Masalah Penguasaan Lahan Hambat Kesejahteraan Petani

Masalah Penguasaan Lahan Hambat Kesejahteraan Petani
Ilustrasi

JAKARTA, RIAUREVIEW.COM -Aliansi Petani Indonesia (API) menilai indikator utama tingkat kesejahteraan petani bukan berasal dari harga beras, melainkan masalah penguasaan lahan.

Muhammad Rivai, salah satu perwakilan dari API mencontohkan harga beras di Vietnam dan Thailand lebih rendah dari Indonesia. Namun, mayoritas petani di dua negara tersebut lebih sejahtera dibanding di Indonesia.

"Persoalannya memang ada di penguasaan lahan, saat ini ada 14 juta rumah tangga petani yang memiliki lahan hanya seluas kurang dari 0,5 hektare (ha)," ungkap Muhammad dilansir CNNIndonesia, Kamis (13/12).

Terang saja, kata Muhammad, mau berapapun kenaikan harga beras sulit membuat petani di Indonesia layak hidup sehari-hari karena pemilik lahan akan mendapat keuntungan lebih tinggi ketimbang petani yang hanya memperoleh komisi dari hasil tanam. Muhammad menyebut harga gabah saat ini sebenarnya cukup tinggi, yakni lebih dari Rp4 ribu per kilogram (kg). 

Berdasarkan hitungannya, petani bisa sejahtera jika minimal penghasilan per bulan mencapai Rp10 juta. Angka itu sudah menghitung kebutuhan hidup sehari-hari.

"Ukurannya sederhana, petani bisa mengakses makanan sehar, bisa bayar sekolah anak, bayar listrik dan sebagainya, sehingga bisa hidup layak," tutur Muhammad.

Meski begitu, Ketua Tim Peneliti Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Hariadi Propantoko mengatakan petani sejatinya merupakan aktor utama dalam menentukan harga beras. Namun kenyataannya petani justru lemah dalam hal penentuan harga.

Koordinator KRKP Said Abdullah mengatakan petani biasanya hanya mendapatkan margin sebesar Rp500 per kg. Berbeda dengan pengusaha yang bisa lebih dari Rp1.000 per kg.

"Pelaku lain seperti tengkulak, pengusaha penggilingan, hingga pedagang beras rata-rata mendapat keuntungan hingga Rp1.500 rupiah per kg," ujar Said.

Petani dari Subang bernama Deni Nurhadiansyah menyatakan posisi petani dalam menentukan harga bersifat dilematis. Ia mengakui harga gabah di Subang saat ini cukup tinggi, yakni mencapai Rp5 ribu per kg. 

"Masalahnya kenapa bisa tinggi, karena saat ini gabah memang langka," tutur Deni.

Kondisi itu disebabkan oleh musibah gagal panen pada 2015 sampai 2017 lalu. Gagal panen pada 2015 terjadi karena kekeringan selama delapan bulan berturut-turut. Selanjutnya, Deni menyebut gagal panen pada 2016 sampai 2017 terjadi lantaran kebijakan pemerintah yang meminta petani menenam padi tiga kali dalam satu tahun.

"Kami dengan kebijakan itu bisa dikatakan dipaksa lah, diming-imingi bantuan benih, bantuan satua produksi pertanian, alat mesin pertanian," papar Deni.

Hal itu, lanjut Deni, menyebabkan serangan berbagai virus dan hama. Dengan begitu, 70 persen dari 85 ribu ha sawah di Subang gagal panen. Beruntung, saat ini serangan sudah kembali pulih meski produksi tetap belum seperti semula, karena hanya 60-70 persen yang panen.

"Harga gabah tetap tinggi tetapi tetap saja penggilingan sulit mendapatkan gabah karena panen belum maksimal, kualitas berasnya pun masih kurang bagus," jelas Deni.

Pengamat pertanian dan pangan yang juga anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Khudori mengamini pendapat Deni yang menyebut posisi petani dalam menentukan harga sangat dilematis. Pasalnya, keuntungan sejatinya ada di pihak pedagang.

"Ketika harga gabah naik, dengan cepat ditransmisikan menjadi kenaikan harga beras. Namun ketika harga gabah turun, apakah harga beras turun? Ternyata tidak, sehingga yang untung tetap pedagang," ungkap Khudori.

Ahmad Yakub, Anggota Dewan Pengawas Perum Bulog berpendapat penguatan kelembagaan ekonomi petani bisa menjadi jalan keluar untuk menyejahterakan petani di Indonesia. Jika kelembagaan ekonomi petani semakin kokoh, maka petani bisa mengendalikan harga beras.

"Itu kan dahsyat," ucap Ahmad.

Ia mencontohkan, penguatan itu bisa dilakukan dengan pembentukan koperasi oleh petani. Kemudian, petani sebagai produsen bisa menjual melalui koperasi petani itu sendiri agar bisa menentukan harga.

Berita Lainnya

Index