ANAK JALANAN BUMI MELAYU

ANAK JALANAN BUMI MELAYU
Prama Widayat Aktifis Alumni HMI dan Dosen FE Unilak

Kemajuan sebuah kota terkadang menyisakan jarak ekonomi antara kelompok masyarakat, baik yang bekerja sektor swasta, pemerintahan maupun wiraswasta. Diluar dari itu mereka yang tidak beruntung mendapatkan pekerjaan dengan berbagai keterbatasan, sehingga pada akhirnya menjadi anak jalanan dan tidak mendapatkan pendidikan formal. Permasalahan ini jika terus berlanjut akan menciptakan sebuah generasi yang absen dari pendidikan. Terlalu sibuk membangun dari segi fisik juga tidak bagus karena ada pembangunan manusia yang menjadi aktor utama dalam fisik tersebut.

Hadirnya sekolah-sekolah bertaraf internasional, berakreditas A, percontohan dan lain sebagainya memang penting tetapi apa gunanya jika ada sisi sosial lainnya yang kita lupakan yaitu mereka-mereka yang hidup dijalanan dan tidak bisa masuk dalam sekolah tersebut.

APBD Riau Berlimpah
Tidak  bisa dipungkiri bahwa anggapan orang yang menyebutkan Provinsi Riau termasuk provinsi yang cukup kaya. Salah satu yang bisa dilihat adalah Provinsi Riau memperoleh APBD cukup besar dari 33 provinsi yang ada di Indonesia ini yaitu sebesar Rp 10,091 Trilyun dan ini termasuk 5 provinsi dengan APBD yang cukup besar. 

Anggota Badan Anggaran DPRD Riau, Sugeng Pranoto dalam laporannya mengatakan, dibandingkan dengan total APBD Riau 2017 (setelah perubahan) sebesar Rp 10,379 triliun lebih dengan Anggaran Belanja setelah penandatanganan nota kesepakatan dan dalam Nota Keuangan dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang APBD Provinsi Riau Tahun 2018 sebesar Rp 10,091 triliun lebih, maka terdapat penurunan sebesar Rp 306.537.596.971,30 atau 2,95 persen.

Adapun rincian dari Rp 10,091 triliun lebih tersebut yakni, Belanja Tidak Langsung Rp 5,7 triliun lebih dengan rincian, Belanja Pegawai Rp 2,3 triliun lebih, Belanja Hibah Rp 1,3 triliun lebih, Belanja Bantuan Sosial Rp 12 miliar lebih, Belanja Bagi Hasil kepada Kabupaten/Kota Rp 1,4 triliun lebih.

Selanjutnya, Belanja Bantuan Keuangan Kabupaten/Kota/Desa Rp 482 miliar lebih, Belanja Tak Terduga Rp 10 miliar. Sedangkan untuk Belanja Langsung Rp 4,3 triliun lebih. Pendapatan Daerah sebesar Rp 9,001 triliun lebih, Pendapatan Asli Daerah Rp 3,9 triliun lebih yang terdiri dari, Pajak Daerah Rp 3,2 triliun, Retribusi Daerah Rp 15,7 miliar lebih, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Rp 218 milair lebih, Lain-lain PAD yang Sah Rp 526 miliar lebih. 

Untuk Dana Perimbangan sebesar Rp 5,02 triliun lebih dengan rincian, Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak Rp 2,099 triliun lebih, Dana Alokasi Umum Rp 1,4 triliun lebih, Dana Alokasi Khusus Rp 1,4 triliun lebih. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah sebesar Rp 10,475 milair dengan rincian Pendapatan Hibah Rp 2,9 miliar lebih, Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus Rp 7,5 miliar  (www.riaumandiri.com).  

Apa artinya angka-angka dalam APBD tersebut jika tidak mampu untuk mengatasi masalah sosial masyarakat, makin maraknya anak-anak jalanan, pengemis dan gelandangan yang berada di kota Pekanbaru. Padahal Pekanbaru merupakan ibukota provinsi yang menjadi pusat pemerintahan dan tentunya dekat dengan dinas-dinas provinsi, tapi ironisnya keberadaan anak-anak jalanan seperti terabaikan karena jumlah mereka semakin hari semakin banyak.

Keberadaan mereka bisa dijumpai di perempatan lampu merah simpang SKA, Pasar pagi Arengka dan beberapa titik lainnya. Mereka berasal dari beberapa dalam dan luar kota pekanbaru, anak-anak jalanan ini masih berada pada usia sekolah namun karena kehidupan yang tidak menentu memaksa mereka terjun kejalanan dan meninggalkan bangku sekolah bahkan ada yang tidak pernah merasakan bangku sekolah formal. 
Padahal pendidikan merupakan aset bagi yang begitu berharga bagi masa depan, jika dilakukan pembiaraan dan mereka tidak tersentuh oleh pendidikan maka lingkaran jalanan akan selamanya menjadi rumah mereka, kita ketahui bahwa kehidupan jalanan begitu liar dan rentan terjadinya segala hal tindak kekerasan fisik maupun mental serta narkotika, anak-anak jalanan menghuni ruko-ruko simpang lampu merah mall SKA.

Ruko-ruko tersebut sudah tidak lagi ditempati oleh pemiliknya dan disanalah mereka bertempat tinggal dengan apa adanya dan memanfaatkan fasilitas apapun yang tersedia sebagai penyambung hidup, sumber pendapatan mereka adalah mengamen dijalanan dari jam 8 pagi hingga sore bahkan ada yang sampai malam. 

Bagi mereka pendidikan adalah urutan yang kesekian dari prioritas hidup mereka karena untuk bertahan hidup dari kerasnya jalanan sudah sulit apalagi memikirkan untuk sekolah, banyak faktor yang membuat mereka menjadi anak jalanan seperti keterbatasan skill atau kemampuan, tidak memiliki tempat tinggal, konflik keluarga, ketidakmampuan secara ekonomi dari orang tua sehingga anak-anak mereka ikut mencari penghasilan serta faktor lainnya. Sungguh ironis memang keberadaan anak jalanan ditanah melayu ini yang menjunjung tinggi nilai islam, padahal dalam islam diajarkan untuk tidak membiarkan ada saudaranya dalam kesusahan. Kita tidak bisa hanya menyalahkan keberadaan anak jalanan dengan terus melakukan razia tangkap dan lepas, koordinasi antara berbagai pihak perlu dilakukan karena anak jalanan juga manusia dan mereka berhak diberlakukan sebagai manusia. Sesuai juga dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusian.

Kemajuan Kota
Kemajuan sebuah kota menjadi metropolitan jangan dijadikan alasan untuk membenarkan keberadaan anak jalanan, karena asumsi yang terjadi selalu mengatakan bahwa sebuah kota yang berkembangan menjadi metropolitan seperti salah satunya kota Pekanbaru, akan diiringi oleh permasalahan sosial seperti anak jalanan, pengemis dan gelandangan. Kemajuan kota secara ekonomi akan melahirkan kasta dalam masyarakat, kaya dan miskin. Jika asumsi ini yang senantiasa kita jaga maka kita termasuk manusia yang cacat secara moral, kita ikut andil dalam menciptakan kasta tersebut. Disinilah letaknya bagaimana seorang pemimpin sebuah kota metropolitan mampu mengurai permasalahan sosial anak jalanan, jika kemajuan kota menimbulkan permasalahan sosial anak jalanan, pengemis dan gelandangan maka jelas ini ada yang salah. Tetapi banyak pemimpin yang tidak sadar kesalahan tersebut dengan mengedepankan kemajuan fisik jalan, pertumbuhan ekonomi, investasi.       

Sebelum terlambat dan masalah sosial anak jalanan ini semakin berkembang dan rumit maka pemegang kekuasaan harus segera melakukan pembenahan wajah kota dari masalah sosial ini, koordinasi pemerintah kota, dinas sosial, dinas ketenagakerjaan dan lainnya sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini secepatnya. Saat ini justru kepedulian terhadap anak jalanan berasal dari beberapa komunitas sosial sosial seperti Suluh Negeri dan Komunitas Bahu Jalan (KBJ), mereka mengambil inisiatif untuk melakukan pembinaan bagi anak-anak jalanan yang ada disimpang lampu merah mall SKA Kota Pekanbaru, melakukan pembinaan kepada mereka yang berusia dibawah 10 tahun. Adapun jumlah anak yang berusia dibawah 10 tahun sekitar 10 orang hingga 20 orang, sedangkan yang berusia diatas 10 tahun hingga 20 tahun sekitar 15 orang. Anak-anak yang berusia dibawah 10 tahun lebih mudah untuk dibina dibanding yang sudah berusia diatas 10 tahun karena pengaruh jalanan yang sudah kental.

Anggaran daerah yang berlimpah tersebut sudah selayaknya juga menyentuh aspek sosial dalam membina anak jalanan, pengemis dan gelandangan karena mereka adalah amanat UUD 1945, ingat kelak setiap pemimpin akan dimintakan pertanggung jawabannya atas apa yang sudah dilakukannya. hbj*

Berita Lainnya

Index