Penjabat Gubernur antara ASN dan POLRI

Penjabat Gubernur antara ASN dan POLRI

Oleh : Rachmad Oky S. S.H., M.H,  (Dosen Hukum Tata Negara FH Unilak)

Bergulirnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 yang diikuti oleh 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten akan menyertakan juga beberapa polemik yang akan dihadapi bangsa ini, tahun politik dianggap tahun “gaduh” disegala lapisan sosial mulai dari masyarakat biasa, elit partai politik hingga pejabat yang bersinggungan langsung dengan urusan-urusan teknis Pilkada. Beberapa minggu belakangan ini mata dan telinga kita tertuju kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Cahyo Kumolo yang menyatakan akan meletakkan unsur-unsur Kepolisian dan TNI sebagai Penjabat (Pj) Gunernur sebagai pejabat sementara di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Sumatera Utara.

Kebijakan Mendagri tersebut ditopang dengan pertimbangan-pertimbangan normatif dan sosiologis. Dalam aspek normatif menurut Mendagri kebijakannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan manapun dan dalam aspek-sosiologis lebih menitik beratkan pada urusan keamanan karena dua provinsi itu punya kerawanan dari sisi stabilitas keamanan, sehingga diperlukan Pj gubernur dari kalangan Polri atau TNI. Dari dua pertimbangan di atas ada baiknya aspek yuridis lebih didahulukan sebagai pertanggungjawaban kaidah negara hukum, yakni “setiap kebijakan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Dengan begitu kita patut mempertanyakan apakah benar kebijakan Mendagri itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

Dasar yang menjadi kebijakan tersebut adalah Pasal 201 Ayat (10) UU Nomor 10 Tahun 2016, dimana pasal itu berbunyi “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Jika kita baca norma tersebut penjabat Gubernur lebih dipersyaratkan lagi dengan frasa “berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya”, di sini pemaknaan “jabatan pimpinan tinggi madya” memang tidak didefenisikan UU Nomor 10 Tahun 2016 sehingga menimbulkan berbagai persepsi terhadap jabatan tersebut. Namun, bukan berarti tidak ada jalan keluarnya, dalam teori perundang-undangan dikenal dengan metode penafsiran sistematis yang bertujuan menemukan makna sebuah frasa dan/atau sebuah kata yang dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain.

Dari berbagai UU yang ada, maka pemaknaan “jabatan pimpinan tinggi madya” hanya dapat kita temukan dalam UU Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Jabatan pimpinan tinggi berdasarkan berdasarkan Pasal 1 poin 4 merupakan instansi pemerintah pusat yang berada pada ruang lingkup kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural.

Lebih rinci lagi “jabatan tinggi madya” ditegaskan dalam penjelasan pasal 19  Ayat (1) poin b bahwa yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi madya” meliputi sekretaris jenderal (Sekjen) kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama (Sestama), sekretaris jenderal (Sekjen) kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.

Jika kita melihat penjelasan Pasal 19 Ayat (1) poin b maka “jabatan tinggi madya” tidak ada satupun yang bersinggungan langsung dengan Institusi Kepolisian, karena jika diperinci satu per satu misalkan jabatan sekjen kementerian dan sekretaris kementerian hanya berada pada ruang lingkup Kementrian, jabatan Sekretariat Utama hanya ada pada beberapa lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Kependudukan dan Keluarga Nasional (BKKBN). Sekjen Sekretariat lembaga negara hanya ada dibeberapa lembaga negara seperti  Sekjen Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Sekjen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),  Sekjen  Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Sekjen Badan Pengawas Keuangan (BPK), Sekjen Mahkamah Agung (MA), Sekjen Mahkamah Konstitusi (MA), jabatan dirjen, deputi, inspektur jendral, inspektur utama menjadi bagian beberapa kementrian dan lembaga negara, sedangkan Sekretaris Militer Presiden ada pada ruang lingkup Kementrian Sekretarian Negara.

Namun pada frasa terakhir dari kalimat penjelasan Pasal 19 Ayat (1) poin b menyisakan pertanyaan, apa sebenarnya makna “jabatan lain yang setara”, apakah jabatan lain yang setara itu tidak keluar dari jalur ASN atau apakah yang dimaksud dapat dikaitkan dalam struktur jabatan non-ASN (Kepolisian dan TNI), misalkan dalam jabatan Kepolisian memiliki jabatan-jabatan seperti Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum), Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam), Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) yang mana jabatan tersebut setara dengan Esselon I (jabatan tinggi madya), sehingga ini menjadi celah “halal”nya POLRI sebagan penjabat Gubernur sementara.

Logika “halal”nya POLRI sebagai penjabat Gubernur sementara tentu tidak bisa diterima dengan serta merta, karena walaupun ada frasa “jabatan lain yang setara” maka jabatan tersebut haruslah diisi oleh pejabat dengan latar belakang ASN   ditambah lagi frasa tersebut berada dalam ranah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Sehingga logika jabatan pimpinan tinggi madya tidak bisa dipersepsikan sama dengan jenjang jabatan Kepolisian  yang mempunyai “lex spesialis” tersendiri. Lain halnya bila POLRI mengisi jabatan tinggi ASN, tentu ini dibenarkan oleh UU ASN, Pasal 20 Ayat (2) berbunyi “Jabatan ASN tertentu dapat di isi dari anggota kepolisian Negara Republik Indonesia” dengan demikian kita harus dapat membedakan antara “POLRI mengisi jabatan penjabat Gubernur” dengan “POLRI mengisi jabatan ASN”.

Dengan demikian, alangkah baiknya kita mengembalikan POLRI menjalankan fungsinya sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

.

 

Berita Lainnya

Index