Pengamat Ragukan Data Pasokan Beras Kementan dan Bulog

Pengamat Ragukan Data Pasokan Beras Kementan dan Bulog
Ilustrasi

JAKARTA, RIAUREVIEW.COM -Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) meragukan data kecukupan pasokan beras nasional milik Kementerian Pertanian dan Perusahaan Umum (Perum) Bulog. Peneliti CIPS Hizkia Respatiadi mengatakan keraguan didasarkan pada pergerakan harga beras belakangan ini.

Di saat kedua institusi tersebut mengklaim pasokan beras nasional melimpah, di sisi lain harga bahan pokok tersebut masih tinggi. "Kalau memang stok melimpah seperti yang diklaim oleh Bulog dan Kementan, harga seharusnya tidak semahal sekarang dong," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/9).

Sebagai informasi berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga beras berkualitas medium di seluruh Indonesia masih berkisar Rp9.200-Rp14.250 per kilogram (kg), kualitas bawah Rp9.100-Rp12.500 dan kualitas super Rp10.150-Rp15.700 per kg. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata harga beras di tingkat perdagangan besar/grosir sepanjang Agustus 2018 mencapai Rp11.899 per kg atau naik 4,3 persen dibandingkan Agustus 2017 yang hanya Rp11.411 per kg. Sementara, berdasarkan data Bank Dunia, rata-rata harga komoditas beras Thailand pada bulan lalu hanya US$405 per ton atau sekitar Rp5.896,74 per kg, dengan asumsi kurs tengah rata-rata Agustus Rp14.599,86. Rata-rata harga beras kualitas yang sama dari Vietnam US$401,6 per ton atau berkisar Rp5.847,24 per kg.

CIPS menilai, saat ini rata-rata harga beras di Indonesia lebih dari dua kali lipat harga beras internasional. Kondisi tersebut, katanya, terus terjadi sejak 2009 silam, membuatnya semakin menjauhi rata-rata harga beras di pasar internasional.

Menurut Hizkia, polemik yang terjadi antara Kementan, Bulog, dan Kementerian Perdagangan terjadi karena perbedaan tugas masing-masing. Kemendag, lanjut Hizkia, bertugas memastikan produk yang strategis, seperti beras, tersedia di masyarakat. 

Keputusan impor beras diambil dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di bawah komando Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang juga melibatkan Kementan dan Bulog. Jika pemerintah terlambat mengantisipasi kebutuhan impor beras, maka kejadian seperti akhir 2016 lalu bisa terulang kembali. 

Kala itu, lanjut Hizkia, Indonesia terlambat mengambil keputusan untuk mengimpor beras sehingga harus membeli dari negara lain dengan harga yang lebih mahal. Keterlambatan mengimpor juga dapat berisiko merugikan petani jika beras impor baru datang pada saat musim panen.

"Seharusnya, kalau impor beras hanya dipercayakan pemerintah kepada Bulog, harus ada mekanisme yang lebih baik supaya Bulog bisa mengambil keputusan sesuai analisis pasar sendiri," jelasnya.

Sementara, Kementan memiliki target untuk menciptakan swasembada pangan. Karenanya Kementan bersikeras mengklaim menggunakan data internal produksi beras lebih besar dari konsumsi masyarakat.

Sebagai catatan, di awal tahun, Kementan optimis harga beras tahun ini akan stabil tanpa perlu impor. Kementan memperkirakan produksi beras tahun ini akan surplus sebesar 13,03 juta ton.

Perkiraan surplus tersebut dihitung dari target produksi gabah 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras. Sementara perkiraan total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton. 

"Selama belum ada satu sumber data yang valid dari kedua belah pihak tentunya gesekan seperti ini akan terus terjadi," imbuhnya.

Kambing Hitam Mafia Beras

Hizkia mengatakan selama ini anomali harga beras yang terjadi di dalam negeri selalu diarahkan pada keberadaan mafia beras. Namun, ia ragu dengan keberadaan mafia dalam kenaikan harga beras belakangan ini.

"Beras bukan anggur yang disimpan lama bisa enak, beras akan busuk," katanya.

Ketimbang menyalahkan keberadaan mafia beras, Hizkia meminta pemerintah melalui BPS sebaiknya memperbaiki validitas data pasokan dan konsumsi beras, supaya setiap kebijakan yang mereka ambil nantinya bisa tepat.

"BPS selalu mengklaim produksi beras jauh di atas konsumsi. Kalau begitu harusnya kita surplus, tapi yang ada sekarang kita selalu impor. Ini aneh," katanya.

Berita Lainnya

Index