu akhir perjanjian maka nilainya akan mahal sehingga akan menguras keuangan negara, tetapi jika masa akhir kontrak habis maka nilainya akan turun karena mau tidak mau NAA harus menyerahkan pengelolaan PT. Inalum kepada pemerintah Indonesia. Perlu diingat ketika pemerintahan SBY melakukan pengambil-alihan PT. Inalum, tidak terjadi kehebohan luar biasa sebagaimana pemerintahan Jokowi membeli PT. Freeport Indonesia (PTFI). 

Ketika PT. Inalum diambil alih Indonesia maka terjadi perubahan dewan direksi, dimana sebelumnya 4 orang direksi terdiri dari orang Jepang semua dan saat diambil alih Indonesia berubah menjadi 5 orang direksi dan semuanya orang Indonesia. PT. Inalum merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan Bauksit yang diolah menjadi Alumina, saat masih dimiliki mayoritas Jepang maka 60% Alumina harus di Eksport ke Jepang agar diolah menjadi Aluminimum. Ada sikap pesimis dari beberapa kalangan bahwa ketika dikelola pemerintah akan mengalami penurunan pendapatan karena keuntungan tahun 2012 sebesar US$ 25 Juta, tahun 2013 US$ 68 Juta tetapi justru mengalami kenaikan pada tahun 2014 US$ 156 Juta, tahun 2015 US$ 79 Juta karena terjadi penurunan harga komoditas. Ini mengindikasikan bahwa kita akan mendapatkan keuntungan yang maksimal jika kita mampu menguasai sepenuhnya saham tersebut dan tidak terdapat beban utang yang harus dibayar dari pembelian saham karena diawal kita sudah mengambil alih semua asetnya.  

Bagaimana dengan Freeport
Kembali kepada hiruk-pikuk pembelian saham PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang dianggap sebuah prestasi besar, bagi sebagian orang yang tidak mengetahui akan menganggap ini prestasi tetapi bagi mereka yang berpikir, akan melihat ini sebuah tindakan tanpa perhitungan dan ceroboh. Sebagai akademisi dan juga aktifis, sudut pandang penulis bukan berdasarkan like or dislike (suka atau tidak suka) karena siapapun presidennya perlu dikritisi secara objektif.

Sebagian ekonom pihak pemerintah menganggap kita akan mengalami masalah jika tidak memperpanjang kontrak PTFI dan akan dibawa kepada arbitrase internasional, lalu apa yang perlu ditakutkan karena hal ini pernah dilakukan ketika era SBY dalam mengambil alih PT. Inalum dari NAA Jepang. Jangan hanya kepentingan jangka pendek, segala upaya dilakukan demi mengamankan kepentingan politik, sehingga kepentingan negara diabaikan. Kontrak Karya (KK) PTFI akan berakhir tahun 2021 dimana KK ini dibuat pada tahun 1990-an, padahal seharusnya hanya dilakukan perpanjangan. Disinilah letak kesalahan pemerintahan sebelumnya. Kesalahan masa lalu tidak perlu diulangi, perhitungan yang tepat dalam melakukan divestasi perlu diutamakan tetapi disini pemerintah malahan abai terhadap hal ini.

Jika saja pemerintah sedikit bersabar hingga tahun 2021 dan tidak memperdulikan tahun politik menjelang pilpres April 2019 maka bukan mustahil PTFI akan sepenuhnya menjadi milik Indonesia maka ini baru sebuah prestasi besar, bukan membeli saham dengan harga mahal dan itupun hanya 51,23% dengan pembagian 10% diberikan kepada pemerintah daerah papua.

Disini menarik untuk dikupas bahwa kepemilikan saham pemerintah papua sebesar 10% melalui PT. Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPMM), dimana dalam PT. IPMM terdapat 60% saham PT. Inalum sisanya 40% milik Pemerintah Daerah Papua. Artinya dari komposisi saham di PT. IPMM maka pemerintah Papua hanya memiliki saham di PTFI sebesar 4% saja, kecuali jika 100% saham IPMM milik Pemerintah Daerah Papua, ini baru sah dikatakan memiliki 10% saham PTFI. 

Jika kita gunakan asumsi pertama bahwa 4% saham untuk PT. IPMM, maka Pemerintah Daerah Papua mendapatkan uang dari mana untuk ikut serta membeli saham PTFI. Asumsi kedua bahwa 10% saham, dimana PT. Inalum menghibahkan 10% saham PTFI kepada PT. IPMM dengan imbalan PT. Inalum mendapatkan porsi 60% saham PT. IPMM, jika asumsi kedua dipakai maka jelas keuntungan deviden dari PTFI tidak utuh diterima dari kepemilikan saham 10% PT. IPMM di PTFI karena juga terdapat hak PT. Inalum didalamnya. Dengan dua asumsi ini maka Pemerintah perlu menjelaskan tentang hal ini, rakyat jangan hanya diberikan angin surga tetapi sesungguhnya itu angin ribut.           

Kejanggalan berikutnya dibalik divestasi PTFI adalah jangka waktu pelunasan utang, dari beberapa utang yang diperoleh maka jangka waktu paling cepat untuk melunasi pada tahun 2021 sedang waktu paling lama tahun 2048, disini kita bisa menilai bahwa jangka waktu yang cukup panjang untuk pelunasan utang. Sedangkan jika kontrak PTFI diperpanjang pada tahun 2021 maka jangka waktu berakhirnya pada tahun 2041, ini berarti ketika kontrak sudah berakhir tetapi PT. Inalum masih memiliki Utang. 

Jika keuntungan PTFI besar, kenapa utang tersebut tidak langsung saja dilunasi selama 3 tahun, sebenarnya berapa deviden yang diterima pemerintah Indonesia sebelum dan sesudah divestasi, jangan-jangan ini hanya permainan saja karena deviden sesungguhnya masih dinikmati McMoran selaku pemegang 48% saham PTFI. Jangan salahkan opini publik yang menjadi liar karena memang ini tahun 2019 adalah kontestasi politik. Sekali lagi ditegaskan bahwa dibalik divestasi PTFI terdapat tanda tanya yang begitu besar, satu diantaranya adalah kenapa harus dilakukan tahun 2018, disaat masa kontrak menyisakan 3 tahun lagi hingga 2021 dan itupun kita menerbitkan global bond (obligasi global) untuk membeli 51,23 % saham PTFI, ini sungguh tidak bisa diterima dengan akal sehat. Jika tahun 2021 kita tidak memiliki anggaran yang cukup untuk membeli 100% aset PTFI, kenapa tidak sekaligus saja kita menerbitkan global bond pada tahun 2021. Dengan kepemilikan 100% maka kita akan menguasai proses produksi dari hulu hingga hilir.  

Berita Lainnya

Index